Jumat, 06 Maret 2015




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
  Islam adalah agama yang sempurna dengan membawa nilai-nilai kemuliaan dan kemanusiaan untuk seluruh umat manusia di bumi. Islam tidak hanya memberi petunjuk dalam dimensi ibadah saja, tetapi juga dalam dimensi mu’amalah (hukum yang mengatur hubungan antar manusia). Agama Islam banyak mengatur tentang aturan-aturan (syariat) dalam kehidupan yang belum pernah ada atau belum pernah diatur oleh agama sebelum Islam. Seperti halnya dalam pernikahan, Islam mengaturnya bertujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tentram. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an Surah al-Maidah [5] ayat 3:
          
Pernikahan merupakan pintu gerbang munculnya hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan istri. Mereka telah terikat satu sama lain dan mempunyai hak dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan. Setelah menikah, mereka akan mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Suami mempunyai beberapa hak atas istrinya yang mana sang istri harus senantiasa memenuhi dan menunaikannya.
Akhir September lalu, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengembalikan Rancangan Undang-Undang  (RUU)  usul inisiatif Komisi VIII tentang kesetaraan gender untuk diperbaiki. Komisi VIII diberikan kesempatan untuk mengajukan kembali pada dua rapat paripurna berikutnya yaitu tanggal 25 dan 29 september 2014. Walau Paripurna DPR telah memberikan kesempatan pada komisi VIII untuk memperbaiki, namun hingga kini belum ada kelanjutan pembahasan mengenai RUU yang sejak tahun 2010 draftnya sudah ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ini.
Dalam dratf terbarunya, RUU Pasal 1 ayat 1, gender adalah pembedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi sosial budaya. Jika definisi ini diimplementasikan ke dalam bidang perkawinan, kewajiban laki-laki sebagai suami dan kepala keluarga bisa ditukar dengan kewajiban perempuan sebagai istri. Sehingga di lain waktu suami menjadi pengurus rumah tangga secara penuh dan istri bisa menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya.
Sebagai seorang kepala rumah tangga, kaum perempuan tersebut melakukan berbagai cara untuk mempertahankan hidup keluarganya. Bagi perempuan muda yang masih harus menanggung anak balita atau jumlah anak yang biasanya banyak, misalnya salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menitipkan anaknya pada orang tuanya atau kerabat lainnya yang lebih berada. Hal ini terpaksa dilakukan  karena mereka sendiri masih harus mencari nafkah dan jenis pekerjaan yang digelutinya tidak mungkin dilakukan sambil mengasuh anak. Sementara itu bagi perempuan kepala rumah tangga yang tua biasanya di samping mencari nafkah, ia juga melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak mencuci, mengepel, menyapu, berbelanja dan lain sebagainya. Pekerjaan rumah tangga ini banyak menyita waktu, terutama kalau mereka tidak memperoleh bantuan dari anak, kerabat atau seorang pembantu. Tanggung jawab mengurus rumah tangga ini harus tetap ia lakukan karena norma yang berlaku menetapkan perempuan untuk hal tersebut.
Umumnya keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga belum diakui di tengah masyarakat, bahkan juga oleh Undang-Undang yang ada (UU Perkawinan). Oleh karena itu perhatian terhadapnya juga hampir dikatakan tidak ada. Seringkali perempuan sebagai kepala rumah tangga harus melakukan upaya ekstra agar hak-haknya terlindungi, seperti dalam mengurus pajak, untuk mendapat PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), ia harus lebih dahulu membuktikan dirinya sebagi kepala keluarga melalui surat keterangan yang menerangkan hal tersebut.
Di sisi lain perempuan yang bekerja kalaupun berstatus belum kawin, namun tetap saja diperlakukan sebagai belum kawin, karena penghasilan perempuan hanya dianggap sebagai penghasilan tambahan saja. Hal ini tentu saja merugikan kaum perempuan yang bekerja, terlebih sebagai kepala keluarga kalaupun Peraturan Perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan umumnya melarang diadakannya perbedaan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja laki-laki atau perempuan, namun faktanya berbeda. Pada tingkat Peraturan Menteri seperti Peraturan Menteri no. SE-04 / Men /1998, pada intinya menganggap buruh perempuan sebagai lajang, sehingga ia tidak mendapatkan tunjangan keluarga sebagaimana yang didapatkan temannya laki-laki. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa laki-laki bukan perempuan, yang berkewajiban sebagai pencari nafkah utama. Tidak diakuinya perempuan sebagai kepala keluarga juga mengakibatkan tidak adanya pembagian kerja yang seimbang diantara perempuan sebagai kepala keluarga dengan anggota keluarga lainnya, terutama dengan suaminya. Hal ini mengakibatkan adanya beban berlebihan yang harus ditanggung atau dipikul perempuan, karena di satu sisi ia harus menghidupi keluarganya, sementara di sisi lain ia tetap berperan sebagai istri yang mengurus kegiatan rumah tangga sehari-hari. Bila ia tidak melakukan tugas rumah tangganya tersebut, ia akan dianggap sebagai istri yang tidak melaksanakan fungsinya dengan baik sebagaimana tercantum dalam UU Perkawinan.  Model produk hukum di atas, menurut Bantar Munti tentunya tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai budaya patriakhi dan juga oleh wacana tafsir-tafsir  keagamaan yang ada.
Dalam kitab-kitab tafsir tradisional,  masalah mengenai ketentuan pemimpin dalam keluarga dapat dijumpai dalam penafsiran surat an-Nisa’ [4]: 34.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan dalam keluarga, umumnya para mufassir memahami tentang ketentuan tafsir tersebut adalah bersifat normatif dan bukan kontekstual.  Karena itu para mufassir dalam memahami hak kelebihan yang menjadi alasan laki-laki adalah pemimpin, bukan kelebihan karena kemampuan fungsional yang diemban melainkan karena kelebihan yang bersifat fitrah. Misalnya laki-laki lebih cerdas, lebih kuat, lebih matang dalam perencanaan, mempunyai kemampuan yang tepat, lebih berani dan laki-laki juga telah memberi nafkah untuk keluarga.
