Kamis, 09 April 2015

PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA (Studi Kitab al-Umm)


PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)












Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
 BALIKPAPAN
2014 M / 1436 H

PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)


Skripsi
Diajukan Kepada STIS Hidayatullah Balikpapan Untuk Memenuhi
Sebagai Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum




Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
 BALIKPAPAN
2015 M / 1436 H




PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                           : Winanto
NIM                             : 2011.08.15
Program / Jurudan         : Ahwal al-Syakhsyiyyah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Jika di kemudian hari ia terbukti ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain secara keseluruhan atau sebagian besar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
                                                         Balikpapan, 7 Maret 2015
                                                         Yang Membuat Pernyataan

                                                          Winanto





                                      NOTA DINAS PEMBIMBING
                                                               
                                                                                  Kepada Yth:
                                                                                      Ketua STIS Hidayatullah
 Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan, dan koreksi terhadap penulisan skripsi yang berjudul :
“PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)
Yang ditulis oleh :
Nama                         : Winanto
Nim                           : 2011.08.15
Jenjang                      : S I
Jurusan/Prodi            : Ahwal al-Syakhsiyyah
Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut di atas sudah dapat diajukan kepada STIS Hidayatullah Balikpapan untuk diajukan dalam rangka memperoleh gelar sarjana Hukum Islam.
Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
                                                                              Balikpapan, 7 Maret 2015
Pembimbing  I                                                                  Pembimbing II

Nasirul Haq, Lc, MA                                                      Ahmad Rifai, Lc

PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul    : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm)
Ditulis Oleh    : Winanto
Nim    : 2011.08.15
Jurusan/Prodi    : Syari’ah / Ahwal asy-Syakhsiyyah
Setelah diteliti  dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat menyetujuinya untuk dipertahankan di depan sidang tim penguji skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan.

Balikpapan, 7 Maret 2015                                                 
Pembimbing I                      Pembimbing II

Nashirul Haq, Lc, MA                                           Ahmad Rifa’I, Lc

Mengetahui:
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
Hidayatullah Balikpapan

Dr. Abdurrahim, S.Hum, M.S.I


ABSTRAK
Winanto. 2015 Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm). Skripsi Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah, pembimbing: (1) Ust. H. Nashirul Haq, Lc MA, Pembimbing (II)Ahmad Rifai, Lc
Penelitian ini latarbelakangi adanya perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dengan Jumhur Ulama’ yang berkaitan dengan masalah Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Rumusan yang peneliti gunakan yaitu, apa landasan Imam Syafi’i Mahar wajib diberikan kepada istri sebelum ataupun sesudah terjadi, akan tetapi, Imam Malik dan Ulama’ lainnya, istri hanya berhak mendapatkan mahar saja. Penelitian ini adalah deskriptif . sumber primer adalah Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
Peneliti menguraikan beberapa yang menjadi landasan teori pada peneliti ini, berdasarkan difinisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri dan tidak dapat diganggu oelh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmati maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Selanjutnya, peneliti mengemukakan biografi Imam Syafi’i, metode istinbatnya serta landasan hukum yang digunakan. pemikiran Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Imam Syafi’i Berdasarkan pada hukum QS. An-Nisa’ ayat : 4 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dengan mengambil hukum khusus berdasarkan pada nash pada ayat tersebut.
Melaluai teknik analisis data, peneliti ini menghasilkan Metode Istinbath yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah al-Qur’an, Sunnnah, Ijma’, Qiyas dan Tafsir. Bahwa mahar wajib diberikan ketika suami meninggal dunia sebelun dukhul atau sebelum dhuhul, akan tetapi Imama Malik, dan beserta Ulama’ lainya, justru istri hanya berhak mendapatkan waris saja.
Peneliti menyimpulkan bahwa pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan Jumhur Ulama’. Akan tetapi, landasan Imam Syafi’i lebih mendekati kebenaran, yaitu mahar wajib diberiakan kepada istri ketika suami meninggal dunia ketika suami sebelum atau sesudah becampur. Karena mahar bentuk penghormatan suami terhadap istri.






Moto


Letihkanlah badanmu untuk mendapatkan kenikmatan
Pimpin dan extrimkan dirimu  untuk merubah dunia
Sedikitkan tidur untuk sehatkan badanmu,
Sedikitkan tidurmu supaya bahagia selalu









PERSEMBAHAN


Sebuah karya saya persembahkan kepada :
Ibunda dan Ayahanda tercinta beserta keluarga dan guru kami
Terima kasih atas doa dan doanya
yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup kami
doa, doa, dan doa Extrim yessss









KATA PENGANTAR
بسم الله الرمن الرحيم
A lhamdulillah, segala puji dan penghormatan hanyalah milik Allah swt. Penguasa alam semesta, tak ada tara bagi-Nya dan tak ada kesempurnaan kecuali diri-Nya. Shalawat dan semoga senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw, keluarga, para sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, pada diri-Nyalah tempat berkumpul segala kebaikan, yang dengan-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Begitu juga peneliti ucapkan Jazakumullahu kairan, untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1.    Ustadz Dr. Abdurrohim, S.Hum, M.S.I, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah Balikpapan.
2.    Ustadz Azhari, S.H.I, M.Pd.I, Selaku pembimbing II dalam Penelitian skrpsi ini.
3.    Ustadz. Rifa’I, Lc sebagai wakil ketua I bidang akademik STIS Hidayatullah Balikpapan.
4.    Ustadz. Hidayat Jaya Miharja, S.S, M.Si, sebagai wakil ktua II bidang administrasi STIS Hidayatullah Balikpapan.
5.    Ustadz. Herianto Muslim, S.H.I, M.H.I sebagai wakil ketua III bidang kemahasiswaan  STIS Hidayatullah Balikpapan
6.    Ustadz. Lukman Hakim, Lc sebagai wakil ketua IV bidang kemahasiswian STIS Hidayatullah Balikpapan.
7.    Ustadz. Kusnadi, S.H.I, M.Hum Sebagai Kepala Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengapdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah Balikpapan.
8.     Segenap staf pengurus dan dosen pengajar Sekolat Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan yang telah membantu kami untuk menyelesaikan pendidikan kami di jenjang S1.
9.    Rekan-rekan mahasiswa STIS Hidayatullah dan teman-teman santri putra maupun putri Hidayatullah yang telah mengajarkan akan artinya kebersamaan.
10.    Semua pihak yang terkait dengan proses penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya peneliti memohon ampun kepada Allah swt, dengan semua kelemahan peneliti miliki, dan semoga Allah swt senantiasa melindungi dan memberikan balasan kebaikan dengan sebaik-baik balasan, di dunia maupaun di akhirat. Tak lupa pula peneliti sampaikan bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka  Saran dan keritik yang sifatnya membangun, sangat peneliti harapkan, karena kesempurnaan, mutlak hanyalah milik Allah swt Tuhan semesta alam.
                                                                               Balikpapan, 28 Februari 2015

                                   
                                Winanto



 PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/dan 0543b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988.
Konsonan Tunggal
Huruf Arab    Nama    Huruf  Latin    Keterangan
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي    Alif
ba'
ta'
ṡa'
jim
ḥa'
kha'
dal
żal
ra'
zai
sin
syin
ṣād
ḍaḍ
ṭa'
ẓa'
'ain
Gain
fa'
qāf
kāf
lam
mim
nun
wawu
ha'
hamzah
ya'    Tidak dilambangkan
b
t

j

kh
d
ż
r
z
s
sy

d



g
f
q
k
l
m
n
w
h
'
Y    Tidak dilambangkan
Be
Te
Es (dengan titik di atas)
Je
Ha (dengan titik di bawah)
Ka dan Ha
De
Zet (dengan titik di atas)
Er
Zet
Es
Es dan Ye
Es (dengan titik di bawah)
De (dengan titik di bawah)
Te (dengan titik di bawah)
Ze (dengan titik di bawah)
Koma terbalik di atas
Ge
Ef
Qi
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye

Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
عدة    Ditulis    ‘iddah


Ta' marbutah
1.    Bila dimatikan ditulis h
هبة
جزية    Ditulis
Ditulis    Hibah
Jizyah

2.    Bila diikuti kata “al” serta dibacaan kedua ituterpisah, maka ditulis dengan “h”
كرامة الأولياء    Ditulis    Karāmah al-auliyā'

3.    Bila ta' marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah ditulis “t”
زكاة الفطر    Ditulis    Zakātul fiṭri

Vokal Pendek
____
____
____
    Kasrah
fathah
dammah    ditulis
ditulis
ditulis    I
a
u

Vokal Panjang
fatḥah  + alif
جاهلية
fatḥah + ya' mati
يسعى
Kasrah + ya' mati
كريم
ḍammah + wawu mati
فروض
    ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis    Ā
jāhiliyyah
ā
yas‘ā
ī
karīm
ū
furūḍ

Vokal Rangkap
fatḥah + ya' mati
بينكم
fatḥah + wawu mati
قول    Ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
    Ai
bainakum
au
qaulun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL     ....     i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN    ....     ii
NOTA DINAS PEMBIMBING    .... iii  
PENGESAHAN     .... iv
ABSTRAK    .... v  
LEMBAR MOTTO    .... vii
PERSEMBAHAN    .... viii
KATA PENGANTAR    .... vii 
DAFTAR ISI    .... xi 

BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah    .... 1  
B.    Rumusan Masalah    .... 6
C.    Tujuan Penelitian    .... 6
D.    Signifikansi Penelitian    .... 6   
E.    Definisi Operasional    .... 7  
F.    Kajian Pustaka    .... 8 
G.    Metode Penelitian    .... 9 
H.    Sistimatika Penulisan    .... 12 

BAB  II KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR
A.    Mahar    .... 13
1.     Pengertian Mahar        .... 13
2.     Dasar Hukum Mahar        .... 16
B.    Kadar Mahar        .... 18
C.    Macam-macam Mahar        .... 20
1.    Mahar Musamma        .... 20 
2.    Mahar Mitsil        .... 21    
 D. Bentuk dan Syarat-syarat Mahar        .... 23
E. Hikmah Mahar        .... 26

BAB  III  PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I  TENTANG  MAHAR
 HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA               
                
A.    Bioografi Imam Syafi’i        .... 27
1.    Latar Belakang Keluarga        .... 27
2.    Pendidikan        .... 28
3.    Guru dan Murid Imam Syafi’i        .... 32
4.    Karya Imam Syafi’i        .... 34
B.    Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia 

BAB  IV   :  Analisis  Pemikiran  Imam  Syafi’i  Tentang  Mahar  Hutang
 yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia Dalam Tinjauan Tafsir

A.    Dasar  Pemikiran ImamS yafi’i entang  Mahar  Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal ................................................ 40
B.    Istinbath  Hukum  Imam  Syafi’i  Dalam Tinjauan Taftsir............... 44



BAB V   PENUTUP  
  A. Kesimpula ........................................................................................ 54  
  B. Saran    ...... 55

LAMPIRAN DAFTAR TERJEMAHAN AL-QUR’A   
DAFTAR PUSTAKA    ....     58   
RIWAYAT HIDUP PENULIS        .... 64   
LEMBARAN BIMBINGAN    ....     66   