Berbeda dengan Amina wadud, ia memiliki pandangan lain tentang ayat tersebut misalnya, apa yang ia jelaskan dalam bukunya, Qur’an and Woman:
 “Amina Wadud menafsirkan bahwa ayat ini bukan cuma mencakup masalah ‘kelebihan’. Secara klasik ayat ini kerap kali dipandang sebagai satu-satunya ayat yang paling penting yang berkaitan dengan hubungan antara pria dan wanita: pria-pria merupakan qawwamuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita. Wadud mencoba membahas persoalan klasik ini dengan berlandaskan pada dua hal yaitu: 1. Kelebihan macam apa yang telah diberikan. 2. Apa yang telah mereka belanjakan dari harta mereka (untuk mendukung kaum wanita), yakni norma sosial-ekonomi dan idealnya.
Terjemahan yang Wadud selipkan berdasarkan pada surat an-Nisa ayat 34  tadi berasal dari kata bi yang dipergunakan dalam ayat ini. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adala karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat di atas kata bi berarti pria-pria qawwamun ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah punya atau sanggup membuktikan kelebihanya, sedangkan persyaratan kedua adalah jika mereka mendukung kaum wanita dengan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin (qawwam) bagi wanita.”  
 Al-Qur’an telah menetapkan tugas yang seimbang bagi laki-laki dan perempuan. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing. Dari segi fisik, emosi dan pisikologi, hanya perempuan yang dapat menjalankan tugas keibuan dengan baik. Karena perempuan lebih penyayang, lemah lembut, serta lebih cepat bertindak dan memberi respon menurut naluri keibuan. Adapun kaum laki-laki biasanya lambat bertindak dan mempertimbangkan sesuatu sebelum bertindak. Ditambah lagi kecenderungan terhadap kehidupan yang kasar dan menantang, maka laki-laki amat sesuai untuk bekerja keras di luar rumah dalam memenuhi kebutuhan keluarga.  Hal ini misalnya dapat dijumpai dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim,Tafsir Al-Kasysyaf, Tafsir Al-Jalalain, dan lain-lain.
“Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah swt berfirman,”Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita,” yakni laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidikannya tatkala dia melakukan penyimpangan.”Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.”yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya diberikan kepada laki-laki. Demikian pula dengan kekuasaan yang besar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.
“Tidak akan memperoleh keberhasilan suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita.”(H.R Bukhari)
Demikian pula dengan jabatan hakim dan semacamnya. “dan karena mereka telah menginfakan hartanya” berupa mahar belanja, dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Sebagaimana Allah swt berfirman,” laki-laki memiliki kelebihan atas wanita. Maka wanita wajib mentaati laki-laki sebagaimana telah diperintahkan Allah untuk mentaati Allah dan suaminya, berlaku baik terhadap keluarga suami, dan memelihara hartanya. Demikianlah menurut penafsiran Muqatil, as-Sadi, dan Adh-Dhahak.”
Hal senada juga, dijelaskan dalam Tafsir al-Thabari tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan:
“Abu Ja’far dalam tafsir ath- Thabari menjelaskan makna firman Allah swt QS. An-Nisaa [4] : 34. “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, adalah kaum laki-laki merupakan orang yang bertugas mendidik dan membimbing istri-istri mereka dalam melaksanakan kewajiban terhadap Allah dan suami, Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain (wanita), yakni kelebihan yang Allah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istrinya itu disebabkan pemberian mahar, pemberian nafkah dari hartanya, dan merekalah yang mencukupi kebutuhan istri-istri mereka. Itu merupakan keutamaan yang Allah berikan kepada kaum laki-laki atas istri-istri mereka. Oleh karena itu, mereka menjadi pemimpin atas istri-istri mereka, sekaligus orang yang melaksanakan apa yang Allah wajibkan kepada mereka dalam urusan istri-istri mereka.” 
Berawal dari sinilah peneliti tertarik untuk mengkritik tentang kepemimpinan dalam keluarga, pandangan Amina Wadud. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bukanlah disebabkan laki-laki memiliki kelebihan yang bersifat fitrah, tapi kepemimpinan laki-laki itu hanya terjadi jika laki-laki dapat memenuhi dua syarat yang diajukan dalam al-Qur’an, yaitu jika laki-laki memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Dengan demikian Amina Wadud memahami ketentuan tersebut bukan bersifat normatif melainkan kontekstual.
Dengan ini peneliti berharap permasalahan tentang tidak diakuinya keberadaan istri yang berperan sebagai kepala keluarga seperti yang telah diuraikan di muka, kiranya dapat dipecahkan jika didekati dengan pemikiran Amina Wadud, karena ia tidak mengharuskan laki-laki menjadi pemimpin jika pada kenyataannya laki-laki tidak dapat memenuhi dua syarat yang diajukan al-Qur’an. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengkajinya lebih lanjut. Untuk itu, peneliti tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “PEMIKIRAN AMINA WADUD TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA (Studi Kritis Buku Qur’an and Woman)
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana dasar pemikiran Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga?
2.    Bagaimana tinjauan Islam tentang kepemimpinan dalam keluarga menurut pemikiran Amina Wadud?
C.    Tujuan Penelitian
1.    Untuk mengetahui dasar pemikiran Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga.
2.    Untuk mengetahui tinjauan Islam tentang kepemimpinan dalam keluarga menurut pemikiran Amina Wadud.
D.     Signifikansi Penelitian
1.    Sebagai bentuk sumbangsih peneliti untuk menambah khazanah keilmuan mahasiswa/i STIS Hidayatullah khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta menambah kelengkapan informasi kepustakaan.