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan  muara atas  rasa  saling  kasih  dan  mencintai  antara lelaki dan perempuan yang  diciptakan  oleh  Tuhannya.  Sudah  menjadi  iradah  Allah swt  manusia  diciptakan  berjodoh-jodoh  dan  diciptakan  oleh  Allah swt mempunyai keinginan untuk  berhubungan  antara  pria  dan  wanita,  sehingga manusia  menjadi  berkembang  biak  dan  berlangsung  dari  generasi  ke  generasi berikutnya sehingga dapat  melestarikan  eksistensi dalam  hidupnya.  Hal  ini tertera dalam al-Quran Surat an-Nisa [4] ayat : 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا 
Allah swt tidak ingin  menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup  bebas  mengikuti  nalurinya  dan  berhubungan  bebas  antara  perempuan  dan laki-laki secara  anarki  tanpa  ada  suatu  aturan.  Akan  tetapi, demi menjaga martabat dan kemuliaan manusia, Allah swt  mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan laki-laki dan  perempuan diatur secara hormat dan  berdasarkan  saling  meridhai.  Upacara  akad  nikah  sebagai  lambang  dari adanya  rasa  ridha-meridhai,  dihadiri  para  saksi  yang  menyaksikan  kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Tujuan  perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan  bahagia. Harmonis  dalam  menggunakan  hak  dan  kewajiban  anggota  keluarga,  sejahtera yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Islam  sangat  memerhatikan  dan  menghargai  kedudukan  wanita  dengan memberi  hak kepadanya,  yaitu  hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah maka hukum memberikannya adalah wajib.  Mahar hanya diberikan oleh calon  suami  suami  kepada  calon  istri,  bukan  kepada  wanita  lainnya  atau apapun,  walaupun sangat dekat dengannya.  Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya.
Mahar  merupakan  pemberian  dari  calon  mempelai  pria  kepada  calon mempelai  wanita,  baik  berbentuk  barang,  uang  maupun  jasa  yang  tidak bertentangan  dengan  hukum  Islam.  Pemberian  tersebut  sebagai  syarat  sahnya pernikahan  sehingga  hukum  mahar  adalah  wajib . Sesuai  firman  Allah  swt. dalam al-Quran Surat an-Nisa’ ayat : 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Tiada  ketentuan hukum yang disepakati Ulama’ tentang  batas  maksimal pemberian  mahar,  demikian  juga  batasan  minimalnya.  Yang  jelas  meskipun  sedikit, ia wajib ditunaikan.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 dan  31  menyebutkan  bahwa “Calon  mempelai  pria  wajib  memberi  mahar  kepada calon mempelai wanita, yang bentuk, jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belak  pihak”  dan  “Penentuan  mahar  berdasarkan  asas  kesederhanaan  dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.”
Dari  uraian  di  atas  jelaslah  bahwa  mahar  adalah  pemberian  pria  kepada wanita  sebagai  pemberian  wajib,    bukan  sebagai  pemberian  atau  ganti  rugi. Mahar itu untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara kedua suami istri .
Tentang pemberian maskawin  atau mahar itu boleh saja dibayarkan tunai atau sebagian  tunai dibayarkan kelak.  Hal ini diserahkan sebagaimana kebiasaan di  dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual  antara suami  dan  istri,  atau  suami  meninggal  dan  belum  terjadi  hubungan  seksual, maskawin wajib dibayarkan seluruhnya.
Apabila  perceraian  terjadi  sebelum  dukhul  akan  tetapi  besarannya  mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar  mahar mitsil (ps. 35 ayat (3) KH ).  Namun, jika suami meninggal sebelum  dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya ( ps. 35 ayat (3)).
Imam  Malik  mengatakan  bahwa  tidak  ada  keharusan membayar mahar manakala salah seorang di  antara kedua pasangan meninggal dunia sebelum terjadi percampuran.  Apabila  suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual (qobla dukhul), maka tidak wajib membayar mahar tetapi istri mendapat warisan saja, yang  diterangkan  dalam kitab  al-Muwwatho’  karangan beliau :
“Hadits  dari  Malik,  dari  Nafi’,  bahwa  anak  perempuan Ubaydullah  Ibn Umar yang ibunya adalah anak perempuan Zaid ibn  al-Khattab, menikah dengan putri Abdullah  Ibn  Umar. Ia (si-suami)  meninggal  sebelum  menikmati  pernikahan  (melakukan hubungan seksual)  ataupun sebelum menentukan maharnya. Ibu si  istri  menginginkan  mahar  tersebut  dan  Abdullah  ibn  Umar berkata  :  “Ia  (si  istri)  tidak  berhak  atas  mahar,  sekirannya  ia mempunyai mahar  kami tidak akan menahannya, dan kami tidak memperlakukannya  secara  tidak  adil.”  Si  ibu  menolak  untuk menerima  hal  itu.  Zayd  Ibn  Tsabit  dibawa  untuk  mengadili mereka,  dan  dia  memutuskan  bahwa  si  istri  tidak  memperoleh mahar, tetapi ia memiliki hak waris. ”
Pendapat  Imam  Malik  ini  justru  berbeda  dengan  pendapat  Imam  Syafi’i dan beberapa imam lainya. Menurut Imam Syafi’i bahwa mahar tetap dibayarkan meskipun suami meninggal dunia. Karena menurut beliau  bahwa mahar adalah wajib bagi seorang suami kepada istri, meskipun suami meninggal  dunia.  Hal ini disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ
“Bahwa  Imam  Syafi’i  ra  berkata  :  apabila  suami  menikahi wanita  dengan  mahar  yang  telah  disebutkan,  maka  mahar tersebut  ditetapkan  sebagai  kewajiban  suami,  jika  suami  atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri  atau setelah melakukan hubungan suami istri.  Apabila mahar yang disebut  berupa  uang  maka  suami  wajib  membayar  dengan uang.  Apabila  dengan  hutang  maka  harus  dibayar  dengan hutang,  apabila  berupa  takaran  yang  disifati  maka  berupa takaran dan apabila berupa barang  yang  disifati   maka dengan barang.  Apabila  mahar  yang  disebut  berupa  barang  tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau  sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum  ia serahkan kemudian suami men-talaq istri  sebelum  melakukan  hubungan  suami  istri  maka  istri berhak  mendapatkan  separuh  harga  barang  tersebut,  terhitung harga  pada  waktu  akad  nikah  yaitu  pada  hari  istri  memiliki mahar”.
Disamping  itu,  maskawin  dibayar  sepenuhnya  karena  salah  seorang  dari kedua  belah  pihak  ada  yang  meninggal dunia, sekalipun  persetubuhan  belum dilakukan, menurut kesepakatan  para  sahabat.  Atau  telah  melakukan persetubuhan dengan  memasukkan  hasyafah  (kepala  penis)  saja,  sekalipun selaput darah istri masih utuh.
Melihat  dari  latarbelakang  permasalahan  yang  ada,  maka     peneliti !  akan membahasnya  ke  dalam skripsi yang berjudul
“Pemikiran Imam Syafi’i  Tentang  Mahar  Hutang  Yang  Belum  dibayar  Karena  Suami Meninggal Dunia”
B. Rumusan Masalah
Untuk  membuat  permasalahan  menjadi  spesifik  yang  sesuai  dengan  titik kajian,  maka  diperlukan  rumusan  masalah  yang  lebih  fokus.  Hal  ini dimaksudkan  agar  dalam  pembahasan  ini  tidak  melebar  dari  tujuan  penelitian. Dari  latar  belakang  yang  telah  disampaikan  di  atas,  ada  beberapa  rumusan masalah yang dapat diambil yaitu :
1.  Bagaimana dasar istinbat hukum Imam Syafi’i tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar karena suami meninggal dunia?
2.   Bagaimana  tinjauan Tafsir tentang dasar istinbat hukum  Imam   Syafi’i  tentang  mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal   dunia ?
C. Tujuan Penelitian
 Tujuan penelitian karya ini adalah untuk menjawab tentang apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di  atas. Beberapa  tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar dan istinbat hukum  Imam  Syafi’i  tentang mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
2. Untuk  mengetahui tinjauan  Tafsir terhadap dasar istinbat yang  digunakan oleh  Imam  Syafi’i  tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena suami meninggal dunia.
D. Signifikasi Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan oleh peneliti bermanfaat untuk:
1.    Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia
2.    Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dalam mengisi khazanah (wawasan) keilmuan dalam bidang hukum Islam, yang berkaitan dengan Ahwal al-Syakhsiyyah terkhusus dalam masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
3.    Dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.
E. Definisi Operasional
Agar terarah penulisan ini dan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami judul ini, maka peneliti memberikan definisi operasional sebagai berikut:
1.    Pemikiran; hasil dari memikirkan.
2.    Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.  Mahar yang penulis maksud adalah pemberian yang diwajibkan oleh syari’at dari mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan sebagai bentuk imbalan dalam pernikahan, berdasarkan kerelaan keduanya. Hutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain, dengan kewajiban membayar kembali apa yg sudah diterima.
3.    Suami Meninggal Dunia yang penulis seorang istri yang ditinggal mati dalam keadaan suami meninggalkan hutang Mahar
4.    Imam Syafi’i adalah penulis Kitab al-Umm. Ia adalah salah satu mazhab ahlusunah wal jama’ah   
F. Kajian Pustaka
Penelusuran peneliti sejauh ini,  ada  beberapa penelitian yang membahas  tentang  mahar,  akan  tetapi  berbeda  dengan  penelitian  dalam  skripsi ini.
Pertama, Kadar Mahar (studi Komperatif Terhadap Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i) oleh Marwah Pau, alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam mengenai kadar minimal Mahar. Imam Malik Mengatakan Bahwa mahar itu wajib ditentukan kadar minimalnya. Pemikiran ini bertolak belakang dengan pendapat Ima Syafi’i yang mengatakan bahwa kadar mahar itu tidak dapat di tentukan kadar minimalnya.
Kedua, MaharMitsl Terhadap Istri yang di Tiggal Mati suami Qobla Dukhul menurut iman malik (Studi Kitab al-Muwatha’ jilid II). Oleh Ema Ermawati alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat imam malik yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan mahar itu terdapat istimta’ (kenikmatan). Sedangkan par jumhur (syafi’i, hanafi, hambali) mengatakan bahwa kepemilikan mahar semata-mata karena akad.
Wujud Mahar Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Oleh Maftuhah AS alumni STIS membahas bentuk-bentuk Mahar.
Berdasarkan  penelusuran  dari  beberapa  penelitiana yang  telah  peneliti kemukakan  di  atas,  maka  peneliti  memilih  judul  dengan  alasan  belum  pernah dibahas  oleh  peneliti  terdahulu  sehingga  penelitian  yang  akan  peneliti  lakukan berbeda dengan karya skripsi  yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu. Skripsi ini lebih spesifik membahas tentang pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm.
Disamping  itu,  untuk  memahami  lebih  komprehensif  tentang  pemikiran  Imam Syafi’i  khususnya  yang  berkaitan  dengan  mahar,  mengingat Imam  Syafi’i  sampai  sekarang  masih  dipakai  di  Indonesia  yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
G. Metode Penelitian
Dalam  rangka  menyelesaikan  penulisan skripsi  ini,  peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1.  Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research)  yaitu  serangkaian  kegiatan  yang  berkenaan  dengan  metode pengumpulan  data  pustaka,  membaca  dan  mencatat  serta  mengolah  bahan penelitian , yaitu  dengan  mengumpulkan  teori-teori  dalam  kitab-kitab, pendapat  para  ahli  dan  karangan  ilmiah  lainnya  yang  ada  relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini.

2.  Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
a.    Sumber  data  primer,  yaitu  data  yang  diperoleh  dari  data-data  sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi  atau data tersebut . Adapun sumber primer  penelitian ini adalah kitab  al-Umm  karya Imam Syafi’i.
b.    Sumber  data  sekunder,  yaitu  data  yang  diperoleh  dari  sumber  yang bukan   asli  yang  memuat  informasi  atau  data  tersebut. Adapun sumber-sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini diantaranya :
1)  Kitab al-Muwwatta’, karya Imam Malik
2)  Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i
3)  Kitab al-Khawi al-Kabir, karya Imam al-Mawardi
4)  Kitab Bidayatul mujtahid
     5)   Kitab-kitab  Hadis dan buku-buku  lain  yang membahas tentang
mahar.
.Metode Pengumpulan Data
    Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), yaitu membaca buku kepustakaan dan literatur-literatur lainnya. Dalam tahap ini akan berfungsi sebagai penyelidikan untuk mendapatkan data melalui literatur atas pemikiran pemikiran Imam Syafi’i tentang tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena suami meninggal dunia.
 Setelah data berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
4. Metode Analisis Data
Berdasarkan  data  diperoleh  untuk  menyusun  dan  menganalisa  data data  yang  terkumpul  maka  metode  unakan  adalah  metode deskriptif-analisis  adalah  suatu  bentuk  analisis  yang  berkenaan  dengan masalah yang  diteliti.  Analisis Deskriptif yaitu bertujuan untuk memberikan deskripsi  mengenai    subyek    penelitian  berdasarkan  data  yang  diperoleh.  Dengan  demikian  penulis  akan  menggambarkan  pendapat  Imam  Syafi’i tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia yang terdapat kitab al-Umm.
Selain  itu,  peneliti  menggunakan  analisis  penelitian  dengan  metode komparasi.  Penelitian  komparasi  akan  dapat  membandingkan  kesamaan pandangan  dan  perubahan  pandangan-pandangan  orang,  group  atau  negara, terhadap  kasus,  terhadap  orang,  peristiwa  atau  terhadap  ide –ide.  Pada penelitian ini peneliti  akan   membandingkan dari  beberapa pandangan tentang mahar  yaitu  pendapat  dari    Imam  Syafi’i,  Imam  Malik  dan   imam  lainnya sehingga akan diambil sebuah kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Secara  garis  besar  penulisan  skripsi  ini  terdiri  dari  5  bab,  dimana  dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan yaitu :
Pada  Bab  I  memuat  tentang  latar  belakang  permasalahan,  rumusan masalah,  tujuan  penelitian,  telaah  pustaka,  metode  penelitian  dan  sistematika penulisan.
Pada Bab II akan dijelaskan tentang pengertian mahar, dasar hukum mahar, kadar  mahar,  macam-macam  mahar,  bentuk  dan  syarat-syarat  mahar  serta hikmah adanya mahar.
Bab  III  berisi  tentang  biografi  Imam  Syafi’i,  pendapat  Imam  Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia , metode istinbath hukum Imam Syafi’i secara umum,  dan metode  istinbath  hukum  Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Selanjutnya  pada Bab IV, dibahas analisis pendapat Imam  Syafi’i  tentang mahar  utang  yang  belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia  dan  analisis metode istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  tentang mahar  utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Terakhir,  Bab  V  sebagai  penutup,  yang  meliputi  kesimpulan,  saran-saran dan Penutup.











BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR
A.    Mahar
1.    Pengertian Mahar
Dalam Kamus Besar Indonesia bahwa mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.  Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, kata mahar berarti maskawin.
Shadaq atau mahar diambil dari kata ash-shidqu yang artinya kesungguhan atau kebenaran. seorang laki-laki benar-benar ingin menikahi wanita yang diinginkan tersebut. Sedangkan, mahar yang diberikan tersebut sebagai ganti yang telah disebutkan dalam akdad nikah atau sesudahnya.
Kata mahar dalam al-Qur’an tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata shaduqah, yaitu dalam QS. an-Nisa [4] : 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Ditinjau dari asbab al-nuzul QS an-Nisa’ ayat 4 di atas bahwa dalam Tafsir Jalalain ada keterangan sebagi berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Abu Salih katanya:” Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan seorang putrinya, diambil maskwinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa’.
Sedangkan mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’,ujr, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari suatu yang diterima.
Menurut Buya Hamka bahwa kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan shadaqah. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati yang suci, muka jernih dari suami kepada calon istri. Arti yang mendalam bahwah mahar itu adalah laksana cap atau stempel karena nikah sudah di materaikan.
Menurut Imam Taqiyuddin Abubakar, mahar (Shadaq) ialah sebutan harta yang wajib atas orang laki-laki bagi perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi’). Di dalam al-Qur’an maskawin disebut shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunah disebut mahar,’aliqah dan ‘aqar. Shadaq (maskawin) berasal dari kata shadq artinya sangat keras karena pergantiannya (bayarannya) sangaat mengikat, sebab maskawin tidak dapat gugur  dengan rela-merelakan taradhi.
Menurut Zainuddin ibn ‘Aziz al-Malibary menegaskan, mahar ialah sesuatu yang menjadi kewajiban pemberi tersebut, shidaq dinamakan juga dengan mahar.
Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad al-jamal, dan dia menyukai sesuai dengan kemampuan prianya. Islam tidak menyukai berlebih-lebihan dalam maskawin, sehinggah memudahkan manusia untuk kawin. Mempermahal mahar adalah sesuatu yang dibenci dalam islam, karena akan mempersulit hubungan diantara manusia.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri serta tidak boleh digangu oleh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmti maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Agama tidak membolehkan laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya.  Allah Subahanahu wata’alah (swt)  telah berfirman dalam surat an-Nisa : 20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا                                                                
    Mahar yang telah disepakati boleh diserahkan saat akad nikah, separuh atau sebagiannya. Tetapi, sesudah terjadih hubungan suami istri mahar itu wajib dibayar seluruhnya. Dalam keadaan perceraian sebelum melakukan hubungan suami istri, istri wajib mengambil itu separuh. Hal ini disepakati para ulama, dan sparuh lagi dikebalikan kepada suami. Kecuali, istri itu melepaskan haknya, maka suami boleh mengambil semua, atau suami yang melepaskan haknya, maka istri juga boleh mengambil semua.  hal ini berdasarkan pada firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ …..
    Islam menganggap penyerahan hak ini dari laki-laki kepada perempuan  sebagai pendekatan diri kepada Allah swt, dan termasuk sebagai sifat yang baik dan luhur. Hal ini terkandung dalam firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh [2] : 237
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Maksudnya, bahwa perceraian janganlah menyebabkan kamu lupa tentang keakraban, persaudaraan antar sesamamu.
2.    Dasar Hukum Mahar
a.    Firman Allah swt : QS.  an-Nisa’ ayat 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
    Juga dalam firman allah swt : QS. an-Nisa’[4] ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا                                                                        
    Sabda Rasulullah saw :
حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الخَلَّالُ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ، قَالَا: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ طَوِيلًا، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَزَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ، فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكَ  مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا؟» فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِزَارُكَ، إِنْ أَعْطَيْتَهَا جَلَسْتَ، وَلَا إِزَارَ لَكَ، فَالتَمِسْ شَيْئًا؟» قَالَ: مَا أَجِدُ، قَالَ: «فَالتَمِسْ، وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ» قَالَ: فَالتَمَسَ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ». هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، فَقَالَ: «إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ يُصْدِقُهَا فَتَزَوَّجَهَا عَلَى سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ، فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيُعَلِّمُهَا سُورَةً مِنَ القُرْآنِ». وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: النِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيَجْعَلُ لَهَا صَدَاقَ مِثْلِهَا، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الكُوفَةِ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ.  (صحيح البخاري)                          
“Telah  mengabarkan  kepada  kami  Qutaibah  kepada  Ya‟kub  dari
Abi Khazim  dari  Sahal bin Sa‟ad as-Sa‟idi  berkata : ada seorang wanita  datang  kepada  Rasulullah  SAW  dengan  berkata  :  “  Ya Rasulullah!  Saya  datang  untuk  menyerahkan  diri  kepada  tuan  (untuk dijadikan istri). ”Rasul memandang wanita itu dengan teliti lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wan ita itu meyadari bahwa Rasul  tidak  tertarik  padanya,  maka  ia  pun  duduklah.  Lalu  salah seorang  sahabat  beliau  berdiri  dan  berkata  :”Ya  Rasulullah! seandainya  tuan  tidak membutuhkannya, kawinkanlah dia dengan saya.  ”Rasul  bertanya:  ”Adakah  engkau  mempunyai  sesuatu?” Jawab orang itu  :   ”Demi Allah, tidak ada apa-apa, ya Rasulullah. ”Rasul  berkata:  ”Pergilah  kepada  sana  keluargamu!  Mudahmudahan  engkau  memperoleh  apa-apa.  ”Lain  orang  itu  pergi.
Setelah  kembali  ia  berkata:  ”Demi  Allah,  tidak  ada  apa-apa. ”Rasul berkata: “Carilah walaupun sebuah cincin besi!  ”Orang itu pergi,  kemudian  kembali  pula.  Ia  berkata  :  ”Demi  Allah,  ya Rasulullah,  cincin  pun  tidak  ada.  Tetapi  saya  ada  mempunyai sarung yang saya pakai ini. ( Menurut Sa‟id, ia tidak mempunyai kain selain dari yang dipakainya itu). Wanita itu boleh mengambil dari  sebahagian  dari  padanya.  ”Rasullullah  berkata  :  ”Apa  yang dapat  engkau  lakukan  dari  sarungmu  itu.  Kalau  engkau  pakai tentu ia tidak berpakaian. “Lalu orang itu pun duduklah. Lama ia termenung  kemudian  ia  pergi.  Ketika  Rasul  melihatnya  pergi,
beliau  menyuruh  agar  orang  itu  dipanggil  kembali.  Setelah  ia datang,  beliau  bertanya:  ”Adakah  engkau  menghafal  Qur‟an? ”Orang   menjawab  :   ”saya  hafal  surat  ini  dan  surat  itu.  ”Ia  lalu menyebutkan  nama  beberapa  surat  dalam  Al-Qur‟an.  Rasul bertanya  lagi  :  ”Kamu  dapat  membacanya  diluar  kepala?  ”Ya,” jawab orang itu. “ Pergilah, engkau saya kawi nkan dengan wanita itu dengan Alqur‟an yang engkau hafal itu”. (HR al-Bukhari).