2.    Sebagai tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya khususnya seputar kepemimpinan dalam keluarga.
3.    Untuk meluruskan pandangan Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga.
E.     Definisi Operasional
1.    Pemikiran; hasil dari memikirkan.
2.    Amina Wadud lahir pada tanggal 25 September 1952 dengan nama Maria Teasley di kota Bethesda, Maryland. Ayahnya adalah seorang Methodist menteri dan ibunya keturunan dari budak Muslim Arab, Berber dan Afrika. Pada tahun 1972 ia mengucapkan syahadat dan menerima Islam dan pada tahun 1974 namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya. Ia menerima gelar BS, dari The University of Pensylvania, antara tahun 1970 dan 1975. Dia menerima MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988. Selama kuliah, ia belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan dengan studi Al-Quran dan Tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus di Filsafat dip Universitas Al-Azhar.
3.    Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.
4.    Keluarga : Ibu bapak dengan anak-anaknya; seisi rumah.  Maksud peneliti  adalah suatu perkumpulan terkecil yang didalamnya ada bapak sebagai pemimpin, beranggotakan ibu dan anak-anaknya.
F.  Kajian Pustaka
    Sejauh ini peneliti menemukan sebuah skripsi yang ditulis oleh La Ilman dengan judul “Poligami Menurut Pemikiran Siti Musdah Mulia”. Skripsi ini menjelaskan bahwa tinjauan hukum Islam terhadap pemikiran feminisme Siti Musdah Mulia tentang poligami, yang menggunakan kaidah yang bukan pada wilayahnya tidak bisa dijadikan hujjah atau landasan hukum dalam menentukan hukum poligami, dengan otomatis produk hukum yang dihasilkan tidak bisa diberlakukan atau batal.
Imam Faisol dengan judul “Pemikiran Dono Baswardono Tentang Poligami” Skripsi ini menjelaskan dasar pemikiran Dono Baswardono tentang poligami. Dia menjelaskan, bahwa terjadinya proses poligami ini dari sisi psikologis. Lebih lanjut, Dono Baswardono mengemukakan alasan-alasan terjadinya perselingkuhan biasanya merupakan kombinasi dari tiga macam faktor. Pertama, faktor-faktor yang “mendorong” masuk orang ke dalam penyelewengan (persoalan, kegagalan, kelemahan-kelemahan individual atau hubungan). Kedua, faktor-faktor yang “menyeret” orang ke dalam perselingkuhan (ketegangan, rasa ingin tahu, peningkatan harga diri, perbaikan citra dan jatuh cinta). Dan ketiga, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penyelewengan (komersialisasi seks, keterpesonaan pada perselingkuhan, dusta yang dipelajari ketika remaja karena ketidakmampuan kita berbicara jujur mengenai persoalan-persoalan seks, dan rahasia yang mengitari persoalan ini sehingga melindungi para pelakunya untuk menghadapi konsekuensi-konsekuensi tindakan mereka).
Dalam kajian pustaka ini, peneliti akan mendeskripsikan tentang buku-buku (karya-karya tulis) yang ada kaitannya dengan objek pembahasan tentang kepemimpinan dalam keluarga sebenarnya adalah topik bahasan yang menarik dari permasalahan-permasalahan perempuan. Sejauh pengetahuan peneliti, sudah ada buku yang membahas tentang tema perempuan dalam al-Qur’an atau perempuan dalam Islam, yang di dalamnya dibahas tentang masalah kepemimpinan dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya tokoh-tokoh islam kontemporer. Diantarnya buku yang berjudul Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, karya Masdar Farid Mas’udi, dia menjelaskan bahwa lafaz qawwam yang terdapat dalam surat an-Nisa’ [4]: 34 maknanya adalah berasal dari qa’im yang berarti penguat atau penompang kaum istri, dengan kelebihan satu yang lain dan bukan karena nafkah yang mereka berikan. Dengan demikian, maka secara normatif sikap suami terhadap istri bukanlah menguasai atau mendominasi dan cenderung memaksa melainkan mendukung dan mengayomi.
    Sementara itu Riffat Hasan dalam bukunya yang berjudul Setara di hadapan Allah; Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Pasco Patriakhi, menjelaskan makna qawwam adalah pencari nafkah atau mereka yamg menyediakan sarana pendukung kehidupan, ia berpendapat bahwa pada saat perempuan melaksanakan kodratnya untuk mengandung dan melahirkan adalah tidak adil bila menambahi bebannya dengan mencari nafkah. Oleh karena itu, suamilah yang seharusnya menyediakan sarana pendukungnya. Menurut kebutuhan akan generasi penerus adalah kebutuhan seluruh umat manusia, tapi perempuan secara kodrati diberi beban untuk mengandung dan melahirkan. supaya kebutuhan seluruh umat bisa terpenuhi dengan baik, perempuan yang sedang menjalankan tugas kodratinya harus didukung. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa adanya kata qawwam dalam ayat itu adalah untuk menjamin keadilan dan bukan untuk meneguhkan superioritas laki-laki.
    Kemudian Sayyid Quthub dalam tafsirnya menulis, yang dimaksudkan dengan qawwamah bukan semata-mata pemimpin tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’asyb (urusan penghidupan). Bagi  Yusuf al- Qardhawi, al-qawamah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan amanah. Oleh karena itu, jelaslah bahwa dalam prespektif Islam kepemimpinan bukanlah suatu kelebihan yang patut diagungkan melainkan satu tanggung jawab dan beban yang berat. Menurut Khalif Muammar, ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif Barat yang telah memisahkan kuasa daripada moralitas.
Selanjutnya Amina Wadud dalam bukunya berjudul Qur’an and Woman, mengatakan bahwa kalimat laki-laki adalah qawwmun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bahwa kepemimpinan itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis. Sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an, memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki melainkan juga bagi perempuan. Ayat itu sendiri tidak menyebut semua laki-laki otomatis superior atas perempuan. Yang dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain.