B.    Kadar Mahar
Syari’at Islam tidak membatasi kadar mahar yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkan kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka. Nash al-Qur’an dan hadits hanya menetapkan mahar itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cicin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda :   
“(Langsungkanlah  pernikahan)  meski  hanya  dengan  (mahar) cincin  yang  terbuat  dari  besi”.  (HR.  Al-bukhari,  Ahmad,  Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)                                                                                                                
Ibnu  Taimiyaiah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampuh dan hukumnya tidak makruh. Kecuali, disertai dengan hal-hal atau syarat lain yang bisa menjadikan hukumnya makruh. Seperti diikuti rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi yang tidak mampu memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh. Bahkan menjadi haram jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi hal itu atau benda itu berbentuk benda yang diharamkan. Jika jumlah mahar yang ditentukan itu besar dan ia menyanggupi dengan ditangguhkan (tidak tunai), maka hukumnya juga makruh. Karena, hal ini bisa menyibukkan suami dengan tanggungan yang dipikulnya”. 
Bagaimanapun, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan supaya menikah agar masing-masinig dapat menikmati hubungan yang halal dan baik.
Untuk mencapai hal ini, tentunya di beri jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang yang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Merekah itu termasuk golongan mayoritas dari umat manusia.
Karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwah setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi keberkahan dalam kehidupan suami istri. Mahar yang murah pun menunjukan kemurahan hati dari pihak perempuan.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa banyaknya mahar akaan menjadikan suami benci terhadap istrinya, ketika ia ingat besarnya mahar yang harus dipenuhi. Karenah itu, wanita yang paling mulia dan diberkahi Allah adalah wanita yang paling sedikit maharnya, seperti yang telah diterangkan dalam hadits ‘Aisyah ra kemudian mahar membawa berkah bagi sang istri dan dapat menimbulkan rasa kasih dari suaminya.
Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini, bahkan menyalahinya dan berpegang pada adat ajaran jahiliah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anknya kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah wanita itu barang dagangan yang di pasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini banyak menimbulkan kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan dunia perkawinan. Akibatnya, yang halal ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (zina).
C.    Macam-macam
Ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
1.    Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakad bahwa mahar musamma dalam pelaksanaannya harus diberikan secara penuh apabila :
a.    Telah bercampur (bersenggama). Tentang ini allah swt. Berfirman dalam QS.  an-Nisa’ [4] ayat : 20
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا                     
    Dalam ayat lain Allah swt berfirman dalam QS. an-Nisa’[4
 ayat : 20
        وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا                                                                           

b.    Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayarkan seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti istrinya mahram sendiri, atau dikira gadis ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah swt pada QS al-Baqoroh  :  237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ    
2.    Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan :
a)    Suami dalam keadaan tidak menyebutkan sama sekali mahar dan jumlahnya.
b)    Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah mahar minuman keras.
c)    Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian sumi istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan. 
Menurut Mazhab Abu Hanifah, wajib diberikan mahar mitsil karena tiga hal diantaranya :
a)    Pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh. Dengan berlangsungnya akad nikah ini wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil.
b)    Pada waktu akad nikah tidak disebut maharnya, tetapi kemudian ternyata barang yang disebut sebagai mahar itu sesuatu yang tidak berharga. Menyebut barang yang demikian sebagai mahar dalam akad nikah menerima mahar mitsil.
c)    Sepasang suami istri telah sepakat kawin tanpa mahar, namun menurut hukum islam suami harus membayar mahar, sebab mahar itu adalah hak allah. Dalam hal ini istri berham menerima mahar mitsil karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami membayar mahar kepada istrinya karena terjadi perkawinan sehingga orang yang melakukan perkawinan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.
Dalam hal nikah tafwidh, apabila wanita sudah suaminya wanita harus mendapat mahar mitsil. Jadi, keharusan membayar mahar mitsil itu bukan karena akad nikahnya, tetapi karena mereka telah bercampur. Istri berhak menuntut kepada suami dalam ketentuan jumlah maharnya sebelum dicampuri. Apabilah suami menentukan jumlah itu kurang dari pada mahar mitsil maka hal ini harus disetujui pihak wanita karena mahar itu haknya. Tetapi kalau suami menentukan jumah sebesar mahar mitsil maka tidak perlu meminta persetujuan lagi. Kalau suami tidak mau menentukannya atau terjadai perselisihan pendapat tentang besar jumlahnya, maka hakimlah yang menentukan mahar mitsil mereka.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan. Firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] :  236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً     
Ayat ini menunjukan bahwa seseorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
D.    Bentuk Mahar dan Syarat-syarat Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun, syar’iat  Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa dalam melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam  al-Qur’an dan demikian pula dalam hadist Nabi.
Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai perkawinan seseorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah swt. Dalam QS. al-Qhashash [28] ayat 27 :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ           
    Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan al-Qur’an sebagai mahar sebagaimana tedapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adi dalam bentuk muttafak alaih.
، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ.                                                              
Nabi    bertanya:  ”Adakah  engkau  menghafal  Qur’an? ” Orang menjawab  :”saya  hafal  surat  ini  dan  surat  itu.  ”Ia  lalu menyebutkan  nama  beberapa  surat  dalam  al-Qur’an.  Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” jawab  orang  itu.  “Pergilah,  saya  kawinkan  engkau  dengan wanita itu dengan mahar mengajarkan al-Qur’an”.
    Contoh lain adalah rasulullah sendiri ketika menikakan Sofiyah yang waktu itu masih bersetatus sebagai hamba dengan maharnya memerdekakan sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Ulama’ Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ dalam hal ini. Menurut ulama ini apabila seseorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau  mengajarinya al-Qur’an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar mitsil.
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk sederharna dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan dari Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan nabi : “sebaik-baiknya mahar itu paling mudah”. Hal ini dikuatkan pula dengan hadis Nabi dari Sahal ibn sa’ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan : bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maharnya sebuah cicin besi.
Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar, para ulama’ memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batasan maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimal terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari itu tidak memadai oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencuriannya.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 Dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apapun yang penting bernilai dapat dijadikan mahar. Apabila mahar dalam bentuk barang maka syaratnya :
1.    Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
2.    Barang itu miliknya sendiri secara kepemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya, bila salah satu saja yang dimiliki, sepreti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
3.    Barang itu sesuatu yang syarat untuk diperjulbelikan dalam arti barang yang tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi dan bangkai.
4.    Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.

E.    Hikmah Mahar
Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang  suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban material yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban material selanjutnya.
Kemudian hikmah disyariatkanya mahar atau maskawin dalam nikah adalah sebagai ganti dihalalkanya wanita atau sihalalkanya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu, mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagia tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadai hak suami.











BAB III
PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
A.    Biogarafi Imam Syafi’i
1.    Latar Belakang Keluarga
Sebelum lebih jauh membahas pendapat Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, peneliti akan menggambarkan lebih dekat sekilas tentang biografi Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i lahir di Gaza (masih wilayah ‘Asqalan) pada bulan rajab tahun 150 H atau sekitar 767 M. Imam Syafi’i lahir dalam keadaan yatim bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819).
Namun lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas asy-Syafi’i Ibn asy-Sa’ib ‘Ubayd Ibn ‘Abduyazid Ibn Muthalib ibn Abdumanaf. Muthalib adalah saudarah  kandung Hasyim Ibn ‘Abdulmmanaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah ‘Abdul Muthalib, datuk Nabi Muhammad saw. Ibn Imam Syafi’i adalah cucu perempuan dari saudara Fathimah binti As’ad, Ibn Imam ‘Ali Ibn Thalib. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan, “Ali Ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan putra bibiku”.
Imam Syafi’i adalah putra dari suami-istri yang sama-sama berdarah Quraisy. Ayahnya miskin dan sering meninggalkan Makkah untuk mencari penghidupan yang lebih matang di Madinah. Akan tetapi, di Kota itu, ia tidak menemukan yang dimaksud. Kemudian, ia bersama keluarganya pindah ke Gaza dan meninggal dunia disana, dua tahun setelah Imam Syafi’i lahir. Sepeninggal ayahnyaImam Syaf’i tidak dapat hidup menetp di Gaza. Ia membwa anaknya yang berusia dua tahun itu ke ‘Asqalan. Akan tetapi, penghidupan di ‘Asqalani tidak ramah bagi janda muda. Ia kemudian membawa Imam Syafi’i pulang kampung halaman, Makkah, tanah tumpah darah orang tuanya secara turun-temurun. Disana ia akan hidup ditengah kaumnya sendiri yaitu masyarakat Quraisy.
2.    Pendidikan
Dalam mengawali pendidikannya pada usia kanak-kanak, Imam Syafi’i diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di Makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya, guru yang mengajarnya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang lebih besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkannya kepada Imam Syafi’i dapat dimengerti dan dapat dicerna dengan baik, lagi pula setiap ia berhalangan ternyata Imam Syafi’i sanggup menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain, akhirnya Imam Syafi’i dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang di harap dari ibunya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dibiarkan terus belajar tanpa dipungut bayaran. Keadaan seperti itu berlangsung hingga Imam Syafi’i berkesempatan belajar al-Qur’an dan menghatamkanya dalam usia tujuh tahun.
Tamat belajar al-Qur’an, Imam Syafi’i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga lain ang berada di dalam Masjid Haram, agar dapat membaca al-Qur’an lebih baik termasuk tajwid dan tafsirnya. Di lembaga tersebut, belajar beberapa orang guru ahli tafsir, tartil dan tajwid.
Dalam usia 13 tahun, Imam Syafi’i sudah mampu membaca al-Qur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalkanya bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang berusia 13 tahun.
Ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan tartl, ia benar-benar khusyu’ dicekam perasan sedih bercampur perasaan takut kepada Allah swt. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur’an di Masjid Haram, banyak orang yang mendengarnya duduk bersimpuh didepanya, bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar suaranya yang merdu.
Ia kemudian mulai belajar menghafal banyak hadits. Untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan taulang yang lebar dan besar. Di atas tulang itulah ia menulis catatan-catannya. Apabila tidak ditemukan tulang, ia pergi ke diwan, untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih digunakan untuk menulis catatan-catatan pelajaran. Sulit baginya untuk memperoleh kertas, oleh karena itu, ia lebih mengandalkan ingatan dengan cara menghafal. Karena kebiasaan itulah Imam Syafi’i mempunyai daya ingat yang sangat kuat sehingga dapat menghafal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.
Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Selama menuntut ilmu, Iman Syafi’i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidak mampuannya ia terpaksa kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.
Setelah menghafal isi kitab al-Muwatta’, Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada  gurunya di Makkah. Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam prjalanan antara Makah dan Madinah yang ditempuh 8 hari Imam Syafi’i sempat menghatamkan (baca sampai selesai) al-Qur’an sebanyak 16 kali. Setibanya di madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi saw. Baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah, Imam Syafi’i tinggal dirumah gurunya, Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi’i adalah profil ualma yang Irztidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. Ia kemudian meninggalkan madinah  menuju Irak untuk berguru kepada ulama besar disana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua Imam tersebut, Imam syafi’i memperoleh pengetahuan yang sangat luas mengenahi cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman serta berbagai metode yang di sana yang tidak pernah dilatihnya di Hijaz.
Di samping itu, Imam Syafi’i mendalami bahasa Arab untuk mejauhkan dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Imam Syafi’i pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang paling fasih lidanya, sangat indah susunan bahasanya . selama 10 tahun Imam Syafi’i tinggal di Badiyah, mempelajari sya’ir adab dan sejarah. Imam Syafi’i terkenal ahli dalam bidang sya’ir yang digubah oleh golongan Hudzail itu. Disana juga belajar bermain panah sehingga kemahiran dalam bidang tersebut. Dalam masa itu  Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an dan hadits, mempelajari sastra Arab, memahirkan diri dalam mengendarai kuda serta meneliti keadaan penduduk-penduduk badiyah dan penduduk kota.
Imam Syafi’i pulang dari pegunungan sebagai seorang penunggang kuda. Ia banyak memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman dari kehidupan masyarakat Bani Hudzail, pandai memanah dan menguasai ilmu bahasa dan sasta Arab scara lebih cemerlang. Di samping itu, menguasai ilmu al-Qur’an hadist dan fikih. Semua itu merupakan kekayaan yang amat besar baginya.
Lengkaplah sudah perangkat ilmiah yang dimiliki Imam Syafi’i untuk dapat memahami dengan baik makna al-Qur’an, hadits-hadits, pusaka pemikiran serta amalan para sahabat Nabi Muhammad saw. Ia telah memiliki kekayaan dalam ilmu bahasa untuk membuka makna kata dan kalimat yang terkunci, di samping rasa seni sastra yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk menjangkau kelembutan balaghah dan rahasia ilmu bayan (kedua-duanya merupakan ilmu bahasa Arab).
Tibalah saat gurunya untuk berkata padanya,"tibalah waktuku untuk berfatwa". Itu berarti bahwa guru-gurunya tidak meragukan lagi kemampuanya Imam Syafi’i untuk menjawab pertayaan-pertanyaan dan memecahkan ketentuan hukum syariat yang dibutuhkan kaum muslimin.
3.    Guru dan Murid Imam Syafi’i
Di madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kufah, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi yang telah membantunya melepaskan diri dari konspirasi politik dengan ahl-bayt. Imam Malik merupakan pauncak tradisi Madrasah Madinah (Hadis), dan Abu Hanifa adalah puncak Madrasah Kufah (ra’y). Dengan demikian, Imam Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintensis antara aliran Kufah dan Madinah.
Disamping itu, Imam Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di yaman, Makkah dan Kufah. Di antara ualama yaman yang di jadikan guru oleh Imam Syafi’i adalah Mutharraf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn Abi Salamah dan Yahyah Inb Hasan. Selmah tinggal di Makkah yang menjadi Guru Imam Syafi’i berguru pada guru terkemuka. Diantara ulama Makkah yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah Syufyan Ibn ‘Uyainah, Rahmah al-Aththar dan ‘Abd al-Hamid ‘Abd al-Aziz Ibn Abi Zuwad.
Dalam menguasai Fikih Madinah, Imam Syafi’i berguru langsung kepada Imam Malik, sedangkan dalam menguasai fikih Irak, ia  berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan penerus fikih Hanafi.  Disamping  itu,  mempelajari  fikih  al-Auza’i  dari  Umar  Ibn  Abi alamah dan mempelajari fikih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan.
Sebagai seorang ulama yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya, Imam Syafi’i mempunyai banyak pengikut dan murid-murid yang nantinya sangat  besar jasanya mereka dalam mengembangkan mazdab Syafi’i baik di Makkah, irak maupun di Mesir.
Diantara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w.219) dari makkah, yang kemudian turut serta bersama Imam Syafi’i ke Mesir. Kemudian murid-murid Imam Syafi’i yang lain adalah Abu Ishak Ibrahim Ibn Muhammad (w.237) Abu Bakar Ibn Idris, Abdul Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya murid-murid beliau di Baghdad adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (w.256H), Abu Saur al-Kalibi (w.240 H), Ahmad Ibn Hanbal yang nantinya mengembangkan mazhab tersendiri.
Adapun murid-murid Imam Syafi’i di Mesir addalah Harmalah Ibn Yahya (w.266 H) yang cukup besar jasa-jasanya meriwayatkan kitab–kitab Imam Syafi’i dan Abu Ya’kub Yusuf Ibn Yahya al-Buati, seorang yang dihargai dan disayangi Imam Syafi’i serta ditujuk oleh beliau sebagai penggantinya.
Kemudian murid Imam Syafi’i adalah Abu Ismail Ib Yahya al-Muzani (w.264 H ), Muhammad Ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakim (w. 268 H), al-Rabi‟ Ibn Sulaiman Ibn Daud al-Izi (w. 256 H). diceritakan bahwa al Muzani  banyak mempunyai kitab-kitab  Syafi’i  dan menulis kitab  al-Mabsut dan  al-Mukhtasar  min  ‘Ilm  al-Syafi’i.  melalui  murid-murid  beliau  inilah, pandangan dan pemikiran Imam  Syafi‟i berkembang dan meluas ke berbagai kawasan  negeri  Islam  yang  hingga  sekarang  tetap  eksis  dan  lestari  diikuti oleh umat Islam.
4.    Karya-karya Imam Syafi’i
Ketokohan  dan  kepiawaian  Imam  Syafi’i  dalam  bidang  pemikiran hukum  memang  luar  biasa.  Hal  ini,  tidak  lain  karena  di   samping  beliau membaktikan  diri  mengajarkan  ilmu,  juga  aktif  menulis  dan  memb ukukan pandangan- pandangannya.
Karya beliau dalam bidang ushul fiqh adalah kitab  ar-Risalah. Kitab ini  khusus  membahas  tentang  ushul  fikih  yang  merupakan  kitab  pertama yang  ditulis  ulama  dalam  bidang  usul  fikih.  Di  dalamnya  Imam  Syafi’i menguraikan  dengan  jelas  cara-cara  mengistinbathkan  hukum.  Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.
Selain  kitab  ar-Risalah, Imam  Syafi’i  juga menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama  al-Umm.  Kitab  ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh,  yang  menekankan  praktek  ajaran  Islam.  Kitab  ini  ditulis  oleh  Imam Syafi’i ketika di Mesir. Beliau pergi ke Mesir pada tahun 204 H. Berdasarkan riwayat,  ketika  berada  di  Mesir  ini  Imam  Syafi’i  mencapai  puncak kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang fiqih. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali.
Kemudian  kitab  al-Musnad,  berisi  tentang  hadis-hadis  Nabi  saw yang dihimpun dari kitab  al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.  Selanjutnya  karya  beliau  adalah  Ikhtilaf  al-Hadis,  suatu  kitab  hadis yang  menguraikan  pendapat  Imam  Syafi’i  mengenai  perbedaan-perbedaan yang  terdapat  dalam  hadis.  Terdapat  pula  buku-buku  yang  memuat  ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti, al-Fiqh,  al-Muktasar  al-Kabir,  al-Mukhtasar  as-Shahir  dan  al-Fara’id. Ketiganya dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.
Sedangkan  di  Mesir  ada  Abu  Ya’qub  Yusuf  bin  Yahya  Al-Buthi, murid yang paling senior di Mesir, juga ada Ismail bin Yahya al-Muzani ia termasuk murid yang paling cerdas, pendapatnya yang brilian yang berbeda dengan  sang  Guru,  serta  memiliki  karya  antara  lain:  Al-Mukhtasar  AshShagir  dan  al-Jami’  Al-Kabir,  kemudian  ada  Ar-Rabi’  bin  Sulaiman  al-Muradi yang meriwayatkan kitab al-Umm dari Imam Syafi’i.
Berbagai  pandangan  baru  Imam  Syafi’i  muncul  di  Mesir sehingga dalam fiqih  Syafi’i  ditemukan dalam  Qaul  (pendapat) yaitu  Qaul al-Qadim dan  Qaul  al-Jadid. Disebabkan  karena  Imam  Syafi’i  berhadapan  dengan  adat  dan  tradisi  masyarakat  yang  berbeda  dengan  apa  yang  ia  lihat  dan rasakan  ketika  berada  di  Makkah,  Hijaz  dan  Baghdad  (Irak).  Dengan perbedaan ini, maka Imam  Syafi’i merubah pendapatnya mengenai beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat Mesir. Di  samping itu, ketika Imam  Syafi’i  berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan  banyak  mendengar  dan  menemukan  hal-hal  yang  belum  ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
    Imam  Syafi’i ketika datang ke Mesir, pada umumnya penduduk Mesir saat itu mengikuti Madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Memudian setelah ia  membukukan  kitabnya  (qaul  jadid),  ia  mengajarkannya  di  Masjid, Amr Ibn, Ash,  maka  mulai  berkembanglah  pemikiran  mazhabnya  di  Mesir, apalagi di waktu  itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama,  seperti,  Muhammad  Ibn  Abdullah  Ibn  Abd  al-Hakam,  Ismail  Ibn Yahya,  al-Buwaithiy,  al-Rabi’,  al-Jiziy,  Asyhab  Ibn  al-Qasim  dan  Ibn Mawaz.  Mereka  adalah  ulama  yang  berpengaruh  di  Mesir.  Inilah  yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai ke seluruh pelosok.
Penyebaran  mazhab  Syafi’i  ini  antara  lain  di  Irak,  lalu perkembang dan  tersiar  ke  Khurasan,  Pakistan,  Syam,  Yaman,  Persia,  Hijaz,  India, daerah-daerah  Afrika  dan  Andalusia  sesudah  tahun  300  H.  Kemudian mazhab  Syafi’i ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh  pelosok  negara-negara  Islam,  baik  di  Barat  maupun  di  Timur  yang dibawa  oleh  para  muridnya  dan  pengikut-pengikutnya  dari  satu  negeri  ke negeri  lain,  termasuk  Indonesia.  Kala  kita  melihat  praktik  ibadah  dan mu’amalah   umat  Islam  di  Indonesia,  pada  umumnya  mengikuti  mazhab Syafi’i. Hal ini karena disebabkan karena beberapa faktor :
a.    Setelah  adanya  hubungan   Indonesia  dengan  Makkah  dan  diantara  kaum  muslimin  Indonesia  yang  menunaikan  ibadah  haji,  ada  anggapan bermukim  di  sana  dengan  maksud  belajar  ilmu  agama.  Guru-guru mereka  adalah  ulama-ulama  yang  bermadzhab  Syafi’i  dan  setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b.    Hijrahnya  kaum  muslimin  dari  Hadhramaut  ke  Indonesia  adalah merupakan sebab yang penting pula bagi  tersiarnya madzhab  Syafi’i di Indonesia, karena ulama Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
c.    Pemerintah  kerajaan  Islam  di  Indonesia  selama  zaman  Islam mengesahkan  dan  menetapkan  Mazhab  Syafi’i  menjadi  haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor  kepenghuluan  dan  Pengadilan  Agama,  hanya mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah, seperti kitab  al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d.    Para  pegawai  jawatan  dahulu  hanya  terdiri  dari  ulama  mazhab Syafi’i kerena belum ada yang lainnya.
B.    Pemikiran Imam Syafi’i tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar karena Suami Meninggal Dunia.
Seperti  yang  telah  dijelaskan  di  dalam  latar  belakang  pada  bab  I  di  atas,tentang    mahar  hutang  yang  belum  belum  dibayar  karena  suami  meninggal dunia,  bahwa  menurut  pemikiran  Imam  Syafi’i,  mahar  tetap  wajib  dibayar  oleh suami  kepada  istri  baik  qabla  dukhul  maupun  ba’da  dukhul.  pemikirannya dijelaskan dalam kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ






















BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN  IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG
YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGGAL DUNIA DALAM TINJAUAN TAFSTIR
A.    Dasar  Pemikiran  Imam  Syafi’i   tentang  Mahar  Hutang  yang  Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
Dalam  bab  ini  peneliti  menganalisis  Pemikiran  Imam  Syafi’i  tentang mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Sebagaimana yang  telah  dijelaskan  dalam  bab  III  di  atas,  bahwa  mahar  merupakan  sesuatu yang  harus  ada  dalam  sebuah  pernikahan.  Akan  tetapi,  dalam  hal  ini  masih terjadi perbedaan  Pemikiran  dari  beberapa  Imam  Mazhab,  terutama  dalam  hal pemberian  mahar  baik  sebelum  maupun  setelah  terjadi   hubungan  suami  istri. Apakah  mahar  tetap  diberikan  atau  menjadi  gugur  ketika  suami  meningggal dunia karena belum maupun setelah terjadi hubungan suami istri?
Pemikiran   Imam  Syafi’i  sendiri  berbeda  den Pemikiran gan  pendapat  imam  lainnya. Perbedaan  pendapat  merupakan  sesuatu  yang  biasa  karena  pemahaman  para imam mazhab  sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki serta sosio-kultur masyarakat dimana ia berada.
Dalam  masalah  mahar  Imam  Syafi’i  berpendapat,  bahwa  mahar  harus dibayarkan  oleh  suami  meskipun  telah  meninggal  dunia  baik  sudah  terjadi dukhul maupun qabla dukhul karena hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Umm sebagai berikut : 
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ                             
Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad  pernikahan  seperti  yang  telah  diterangkan  dalam  Pemikiran nya,  Imam Syafi’i  memandang  bahwa apabila suami tidak dapat membayar mahar dengan uang  maka  dapat  diganti  dengan  barang  yang  jumlah  sama  seperti  nilai  uang yang disebutkan, atau apabila tidak mampu  dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.
Apabila  akad  nikah  berlangsung  tidak  disebutkan  berapakah  maskawin yang  akan  diberikan,  perkawinan  itu  sah,  tetapi  maskawin  itu  tetap  wajib dibayar, dan disebut  mahar mitsil, yaitu maskawin yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada si isteri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai  ukuran, berapakah biasanya maskawin perempuan dikalangan keluarga si isteri tersebut. Maskawin  itu  boleh  saja  dibayarkan  tunai  dan  sebagian  dibayarkan  kelak. Tentang  hal  ini  diserahkan  bagaimana  kebiasaan  di  dalam  masyarakat.  Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan isteri, atau suami meninggal,  dan  belum  terjadi  hubungan  seksual,  mahar  wajib  dibayarkan seluruhnya.
Menurut  Imam  Syafi’i,  bahwa  apabila  hutang  tersebut  tidak  diketahui secara detail, tetapi secara global misalnya, akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditentukan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak), maka mahar musamma-nya fasid dan ditetapkanlah mahar mitsil.
Dalam  hal  ini,  kalau  Imam  Hanafi  dikenal  sebagai  pemikir  rasional  dan Imam  Malik  dikenal  sebagai  pemikir  tradisional,  maka  Imam  Abi  ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i berada diantara keduanya. Penyebab utamanya adalah
1.    Imam  Syafi’i  pernah  tinggal  di  Hijaz  dan  belajar  pada  Imam  Malik, selanjutnya ia pindak ke Irak dan belajar pada murid-murid Imam Hanafi.
2.    Imam Syafi’i adalah pengembara ke berbagai kota dan akhirnya pindah ke Mesir, daerah yang kaya dengan warisan budaya Yunani, Romawi, Persia dan Arab.
Kedua  fakor  utama  itulah  yang  membuat  corak  pemikiran  Imam  Syafi’i merupakan  sintesis  dari  corak  pemikiran  Imam  Hanafi  dan  Imam  Malik, sehingga ia dikenal sebagai faqih yang moderat.
Kemoderatan Imam Syafi’i  dalam berpendapat juga  dipengaruhi  oleh adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada  di  Makkah,  Hijaz  dan  Baghdad  (Irak).  Kemudian,  ketika  Imam  Syafi’i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
Meskipun  Pemikiran  Imam  Syafi’i  sudah  jauh  ratusan  tahun  lalu  yang dikemukan  pada  masanya.  Akan  tetapi,  saat ini  masih  relevan  dengan  keadaan sekarang  sehingga  dapat  memberikan  kontribusi  dalam  penyusunan  sebuah hukum  misalnya,  di  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI),  disana  banyak ketentuan-ketentuan  yang  mengadopsi  dari  fiqih  Syafi’iyah.  Hal  ini  menjadi bagian dari eksistensi pemikiran Imam Syafi’i sampai saat ini.
Di  samping  itu,  Imam  Syafi’i  sangat  berhati-hati  dalam  mengemukakan Pemikiran nya, karena dalam pengembaraan baik di Irak maupun di Mesir hingga melahirkan  Qaul  Qadim  dan  Qaul  Jadidnya,  merupakan  sebuah  pengalaman keilmuan  yang  sangat  berharga  baginya  sehingga  Imam  Syafi’i  mengetahui secara pasti bagaimana  menerapkan hukum pada  kondisi mayarakatnya saat itu.
Imam Syafi’i  memiliki Pemikiran jauh ke depan sebelum    mengemukakan pendapatnya,  ini  menunjukkan  seorang  pemikir  yang  cerdas  karena  melihat biografinya  saja,  ketika  di  usia  anak-anak  sudah  mampu  menghafal  al-Qur’an, membaca  dengan  tartil  dan  fasih    serta  memahami  makna  yang  terkandung  di dalamnya.
Karena  seperti  yang  telah  disebutkan  di  atas,  bahwa  keberadaan  wanita sangat dihormati oleh Islam, karena  mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati  suami  benar-benar  mencintai  istrinya  sehingga  setiap  terjadi  pernikahan haknya untuk menerima mahar pun secara otomatis harus diterima oleh istri.   Di samping itu mahar menjadi konskuensi dari adanya akad nikah.   Karena menurut Imam  Syafi’i  bahwa  mahar  merupakan  pemberian  wajib  dari  suami  kepada istrinya  ketika  terjadi  akad  nikah,  sehingga  meskipun  suami  meninggal  baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri  mahar tetap wajib diberikan. Dalam kewajiban membayar mahar sudah diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 yang telah dipaparkan di atas.
Dan inilah hasil dari bentuk ihtiar beliau dalam mengqiaskan suatu dalil untuk mendapatkan sebuah dasar hukum untuk kita jadikan pedoman dalam menentukan sebuah persoalan seputar mahar.
Inilah   bunyi  pada  ujung  surat  an-Nisa’  ayat  4  yang  artinya  “ Tetapi Jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu  sebagian  dari  maskawin  itu  dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)  yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu  sehingga telah  menjadi dia  yang  empunya.  Sebagaimana  barang-barang  di  dalam  rumah  itu,  baik pemberian ayah  dan  bundanya atau hadiah dari suaminya  sendiri adalah haknya mutlak.  Laki-laki  yang  beriman  dan  berbudi  tidak  akan  mengganggu  hak  itu. Tetapi,  kalau  dia  rela  memberikan  sebagian  daripadanya,  karena  kasih  sayang yang  telah  terjalin,  tidak  masalah  yaitu  setelah  jelas  bahwa  itu  telah  ke tangannya.  Tetapi,  dengan  ini  tidak  berarti  bahwa  perempuan  itu  atau  walinya diperbolehkan  maafkan  mahar  saja  sebelum  akad  nikah.  Hati  bersih  tidaklah berarti  bahwa  ketentuan  agama  boleh  dirubah.  Terima  dahulu  mahar  itu,  maka setelah  di  tangan,  bolehkan  kalau  hendak  memberi  pula  kepada  suami  dengan hati cinta.
Pemikiran Imam  Syafi’i  tersebut  lebih  dinamis  serta  banyak  dipakai  oleh generasi-generasi  selanjutnya.  Sebagai  contoh,  untuk  konteks  masyarakat muslim  khususnya  di  negara  Indonesia  yang  mayoritas  menganut  fiqih Syafi’iyah,  dalam  hal  pemberian  mahar  saja  kebanyakan  masyarakat  tidak memasang  batasan  yang  sangat  tinggi  akan  tetapi  tergantung  kesepakatan dari keduanya  sehingga  kecil  kemungkinan  suami  untuk  menghutang  mahar  karena suami  dapat  menunaikan  secara  langsung  maharnya  pada  waktu  terjadi  akad pernikahan.
B.    Istinbath  Hukum  Imam  Syafi’i  Dalam Tinjauan Tafstir
Di  dalam  buku metodologisnya, ar-Risalah,  ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar  mazhabnya  dan  beberapa  contoh  bagaimana  merumuskan hukum  far’iyyah  dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Menurutnya, al-Qur’an dan  sunnah  berada  dalam  satu  tingkat,  dan  bahkan  merupakan  satu  kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori seperti qiyas, istihsan, istishab  dan ain-lain  hanyalah  merupakan  suatu  metode  merumuskan  dan  menyimpulkan hukum dari sumber utama tadi.
Pemahaman  integral  al-Qur’an  dan  Sunnah  ini  merupakan Karakteristik menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i.  Menurut Imam  Syafi’i, kedudukan sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an,  memerinci  yang  global,  mengkhususkan  yang  umum,  dan  bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya,  sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai keterkaitan erat  dengan al-Qur’an. Hal  ini  dapat  dipahami  karena  al-Qur’an  dan  sunnah  adalah  Kalamullah:  Nabi Muhammad saw tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan firmanNya QS Haaqah :40-43.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43)                        
Hipotesa  menarik  lainnya  dalam  pemikiran  metodologis  Syafi’i  adalah pernyataannya,  “Setiap  persoalan  yang  muncul  akan  ditentukan  ketentuan hukumnya  dalam al-Qur’an”. Untuk membuktikan hipotesanya itu, Imam  Syafi’i menyebut empat cara al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
Mengenai masalah mahar,  ditinjau  dari asbab al-nuzul  surat an-Nisa’ ayat 4 di  atas  bahwa  dalam  tafsir  jalalain  ada  keterangan  sebagai  berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih katanya :  ”Dulu jika seorang laki-laki  mengawinkan  putrinya,  diambil  maskawinnya  tanpa  memberikan padanya,  maka  Allah  pun  melarang  mereka  berbuat  demikian,  sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa. 
Dalam Tafsir al-Azhar mengenai surat an-Nisa’ ayat 4 bahwa kata shadaq atau shaduqat yang dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati.  Jadi harta yang diberikan dengan putih hati , hati suci, muka jernih kepada calon isteri. Kemudian di dalam ayat ini disebut  nihlah, yang diartikan sebagai kewajiban. Supaya cepat saja dipahami, karena mahar itu wajib dibayar. Qatadah memang  memberi  arti  :  pemberian  fardhu.  Ibnu  Juraij  mengartikan,  pemberian yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat bahwa kata  nihlah itu  dari  rumpun  kata  an-Nahl,  bermakna  lebah.  Laki -laki  mencari  harta  yang halal  laksana  lebah  mencari  kembang,  yang  kelak  menjadi  madu.  Hasil  jerih payah sucinya itulah yang akan diserahkannya kepada calon isterinya.
Selanjutnya  bunyi  pada  ujung  surat  an-Nisa’  ayat  4  yang  artinya  “ Tetapi Jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu  sebagian  dari  maskawin  itu  dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)  yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu  sehingga telah  menjadi dia  yang  empunya.  Sebagaimana  barang-barang  di  dalam  rumah  itu,  baik pemberian ayah  dan  bundanya atau hadiah dari suaminya  sendiri adalah haknya mutlak.  Laki-laki  yang  beriman  dan  berbudi  tidak  akan  mengganggu  hak  itu. Tetapi,  kalau  dia  rela  memberikan  sebagian  daripadanya,  karena  kasih  sayang yang  telah  terjalin,  tidak  masalah  yaitu  setelah  jelas  bahwa  itu  telah  ke tangannya.  Tetapi,  dengan  ini  tidak  berarti  bahwa  perempuan  itu  atau  walinya diperbolehkan  maafkan  mahar  saja  sebelum  akad  nikah.  Hati  bersih  tidaklah berarti  bahwa  ketentuan  agama  boleh  dirubah.  Terima  dahulu  mahar  itu,  maka setelah  di  tangan,  bolehkan  kalau  hendak  memberi  pula  kepada  suami  dengan hati cinta.
Di  samping  itu,  kata  nihlah,  menurut  Abi  Sholih  mempunyai  tiga  ta’wil (penafsiran).  Pertama,  bahwa  dia  wajib  membayarkan  mahar  artinya  diamempunyai  hutang  kepada  isterinya.  Kedua,  kerelaan  hati  seorang  isteri  akan terbayar  ketika mahar itu diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan  membayar mahar kepada suami sesudah mempunyai hak memiliki dari wali isterinya.
Dalam  masalah mahar  ada  dua  alasan  yang  mendasari mengapa mahar  itu wajib  diberikan  seperti  yang  diterangkan  Al-Mawardi  dalam  kitab  al-Hawi  al-Kabir  yaitu,  pertama,  menurut jumhur ulama bahwa mereka (suami istri) terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua, dilihat dari sisi lain mereka adalah wali Karena mereka itu (orang-orang jahiliyah) memiliki kewajiban membayar mahar kepada perempuan. Maka Allah memerintahkan untuk membayar mahar kepada mereka (isteri).
Oleh  karena  itu,  setelah  mengetahui  baik  dari  asbab  an-nuzul  maupun Penafsiran  dari  surat  an-Nisa’  ayat  4,  bahwa  mahar  menjadi  kewajiban  yang harus  dibayarkan  oleh  suami  kepada  isterinya  ketika  terjadi  akad  pernikahan. Suami  pun  tidak  diperkenankan  mengambil  kembali  kecuali  atas  kerelaan  hati dari isterinya  sendiri. Sehingga dalam hal ini penulis sepakat bahwa mahar wajib diberikan  kepada  isteri  dari  seorang  suami  ketika  terjadi  akad  pernikahan. Karena  dalam  tafsir di atas  juga  disebutkan  bahwa kata  nihlah  itu dari rumpun kata  an-Nahl,  bermakna  lebah.  Seorang  laki -laki  mencari  harta  yang  halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu sehingga hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diberikan kepada calon isteri nantinya.
Maka  dalam  hal  kewajiban  membayar  mahar,  Imam  Syafi’i  mengambil dalil al-Qur’an sebagai istinbath hukumnya  yang sudah  disebutkan dalam bab 3 di atas, yang diterangkan dalam  bab as-Shidaq  Kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam  al-Mawardi.  Penulis  mencantumkan  istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  yang diambil dari kitab al-Hawi al-Kabir karena pengarang kitab tersebut dari mazhab Syafi’iyah  sehingga  pemikirannya  pun  sama  dengan  penggagasnya,  Imam Syafi’i. Penafsiran Imam Syaf’i tentang surat an-Nisa’ ayat 4 di atas sudah jelas, bahwa  mahar  sesuatu  yang  wajib  diberikan  oleh  seorang  suami  terhadap  istri ketika  terjadi  akad  pernikahan  meskipun  suami  belum  maupun  sudah  terjadi ubungan  suami  istri.  Karena  surat  an- Nisa’  ayat  4  merupakan  satu  kesatuan alam pemberian mahar baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri.
Maka  sudah  jelas,  bahwa  ketentuan  segala  sesuatu  itu  merujuk  pada  al Qur’an  dan  sunnah.  Menurut  Imam  Syafi’i,  “Kembalikanlah  pada  Allah  dan Rasul”,  artinya,  kembalikanlah  al-Qur’an  dan  sunnah.  Pengembalian  itu  hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, ia ingin menyebutkan bahwa  ijtihad  merupakan  perintah  al-Qur’an  itu  sendiri  dan  bukan  melakukanrekayasa hukum.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui dengan jelas, bahwa sikap moderat Imam  Syafi’i  telah  digambarkan  dalam   kitab  metodologisnya,  ar-Risalah.  Ia begitu  teguh  dalam  berpegang  pada  al-Qur’an  dan  sunnah  dan  pada  saat  yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Menurut  Imam  Syafi’i,  struktur  hukum  Islam  dibangun  atas  empat  dasar yang  disebut  “sumber-sumber  hukum”.  Sumber-sumber  tersebut  adalah  al-Qur’an,  sunnah,  ijma’  dan  qiyas.  Meskipun  ulama  sebelumnya  juga menggunakan keempat dasar di atas. Namun, rumusan Imam Syafi’i mempunyai suasana  dan  pandangan  yang  baru,  dalam  penggunaan  ijma’ misalnya,  Imam Syafi’i tidak sepenuhnya meniru Imam Malik yang masih terkesan global tanpa penjelasan dan batasan yang jelas.
Disisi lain, penulis membandingkan tentang surat al-Baqarah ayat 236 yang menjelaskan bahwa suami tidak berkewajiban membayar maskawin atau mahar ketika  menceraikan  istrinya  sebelum  berhubungan  suami  istri  dan  ketika  akad pernikahan  maharnya  belum  ditentukan.  Karena  pendapat  Imam  Malik  bahwa mahar  diberikan  ketika  sudah  berhubungan  atau  bersenang-senang  (istimta’) dengan  istrinya.  Akan  tetapi,  Imam  Syafi’i  berpendapat  bahwa  mahar  tetap diberikan ketika sudah terjadi  akad pernikahan  meskipun belum maupun sudah melakukan hubungan suami istri.
Apapunbentuknya ketika memiliki manfaat yang bisa diterima mempelai wanita,  dapat dijadikan mahar.  Bahkan ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari  yang  menjelaskan,  bahwa  Rasulullah  saw  saat  itu  pernah  berkata kepada  seseorang  yang  datang  kepada  Rasul  untuk  menikah  :  Cobalah  cari walaupun  sebentuk  cincin  besi.  Orang  itu  pun  mencari  tetapi  tidak  mendapat papun  juga.  Nabi  saw.  Kemudian  berkata  kepadanya:  Apakah  engkau mempunyai  sesuatu  dari  al-Qur’an?  Orang  tersebut  menjawab  :  Ya,  surat  anu, orang tersebut menyebutkan suatu surat tertentu. Nabi akhirnya berkata : Baiklah aku (Rasulullah) kawinkan kamu berdua dengan maskawin  beberapa  surat dari al-Qur’an.
Juga ada sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika ‘Ali menikah  dengan  Fatimah,  Rasullullah  saw  bersabda  kepada  Ali  “Berilah  ia sesuatu !” Ali menjawab : Aku tidak punya apa -apa kemudian Rasulullah saw bertanya  “Manakah  baju  besimu  dari  Huthamiyah  itu?”.  Kemudian Ali  pun memberikan baju besi itu kepada Fathimah, lalu ia mencampurinya.
Kejadian ini menggambarkan betapa dalam ajaran Islam sangat menghargai kedudukan  dan kehormatan  seorang  wanita  dengan memberikan hak kepadanya, berupa mahar ya’ni  dengan beberapa surat dari al-Qur’an sekalipun.  Disisi lain,penafsiran tentang ayat tersebut  mencerminkan sikap kemoderatan Imam Syafi’idalam menetapkan  suatu    hukum. Imam Syafi’i tidak memberi batasan  minimal maupun  batasan  maksimal  dalam  masalah  mahar,  sehingga  ini  menjadi  bagian kecil  dari  gambaran  seorang  faqih  yang  dinamis  dalam  menetapkan  sebuah hukum.
Selanjutnya  analisis  hadis  yang  digunakan  Imam  Syafi’i  tentang  masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Hadis tersebut elah diriwayatkan  oleh Imam Tirmidzi sehingga kesahihannya  tidak diragukan lagi.
Syarih berkata :  Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati  suaminya  sesudah  akad  nikah  berlangsung,  sebelum  ditentukan  maharnya dan belum dicampuri, maka berhak menerima mahar penuh. Begitulah pendapat Ibnu  Mas’ud,  Ibnu  Sirin,  Ibnu  Abi  Laila,  Abu  Hanifah  dan  teman-temannya, Ishaq  dan  Ahmad.  Dan  Hakim  pernah  meriwayatkan  dalam  mustadraknya  dari Harmalah  Ibn  Yahya,  bahwa  ia  pernah  mendengat  Imam  Syafi’i  berkata  :  jika sah  hadis  Barwa’  bin  Wasyiq  itu,  maka  aku  berpendapat  seperti  itu.  Hakim berkata : Syekh kami, Abu  Abdillah berkata : Kalau seandainya Syafi’i berada di tempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata : Hadis (hadis Barwa) itu adalah sah, maka berpendapatlah engkau (hai Syafi’i) seperti itu.
Menurut  pemahaman  peneliti,  bahwa  hadis  yang  digunakan  sebagai istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  merupakan  hadis  yang  sahih  karena  memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai hadis sahih diantaranya :
a.    Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya  bahwa  periwayat  dalam  sanad  menerima  riwayat  hadis  dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung dari awal hingga akhir sanad. Untuk membuktikan apakah antara periwayat itu bersambung atau tidak, dapat dilihat dari usia dan tempat tinggal mereka. Selain itu juga dapat dilihat dari cara tahammul wa ‘ada’ al-hadis yang mereka gunakan.
b.    Diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
Secara  leksikal,’adil  berarti  lurus,  tidak  berat  sebelah,  tidak  zalim,  tidak menyimpang,  tulus  dan  jujur.  Secara  terminologi,  seseorang  dapat dikatakan  ’adil  jika  ia  memiliki  sifat-sifat  ketakwaan,  seperti  senantiasa melaksanakan  perintah  dan  menjauhi  larangan,  aqidahnya  benar,  dirinya terpelihara  dari  dosa  besar  dan  dosa  kecil,  senantiasa memelihara  ucapan dan  perbuatannya  yang  dapat  menodai  muru’ahnya,  di  samping  ia  harus Muslim, balig, berakal dan tidak fasik.
c.    Diriwayatkan oleh periwayat yang dhabith
Secara leksikal dhabith  kokoh, kuat, hafal dengan sempurna. Menurut Ibnu Hajar  al-Asqalani,  periwayat  yang  dhabith  adalah  periwayat  yang  kuat hafalannya  terhadap  apa  yang  pernah  didengarnya,  kemudian  mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja manakala diperlukan.
d.    Terhindar dari syadz (janggal)
Syadz  berarti  janggal,  menyalahi  aturan,  atau  menyimpang.  Secara terminologi,  syadz  ialah  hadis  yang  diriwayatkan  oleh  periwayat  yang tsiqah,  tetapi  riwayatnya  bertentangan  dengan  riwayat  yang  dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lain.
e.    Tidak mengandung illat (cacat)
Illat  berarti penyakit, cacat, keburukan. Menurut istilah „illat  berarti suatu sebab  yang  tersembunyi  atau  yang  samar-samar,  yang  karenanya  dapat merusak  kesahihan  hadis  tersebut.  Dikatakan  samar-samar,  karena  jika dilihat  dari  segi  lahirnya  hadis  tersebut  terlihat  sahih.  Illat  kemudian mengakibatkan kualitas hadis menjadi lemah dan tidak sahih.
Melihat  persyaratan di atas untuk disebut sebagai hadis sahih  yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, maka jelas karena hadis tersebut menerangkan bahwa  Rasulullah  saw  pernah  memutuskan  Barwa  binti  Wasyiq  seperti  apa yang disampaikan Ibnu Mas’ud ketika dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi  perempuan  dan  dia  belum  memberinya  mahar  dan  juga  belum melakukan  hubungan  suami  istri  sampai  dia  meninggal.  Ibnu  Mas’ud  berkata: baginya  mendapat  mahar  sebagaimana  mahar  istrinya.  Dan  dia  berkewajiban ‘iddah dan berhak mendapatkan warisan.
Dari  gambaran  kasus  ini  berarti  istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  memakai hadis  tentang  mahar  hutang  karena  suami  meninggal  dunia  tetap  wajib dibayarkan,  meskipun belum terjadi hubungan suami istri, apalagi sudah terjadi hubungan suami istri, mahar tetap menjadi kewajiban  penuh oleh  seorang suami kepada istri.















BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Demikian  seluruh  rangkaian  pembahasan  tentang  mahar  hutang  yang belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia  telah  selesai,  maka  penulis mengambil suatu kesimpulan :
1.    Pemikiran  Imam  Syafi’i  tetap  mewajibkan  membayar  mahar  bagi  seorang suami kepada seorang istri, meskipun suami sudah meninggal dan belum maupun  telah  terjadi  hubungan  suami  istri  serta  belum  menentukan maharnya  ini didasarkan pada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 serta hadis Nabi saw  yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagaimana yang telah disebutkan  di  atas.  Kedua  dasar  inilah  yang  dijadikan  metode  istinbath hukum Imam  Syafi’i.  Menurut penulis dalil tersebut cukup kuat dan hadis yang  disebutkan  juga  sahih  karena  dari  segi  riwayatnya  sangat  kuat  dan segi  matannya  tidak  bertentangan  dengan  al -Qur’an  dengan  peran  dan fungsi serta perkawinan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2.    Dalam tinjauan hukum pernikahan Islam pemikiran Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meningggal dunia adalah pemikiran  yang lebih sesuai maslahat syari’ah. Karena itu bentuk dari kesungguhan seorang suami kepada istrinya serta sebagai penghormatan laki-laki terhadap wanita sebagaimana yang telah dianjurkan oleh rasulullah walaupun dalam sekala kecil, beliau bersabda Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan (mahar) cicin yang terbuat dari besi”.(HR. al-Bukhari, Ahmad, Ibnuh, Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)
 B. SARAN
Membicarakan Masalah mahar memang sangat penting terutama menjelang seseorang  ingin  melaksanakan  pernikahan.  Terkadang  hanya  karena  masalah mahar akhirnya  bisa menjadi bahan pembicaraan yang kurang berkenan di hati mempelai bahkan  di  lingkungan  masyarakat  sekitarnya. Dalam hal ini  pemikiran Imam  Syafi’i  memberikan  pandangan  yang  ideal  dalam  menetapkan  mahar sehingga  dapat  dijadikan  acuan  dalam  rangka  memberikan  mahar  dari  calon uami  kepada  calon  istri.  Berkaitan  dengan  tema  ini  penulis  memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1.    Hendaknya para calon mempelai ketika ingin melakukan pernikahan perlu membicarakan  mahar  sesuai  kesepakatan  antara  pihak  suami  dan   pihak istri.  Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yag tidak diinginkan ketika sudah menjalani kehidapan bersama dalam rumah tangga nantinya.
2.    Para  calon  mempelai  perlu  memahami  bahwa  mahar  merupakan  sesuatu cara  untuk  mempererat  tali  kasih  sayang  diantara  mereka   serta  simbol ketulusan hati seorang suami kepada istri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,  Sulaiman,  Sumber  Hukum  Islam;  Permasalahan  dan  Fleksibilitasnya,  Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
lhamdani,  H.S.A,  Risalah  Nikah  ;  Hukum  Perkawinan  Islam,  Terj.  Agus  Salim,  Jakarta : Pustaka Amani, 1989.
Ali,  Zainuddin,  Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika,  2007.
Amin,  Muhammadiyah,  Ilmu  Hadis,  Gorontalo  :  Sultan  Amai  Press  bekerjasama dengan Grha Guru Yogyakarta, 2008.
Amrin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, Jakarta : PT RajaGrafindo  Persada, 1995.
Arikunto,  Suharsimi,  Prosedur  Penelitian  Suatu  Pendekatan  Praktek,  Jakarta  : Rineka Cipta, 1993.
Atmaja,  Dwi Surya,  Terjemahan Al-Muwwatta’, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Al-Bukhari,  Al-Imam  Abu  Abdillah  Ibn  Ismail,  Sahih  al-Bukhari,  Juz  V,  Beirut  : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Daly,  Peunoh,  Hukum  Perkawinan  Islam:  Suatu  Studi  Perbandingan  dalam  Kalangan  Ahlus-  Sunnah  dan  Negara-negara  Islam,  Jakarta  :  Bulan  Bintang, 1988.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.
Dewan  Redaksi  Ensiklopedi  Islam,  Ensiklopedi  Islam,  cet.  IV,  Jakarta  :  PT  Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005.
Al-Fannani,  Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari,  Terjemahan Fathul Mu’in,  Jilid
2, cet. III, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2005.
Al-Fauzan,  Saleh,  Al-Mulakhkhasul  Fiqhi,  Terj.  Abdul  Hayyie   Al -Kattanie,  dkk,  Jakarta : Gema Insani, 2006.
Ghazaly, Abd. Rahman,  Fiqh Munakahat, Bogor : Kencana, 2003.
Hadi,  Sutrisno,  Metodologi  Research,   Jilid  I,  Yogyakarta  :  Yayasan  Penerbitan  Fakultas Psikologi UGM, 200.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, Jakarta : Yayasan  Nurul Islam, 1981.
 _______ , Tafsir Al-Azhar, urong Town : Pustaka Nasional PTE LTD, 1999.
Hasan,  A.  Qadir,  dkk,  Terjemahan  Nailul  Authar  Himpunan  Hadis-Hadis  Hukum,       Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984.
Al-Hussaini,  Imam Taqiyuddin Abubakar Ibn Muhammad,  Kifayah al-Ahyar,  Juz II,  Beirut : Daar al- Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Al-Jandul,  Said Abdul Aziz,  Wanita Dibawah Naungan Islam,  Jakarta : CV Firdaus, 1997.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. S. Ziyad ‘ Abbas, Jakarta : PT Multi Kreasi Singgasana, 1991.
Jalalayn,  Imam,  Tafsir  Jalalain,  Terj.  Mahyudin  Syaf,  dkk,  Bandung  :  Sinar  Baru , 1990.
Khalil,  Rasyad Hasan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar  Grafika Offset, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Al-Mawardi,  Imam Abi al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib, Kitab al-Khawi alKabir, Juz IX, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Munawwir,  Ahmad  Warson,  Kamus  Al-Munawwir  Arab-Indonesia  Terlengkap, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib al-Khamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001.
MS, Burhani, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jombang : Lintas Media, 2002
Mubarok,  Jaih,  Modifikasi  Hukum  Islam  ;  Studi  Tentang  Qawl  Qadim  dan  Qawl  Jadid, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, cet. III, Semarang : CV Toha Putra, 1993.
Nasution,  Lahmidin,  Pembaharuan  Hukum  Islam  dalam  Madzab  Imam   Syafi’i,  Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007.
S.A, Romli, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Ibn Surrah,  Imam ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa,  Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Syihab Umar,  Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran,  Semarang : Dina Utama, 1996.
 Syarifuddin, Amir,  Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Group, 2009.
Sirry,  Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Asy-Syafi’i,  Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris,   Al Umm, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al- Ilmiyah, tth.
_________,  Al-Imam Abu ‘Abdillah  Muhammad Ibn Idris,   ar-Risalah, Mesir :  al-‘Ilmiyah,    1312 H.
Asy-Syarqawi,  Abdurrahman,  Riwayat  Sembilan  Imam  Fiqih,  Bandung  :  Pustaka  Hidayah, 2000.
Ash-Shiddieqy,  T.M  Hasbi,  Pokok-Pokok  Pegangan  Imam-Imam  Madzhab  Dalam  Membina Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
__________,  Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006.
Syafi’i,  Imam,  ar-Risalah  Imam  Syafi’i,  Terj.  Ahmadie  Thoha,  Jakarta  :  Pu staka  Firdaus, 1986.
Shiddiqi,  Nourouzzaman,  Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:  Pustaka pelajar Offset, 1997.
Tim Penyusun Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV  Penerbit J-ART, 2005.
T im  Penyusun  Departemen  Agama,  Ilmu  Fiqh,  cet.  II,  Jakarta :  Proyek  Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984.
Thalib, M, Perkawinan Menurut Islam, Cet.II, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993.
Tim Redaksi Fokusmedia,  Kompilasi Hukum Islam, cet. II, Bandung : Fokusmedia, 2007.
‘Uwaid,  Syaikh  Kamil  Muhammad,  Fiqih  Wanita,  Terj.  M  Abdul  Ghoffar  E.M,  Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Yanggo,  Huzaemah  Tahido,  Pengantar  Perbandingan  Mazhab,  Jakarta  :  Logos, 1997.
Zahrah, Mahammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005.
Zed,  Mestika, Metodologi Penelitian Kepustakaan, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia,  2004.