Pandangan-pandangan seperti di atas memang nampak sudah umum di tengah-tengah wacana perbincangan gender. Namun demikian, berdasarkan pemeriksaan peneliti sementara belum ada  karya ilmiah atau skripsi yang membahas secara khusus pemikiran Amina Wadud tentang masalah kepemimpinan dalam keluarga. Ada satu buku yang berjudul Pendidikan Anak dalam Dimensi Islam karya Azhari yang berasal dari tesisnya, namun ia tidak membahas secara khusus pemikiran Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga yang seperti objek penelitian peneliti karena membahas tema-tema kesetaraan gender dalam bidang pendidikan secara umum.
G. Metode Penelitian
1.    Jenis dan Sifat Penelitian
a.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas untuk memperoleh data yang lengkap dengan dukungan sumber-sumber lain yang terkait.
b.    Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriftif-analitik, dalam artian bahwa penelitian ini tidak hanya menyusun dan mengumpulkan data, tetapi juga menganalisis serta menginterpretasi terhadap data tersebut.
2.    Subyek dan Obyek Penelitian
a.    Subyek Penelitian
Subyek Penelitian ini adalah kepemimpinan dalam keluarga.
b.    Obyek Penelitian
Adapun obyek penelitiannya adalah pemikiran Amina Wadud dalam bukunya “Wanita di dalam  al-Qur’an”
3.    Sumber Data Penelitian
a.    Bahan Primer
Data primer yang peneliti gunakan yakni buku Wanita di dalam al-Qur’an karya Amina Wadud.
b.    Bahan Sekunder
Adapun data sekunder yakni data-data yang mendukung sumber primer, baik buku, majalah, internet, dan sumber informasi lainnya yang akurat yang dapat dipertanggung jawabkan, diantaranya adalah:
1)    Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga karya Ratna Bantara Mutu. (Jakarta: tnp., 1999)
2)    Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan karya Masdar F Mas’udi.
3)    Pendidikan Anak Dalam Dimensi Islam karya Azhari. (Balikpapan: LPPM STIS Hidayatullah, 2013)
4)    Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal itu? karya Kartini Kartono. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
5)    Konsep Kepemimpinan dan Jihad dalam Islam menurut Madzhab Syafi’i karya Dr.Musthafa al-Khin dan Dr. Musthafa al-Bughan. (Jakarta: Darul Haq, 2014)
c.    Bahan tersier, terdiri dari kamus dan ensiklopedia.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), yaitu membaca buku kepustakaan dan literatur-literatur lainnya. Dalam tahap ini akan berfungsi sebagai penyelidikan untuk mendapatkan data melalui literatur atas pemikiran pemikiran Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga.
 Setelah data berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
5.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah content analysis (analisis isi), yakni menganalisis data dalam upaya kategorisasi data yang relevan sebagai dasar bagi peneliti untuk mengkaji teori dan mencari hubungan fungsional dengan tema penelitian.



H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, definisi operasional, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II, Terdiri dari Konsep Kepemimpinan keluarga dalam pandangan Islam
BAB III, Penjelasan tentang biografi dan dasar pemikiran Amina Wadud.
BAB IV, Analisis terhadap dasar pemikiran  Amina Wadud tentang kepemimpinan dalam keluarga dan tinjauannya menurut hukum Islam.
BAB V, Penutup meliputi kesimpulan dan saran.







BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN KELUARGA DALAM ISLAM
A.    Kepemimpinan
1. Pengertian
    Istilah kepemimpinan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itu sendiri mempunyai makna orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinan adalah cara untuk memimpin. 
    Sedangkan kepemimpinan ditinjau dari segi bahasa, berasal dari kata leadhirship (kepemimpinan) yang berasal dari kata leader (pemimpin). Kata ini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership muncul kemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an kajian tantang kepemimpinan didasarkan pada teori sifat. Teori ini terbatas hanya mencari sifat-sifat kepebribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejak lahir atau bakat bawaan.
    Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakan spesifikasi dari kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bisa diartikan dengan individu yang lain di dalam kelompok dapat dianggap seorang pemimpin atau pemimpin. hal ini memungkinkan  bahwa dalam menduduki posisinya melalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.
    Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al-Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang terpilihnya manusia sebagai khalifah atau pemimpin. Sebagaimana yang termaktub dalam Q.S al-Baqarah [2] ayat 30 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ  
Menurut Bahtiar Surin yang dikutip oleh Maman Ukas bahwa “perkataan khalifah berarti  penghubung atau pemimpin yang diserah untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu.
Dengan demikian jauh-jauh sebelumnya Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut dalam berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Allah swt maupun di hadapan manusia. Karena itu memilih pemimpin bukanlah perkara sepele, sebab kandidat yang terpilih itulah yang akan membawa label rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan jutaan umat manusia, suka tidak suka kandidat yang terpilih itulah yang kemudian akan menoreh tinta sejarah peradaban umat manusia, sekalipun torehan itu masih tanda tanya besar, apakah menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi sepanjang zaman. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang terdapat dalam QS.an-Nisa [4]: 58
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Dari uraian ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa hidup dalam masyarakat luas, sehingga di tengah-tengah mereka sangat dibutuhkan hadirnya seorang pemimpin yang memiliki rasa tanggung jawab, berlaku adil dan bijaksana serta dapat mengambil keputusan sejalan dengan prinsip keadilan. 
Menurut Selamet Sentosa kepemimpinan adalah upaya untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok yang disepakati. Sementara itu pengertian yang lain mengatakan bahwa “Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasikan dalam upaya menentukan tujuan dan pencapaiannya”, ada juga yang mengertikan kepemimpinan yang merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada satu tujuan. Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain yang dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaannya.
Suatu kepemimpinan tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berstatus presiden, perdana menteri, direktur, maupun seorang yang memiliki jabatan formula saja, namun seorang yang bekerja sebagai seorang buruh juga merupakan pemimpin. Seorang pembantu rumah tanggapun juga seorang pemimpin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Hal ini telah dikatakan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dalam hadits yang artinya :
“Ketahuilah, bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Maka sebagai amir (pimpinan) yang memimpin manusia yang banyak adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas pimpinannya (rakyatnya). Dan seorang lelaki (suami) adalah sebagai pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita (istri) adalah sebagai pemimpin di rumah, suami serta anak-anaknya yang ia bertanggung jawab atas mereka dan seorang hamba (budak) adalah seorang pemimpin dalam menjaga harta tuannya. Ketahulilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pemimpinannya. (H.R Bukhari)
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing manusia adalah pemimpin. Dan setiap mereka akan bertanggung jawab terhadap dipimpinnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang tidak terlalu berambisi untuk menduduki suatu jabatan tertentu merupakan suatu amanah yang sungguh sangat berat yang harus diemban dengan baik dan harus dipertanggung jawabkan baik di dunia, maupun di akhirat kelak.

2. Tanggung Jawab
a.    Sebagai Pelayan Masyarakat
Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan, karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang pemimpin sejati adalah yang mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya, bekerja lebih keras dan dapat berfikir lebih mendalam dibanding dengan orang yang dipimpinnya.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa, “Dari al-Hasan ra berkata, Ubaidilah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya. Maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad:
“Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah saw, aku telah mendengar Nabi saw bersabda : tiada hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah swt dan ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah swt tidak akan merasakan padanya syurga (melainkan tidak mendapatkan bau syurga). (H.R Bukhari)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah swt untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama masih di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat yang dipimpinnya. Namun sebaliknya, ia harus mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Agar kaum muslimin memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka, pemimpin yang dipimpin adalah mereka yang betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya.
Dalam memilih pemimpin harus betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya. Dalam memilih pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integeritas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamanya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, keturunan, suku dan bangsa.
b.    Sebagai Pemandu
    Setiap pemimpin diibaratkan sebagai seorang pemandu yang dapat memberikan arahan dan menunjukkan jalan yang terbaik kepada pengikutnya agar selamat sampai tujuan tertentu. Karena itu ketika akan memilih atau mengangkat seorang pemimpin maka harus didasarkan pada kualitas, loyalitas, dan yang lebih utama adalah perilaku dan ketaatannya dalam menjalankan syariat agama.
3.     Ketaatan
    Salah satu kewajiban seorang Muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi asas tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana semestinya. Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw, sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S an-Nisa [4] ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Dari Umar ra dari Nabi saw beliau bersabda" Mengindahkan dan mematuhi perintah itu adalah wajib, selama tidak di perintahkan mengerjakan maksiat (dosa). Tapi kalau kamu diperintah berbuat maksiat (dosa) jangan diindahkan dan jangan di patuhi”.(H.R Bukhari).
Mencermati penjelasan ayat dan hadits Rasulullah saw tersebut di atas nampaklah bahwa setiap Muslim harus taat dan memiliki loyalitas terhadap perintah pimpinannya. Namun ketaatan tersebut bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan yang harus diberikan  kepada pemimpin. Yaitu selama dirinya taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Jika pemimpin tidak lagi mentaati Allah dan Rasul, maka tidak ada lagi ketaatan bagi dirinya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S al-Maidah [5] ayat 57:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Selain itu Allah swt telah menjelaskan betapa menyesal mereka yang memilih pemimpin-pemimpin mereka padahal mereka menyesatkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Ahzab [33] ayat 66-68:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا (٦٦)وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا (٦٧)رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا (٦٨)
4.    Dasar Kepemimpinan
Ada beberapa dasar pemimpin dalam Islam yang harus dijadikan landasan dalam berorganisasi antara lain :
a.    Tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi orang-orang Muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi terhadap kualitas keberagaman rakyat yang dipimpinnya.
b.    Tidak mengangkat atau memilih pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan agama Islam karena nantinya akan merusak keberadaan agama Islam  sebagai rahmatan lil alamin.
c.    Setiap pemimpin harus cerdas dan mempunyai  keahlian di bidangnya. Karena pemberian tugas dan wewenang kepada yang tidak berkompeten akan mengakibatkan kegagalan dan kehancuran dalam segala bidang.
d.    Setiap pemimpin harus mengutamakan dan membela kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syariat, berjuang menghilangkan segala bentuk kemungkaran, kekufuran fitnah dan lain sebagainya.
Menurut M. Quraish Shihab bahwa hasil dari penelaahan para pakar yang dirangkum dalam al-Qur’an dan hadits ditemukan ada empat sifat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin, yaitu:
a.    Shidiq yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya.
b.    Amanah atau kepercayaan yang menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Allah maupun dari orang-orang yang dipimpinya semua sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.
c.    Fathanah yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika sekalipun.
d.    Tabligh yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab atau dengan istilah keterbukaan.
5. Urgensi Kepemimpinan
Kepemimpinan tertinggi adalah pondasi tegaknya hukum dan masyarakat Islam, ia adalah kedudukan agama penerus kedudukan kenabian. Seorang imam (pemimpin tertinggi) adalah pengganti Nabi dalam memimpin kaum muslimin, bedanya hanya satu, Nabi saw menerima hukum-hukum yang diberlakukan kepada umatnya melalui wahyu dari sisi Allah swt, berbeda dengan imam, dia menimbanya dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, atau ijma’ kaum muslimin, atau ijtihad sesuai dengan dalil-dalil umum, bila dia tidak menemukan nash padanya dan tidak ada ijma’ yang berkaitan dengannya.