Lampiran 1
TERJEMAHAN AYAT
NO    HALAMAN    TERJRMAHAN AL-QUR’AN
1    1



    Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….”(QS. an-Nisa’ : 1)
2    2, 14 dan 18    Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (Q.S. an-Nisa : 4)
4    16    “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di  antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (Q.S an-Nisa’ : 20-21)
5    17,21    Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”. (al-Baqarah : 237)
6    18    Berikanlah kepada perempuan-perempuan maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu pemberian yang ikhlas (Q.S an-Nisa :24)
7    21    Jika kamu menukar istri dan kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka sebesar qinthar maka janganlah kau ambil dari padanya sedikitpun, apakah kamu mau mengambil secara kebohongan dan dosa yangnyata ?”. (Q.S an-Nisa’: 20)
8    21    Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)
    23    Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya (Q.S al-Baqarah :
236)
9    24    Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah urusanmu”. (Q.S al-Qashash :27).
10    45    Sesungguhnya al-Quran itu adalah benar-benar wahyu  Allah
yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula Perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia  dalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.(Q.S  l-Haqqah : 40-43)











RIWAYAT HIDUP PENULIS

1.    Nama Lengkap        : Winanto
2.    Tempat, Tanggal Lahir     : Batang, 07 Agustus 1990
3.    Agama             : Islam
4.    Kebangsaan            : Indonesia   
5.    Status Perkawinan        : Belum Menikah
6.    Alamat                : Batang Jawa tengah

7.    Pendidikan            :
a.    SD                : SDN Kaliboyo 02 Tulis
b.    SMP            : SMPN 01 Tulis
c.    SMA            : SMAN 02 Batang
d.    PT                : Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS)
                                            Hidayatullah Balikpapan 2015
     
       8.  Organisasi            : -Ketua osis SMAN 02 Batang
                                                              - Kurma dan Rois SMAN 02 Batang
                                                              - Anggota IMHI
                       - Anggota AL-Muzamil Mahasiswa
                                                              - Departemen Kepengasuhan BEM STIS 2014
                   


 
       9. Orang Tua           
a.    Ayah           
Nama            : Suharno
Pekerjaan            : Petani
8.    Alamat                :  Batang Jawa tengah

         b.    Ibu
                Nama            : Siti Nurkuat
                Pekerjaan            : Ibu Rumah Tangga
            Alamat            : Batang Jawa tengah
                Anak ke/ Saudara        : 2 (Dua) dari 6 (Enam) bersaudara

                                                                                  Balikpapan, 28 Februari 2015
                                                                                                     Peneliti

                                                                                                      Winanto   



LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI TAHUN 2015

Nama    : Winanto
Nim    : 2011.08.15
Judul Skripsi    : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal Dunia
NO    TANGGAL    MATERI BIMBINGAN    PARAF
1.           
2.           
3.           
4.           
5.           

         





0 komentar:

Posting Komentar

letihkan badanmu untuk mendapatkan kenikmatan