Kedudukan kepemimpinan memiliki urgensi sangat tinggi dalam mewujudkan eksistensi maknawi kaum muslimin, karena itu kaum muslimin harus memiliki seorang imam, hal itu karena beberapa alasan, di antaranya:
a.    Di antara kewajiban besar yang Allah perintahkan kepada kaum muslimin adalah bersatu padu di atas tali Allah, tidak bertikai dan bercerai-berai. umat  manapun tidak akan selamat dari penyakit perpecahan dan pertikaian, kecuali bila mereka menyerahkan kendali kepemimpinan mereka kepada seseorang dari mereka, di mana kalimat mereka sepakat di atas pendapatnya, pendapat-pendapat mereka tunduk kepada keputusannya, posisinya di tengah-tengah umat seperti poros bagi sebuah lingkaran, kepemimpinannya mewujudkan persatuan mereka, yang dengan itu mereka menjaga kekuatan mereka. Sebuah tatanan hidup yang lurus dan kondisi yang kondusif sangat dibutuhkan oleh sebuah umat termasuk hewan-hewan dan binatang-binatang.
b.    Banyak hukum-hukum syariat yang sandaran hukumnya tergantung kepada kekuasaan imam dalam penerapannya. Tidak ada arti penerapan dan penegakanya, kecuali melalui pengawasan imam, seperti memutuskan pertikaian di antara anggota masyarakat, pengangkatan para gubernur, pengumuman pencekalan, keadaan perang, pengadaan perjanjian damai, dan seterusnya, agar hukum-hukum syariat bisa diterapkan pada lahan yang benar yang diterima di sisi Allah, dibutuhkan seorang imam yang menegakannya dan mengawasi penerapannya.
c.    Dalam syariat terdapat bagian yang besar dari hukum-hukum yang disebut dengan Ahkam al-Imamah atau Ahkam as-Syiasah asy-Syar’iyah, yaitu hukum-hukum  menggantung yang mana peletak syariat tidak memastikan satu sisi baku yang tidak bisa diutak-atik, sebaiknya peletak syariat menyerahkan keputusan untuknya kepada ijtihad dan ilmu imam dengan mempertimbangkan tuntutan kemaslahatan kaum muslimin dan situasi yang mereka alami. Seperti aturan-aturan keuangan, pemberangkatan pasukan, dan masalah tawanan, bila tidak ada imam yang memegang kewenangan kepemimpinan dengan kapabel dan layak, maka perkara-perkara di atas akan terus menggantung, tidak ada lahan untuk memastikan hukum terhadapnya.
Peluang  terlahirnya kelompok tertentu dalam tubuh umat Islam sangat besar pada setiap waktu. Kelompok ini melakukan pelanggaran, memecahkan kesatuan kaum muslimin dengan dorongan hawa nafsu atau pemikiran menyimpang yang terbungkus dengan nama agama dan kebaikan. Untuk memadamkan api fitnah kelompok seperti ini, dibutuhkan seorang pemimpin Muslim yang adil yang menjelaskan kepada umat manhaj yang shahih dan memperingatkan mereka agar tidak terseret oleh jalan-jalan yang menyesatkan. Dalam keadaan ini, umat tidak akan terjatuh kedalam kebingungan atau kerancuan karena ketidaktahuan, karena apa yang diintruksikan oleh imam, maka wajib diamalkan dalam hukum Islam.
B.    Kepemimpinan Keluarga
1.    Dalil Kepemimpinan Keluarga
a.    Firman Allah dalam al-Qur’an surah an-Nisa’[4]: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

b.    Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

c.    Firman Allah dalam QS.Yusuf [12]: 109

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىs

d.    Firman Allah dalam QS. an-Nisaa’[4]: 32


وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَا
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
e.    Dari as-Sunnah
لن يُفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة 
f.    Pemimpin yang adil
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
g.    Wajib menaati pemimpin
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
c.       Tanggung jawab pemimpin
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
2.    Kepemimpinan Suami dalam Keluarga
Di dalam Islam, kita dapati persamaan hak antara kaum pria dan wanita. Kebebasan yang diberikan Islam terhadap istri tidaklah menghilangkan kepemimpinan seorang suami, sebab kemampuan yang dimiliki suami mengharuskan ia menjalankan kepemimpinannya, istri menjalankan urusan dalam rumah tangga sedangkan suami mencari nafkah sambil berusaha memaksimalkan mungkin untuk menjalankan kepemimpinan dalam rumah tangga. Sebagaiman firman AllaH swtdalam surah an-Nisa [4] ayat 34.
Derajat kepemimpinan suami dalam keluarga bukanlah derajat kekuasaan atau paksaan, tetapi derajat kepemimpinan rumah tangga yang muncul sejak saat pernikahan dan sebagai suatu keharusan sosial, yaitu derajat kepemimpinan yang dipikul suami, derajat yang menambah tanggung jawabnya lebih dari tanggung jawab istri.
Kebebasan yang diberikan Islam kepada wanita (istri) tidaklah menghilangkan kepemimpinan pria disini adalah yang berhubungan dengan urusan kehidupan di dalam rumah, kebaikan kepada dua belah pihak dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Kemampuan suami mengharuskan menjadi seorang pemimpin di dalam keluarga.
Allah swt, Dzat yang menjadikan diri manusia yang berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Keduannya memiliki perbedaan dan persamaan sekaligus. Perbedaan terletak pada sifat, karakter dasar, dan kekuatan tubuh biologis. Perbedaan tersebut tidak menjadidkan alasan keduanya untuk saling membutuhkan dan meringankan. Laki-laki memiliki otot yang kuat badan yang tegap dan kokoh, karena nya dia layak menjadi pemimpin rumah tangga secara keseluruhan. Perempuan diciptakan dengan tubuh yang lemah lembut, penuh kasih sayang, memilki kehalusan budi yang sangat tinggi. 
Apa yang ditekankan Allah swt melalui ayat di atas bahwa layaknya laki-laki sebagai Pemimpin bukan diartikan kepemimpinan secara struktural tetapi secara fungsional. Sebab, kalau seorang suami memimpin secara struktural, nasib istri pasti mengkhawatirkan. Akan tumbuh sikap otoriter, mau menang sendiri. Semua yang tidak layak memperoleh dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Yang namanya kebaikan hanya ada pada pemimpin yaitu suami.
Kepemimpinan disini bukan hanya di dunia berupa pemenuhan nafkah keluarga, memberi kesempatan yang sama kepada anak-anaknya untuk kuliah dan sekolah, serta mentransformasikan secara seimbang kekayaan cinta dan kasih sayang kepada semua rakyatnya. Jika seorang suami melaksanakan kepemimpinannya dengan penuh amanah dan tanggung jawab dan istri mengatur dan melayani anak dan suaminya dengan lemah lembut, penuh cinta, dan kasih sayang, berkumpulnya seluruh keluarga bukan hanya didunia tapi juga diakhirat.
Imam Nawawi dalam pemikirannya secara terperinci menguraikan berbagai alasan dan sekaligus memberikan argumentasi terhadap kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Bahkan secara jelas Imam Nawawi memberikan penjelasan kata pemimpin dengan kata.
“Harus dapat menguasai dan mengurus keperluan isteri termasuk mendidik budi pekerti mereka”.
Alasan yang dikemukakan dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn bahwa suami memberikan harta kepada isteri dalam pernikahan termasuk mahar dan nafkah. Disamping itu dijelaskan kelebihan laki-laki atas perempuan dari segi hakiki dan segi syar’i.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw telah bersabda :
“Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam (penguasa) adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin bagi keluarga, dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang isteri menjadi pemimpin di rumah suami, dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin atas harta orang tuanya, dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Maka masing-masing kamu adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi).
Dari hadits tersebut sangat jelas bahwa di antara suami isteri mempunyai kedudukan yang sama untuk menjadi pemimpin. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional saja. Suami mencari nafkah dan memberikan keperluan secara materil sedangkan isteri menjadi pemimpin dalam psikis, kasih sayang dan emosionalitasnya dalam rumah tangga.
Meskipun demikian Imam Nawawi mengakui bahwa suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada istri dalam keluarga. Kelebihan di sini bukan berarti suami berhak melakukan sesuatu apapun kepada istri. Melainkan suami wajib memperlakukan istri dengan baik dan tidak boleh menyakitinya dan harus memberinya nafkah sesuai dengan kemampuannya. Karena dalam keluarga harus dibutuhkan seorang pemimpin yang bisa mengatur dan menjaga keluarganya agar terhindar dari masalah-masalah yang justru menimbulkan konflik dalam keluarga.
Imam Nawawi  di sisi lain juga memberikan keterangan dan indikasi untuk mengakui perlu adanya keseimbangan antara suami istri. Bila dilihat dari sisi ini sangatlah jelas bahwa diantara suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang untuk menjadi pemimpin. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional saja.
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni dan Thaba’thaba’i, bahwa kepemimpinan suami isteri dalam rumah tangga karena kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga, yang mengakibatkan suami lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara kehidupan isteri adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat kelembutan dan kehalusan. 
Berbeda dengan pendapat para mufassir, Ali dalam memahami surat  an-Nisa [4]: 34 dengan mengaitkan dengan konteks sosial pada waktu ayat tersebut diturunkan. Pandangan yang semata-mata teologis tidak bisa dipakai sebagai sandaran, tetapi juga harus menggunakan pandangan sosio-teologis.
Menurut Ali, keunggulan suami adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Di mana pada waktu itu, suami bertugas mencari nafkah dan isteri menjalankan tugas domestiknya dalam rumah tangga, dan fungsi sosial antara suami dan isteri adalah seimbang.
Menurut Shihab, bahwa kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga. Persoalan yang dihadapi suami-isteri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimanapun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin. 
Hak kepemimpinan menurut al-Qur’an dibebankan kepada suami. Pembebanan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan isteri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anggota keluarganya.
Dengan demikian kepemimpinan suami bersifat fungsional, bukan struktural, atau bahkan jika dalam keluarga isteri memiliki kelebihan dari pada suami, bisa menjadi pemimpin dalam bidang-bidang tertentu di lingkungan keluarga. Implikasinya, hakikat martabat suami-isteri tetap sejajar, akan tetapi di-pilah sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing. Begitu pula dalam shalat, yang paling berhak menjadi imam adalah suami. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan isteri lebih layak menjadi imam dalam shalat jika memang keilmuan dan daya baca isteri lebih fasih dari pada suami.
Mungkin dunia, terutama umat Islam masih kaget dan bertanya-tanya akan kasus seorang perempuan di Amerika mengimami shalat berjamaah. Jika masih merujuk pada penafsiran dan para ahli fiqh klasik, bahwa dalam mengimami shalat berjamaah kaum perempuan tidak boleh mengimami laki-laki.
Kalau memang demikian, lalu alasannya kenapa itu yang masih menjadi persoalan besar. Jika dikarenakan laki-laki memiliki kelebihan sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, serta suara perempuan itu dapat menimbulkan fitnah, sehingga shalat berjamaah yang didominasi oleh kaum laki-laki hilang kekhusyu’annya. 
Jika hal itu yang menjadi alasan mendasar, maka kurang bijak jika perempuan lebih unggul dan kaum laki-laki sendiri tidak mampu memenej fikiran dan hawa nafsu kotor terhadap perempuan. Bukankah seimbang ketika kaum laki-laki menemukan cara yang bijak dalam menghadapi perempuan, seperti ada penghalang antara imam dan makmum. Seharusnya shalat untuk beribadah kepada Allah dengan penuh kekhusyu’an, bukan tergoda bacaan imam.
Secara umum hakikat kepemimpinan adalah sebagai berikut:
Pertama, merupakan tanggung jawab, bukan keistimewaan. Kedua, pengorbanan, bukan fasilitas. Ketiga, kerja keras, bukan santai. Keempat, melayani, bukan sewenang-wenang. Kelima, keteladanan dan pelopor, bukan pengekor.
Pendapat ini semakin menegaskan bagaimana peran sebagai seorang pemimpin, bukan menjadi penguasa yang “membabi-buta” melakukan apa saja yang dikehendaki. Demikian juga dalam keluarga, seorang suami “haram” bertindak superior terhadap isteri, terlebih lagi mengeksploitasi isteri sesuai kehendak semena-mena suami. 
Dalam sebuah keluarga harus ada kepemimpinan, karena keluarga adalah cerminan negara terkecil, sehingga keluarga membutuhkan pemimpin yang mengatur kehidupan keluarga, bila dalam keluarga tidak ada yang menjadi pemimpin maka akan terjadi kekacauan dalam keluarga, semua berjalan sendiri-sendiri.
Suami tidak mau diatur dan tidak ada yang mengatur. Meskipun suami menjadi pemimpin tapi suami tidak diperbolehkan semena-mena terhadap isteri dan bertindak kasar kepada anak-anaknya. Justru sebagai seorang pemimpin suami harus bisa menjadi panutan yang baik bagi keluarganya suami harus bisa memberikan rasa aman, rasa tentram dan sayang terhadap isteri maupun anak-anaknya. 
Pada umumnya peranan suami-isteri sudah diatur sedemikian rupa, sehingga isteri lebih banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah tangga di dalam rumah. sebaliknya suami lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah, karena secara psikis isteri memiliki  jiwa yang sabar dan tenang dalam menghadapi anak-anaknya. Sedangkan suami memiliki jiwa yang kuat sehingga tahan menghadapi persoalan-persoalan di luar rumah.














BAB III
BIOGRAFI DAN DASAR PEMIKIRAN AMINA WADUD
A.    Biografi Amina Wadud
Amina Wadud lahir di Amerika Serikat pada tahun 1952. dan mempunyai nama lengkap Amina Wadud Muhsin, ia adalah warga Amerika keturunan Afrika-Amerika (kulit hitam).  Amina menjadi seorang muslimah kira-kira akhir tahun 1970-an.  Walaupuan ia masuk Islam baru seperempat abad namun berkat ketekunan dalam melakukan studi keislaman, maka saat ini ia menjadi Guru Besar Studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Comminwealth. Di mana sebelumnya ia menyelesaikan studi di Universitas Michigan dan mendapat gelar MA (1982) dan Ph. D (1988).
Selain bahasa Inggris, Amina juga menguasai beberapa bahasa lain seperti Arab, Turki, Spanyol, Prancis dan Jerman. Maka tidak mengherankan  bila ia sering mendapatkan kehormatan menjadi dosen tamu pada universitas di beberapa negara. Antara lain :
1.    Universitas Commonwealth, Virginia : Asisten Profesor di Lembaga Studi Filsafat & Agama, tahun 1992 – 1997, 1998 dan menjadi Profesor penuh  pada tahun 1999.
2.    Fakultas Ketuhanan Harvard Cambridge, sebagai dosen Magister Studi Wanita di Lembaga Penelitian Program Agama & menjadi Dosen Terbang, 1997-1998.
3.    Universitas Islam Internasional ; Asisten Profesor di Lembaga Pengetahuan & Peninggalan Islam Wahyu, 1989-1992.
4.    Universitas di Michigan ; Asisten Riset Pengembangan Bahan-Bahan Pengajaran Bahasa Arab, 1984-1986.
5.    Institut Pengajaran Bahasa Inggris ; Kairo Mesir Instruktur/pengajar Inggris, Transkriber Program Pendidikan untuk Orang Dewasa di musim  panas 1982.
6.    Sekolah Pusat Komunitas Islam : Philadelphia PA. Guru kelas 5-6. Pengembangan Kurikulum Pelajaran Agama Islam kelas 4-7, 1979-1980.
7.    Universitas di Qar Younis ; Kampus Pendidikan El-Beida Libya : Dosen di Fakultas Inggris pada tahun 1976-1977.
Selain sebagai dosen, ia juga memberikan beberapa kursus singkat mengenai keislaman :
1.    Kajian-Kajian Keagamaan :
Islam, Pengenalan Terhadap Kajian-Kajian Keagamaan, Islam & Afrika-Amerika, Agama di Amerika, Bahasa-Bahasa Klasik Global didalam Spiritualitas, Perbandingan Agama, Agama-Agama Dunia.
2.    Kajian-Kajian Al-Qur’an :
Tafsir, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Tema-Tema Pokok dalam Al-Qur’an, Al-Qur’an & Wanita, Keadilan, Jender & Penafsiran Al-Qur’an.
3.    Kajian-Kajian Keislaman :
Peradaban Islam, Sejarah, Islam & Orang-Orang Muslim, Mistik Islam : Orang-Orang Sufi, Islam & TrenGlobal.
4.    Kajian-Kajian Kewanitaan :
Wanita & Agama, Spiritualitas Wanita Secara Umum, Teologi Feminisme, Islam & Wanita.
5.    Kajian-Kajian Internasional :
Pergerakan Islam, Islam di Asia Tenggara, Islam di Amerika, Sejarah Timur Tengah.
Ia pernah menjadi Consultant Workshop  dalam bidang Islam dan Gender yang diselenggarakan oleh MWM (Maldivian Women’s Ministry) dan PBB pada tahun 1999. Dalam beberapa organisasi ia pun memiliki jabatan  penting, di antaranya :
1. Anggota Akedemi Agama Amerika (AAOR), 1989-2001
2. Anggota Dewan Konggres WCRP, 1999-2004.
Anggota Eksekutif Komite WCRP, 1992-2004
4. Anggota inti SIS (Sister in Islam) Forum Malaysia tahun 1989
5. Editor Gender Issu pada Jurnal “The American Muslim” 1994-1995
6. Editor Jurnal “Lintas Budaya” Virgia Commenwealth University, 1996.
7. Editorial Jurnal “Hukum dan Agama”, 1996-2001
8. Instruktur pada lembaga kursus Studi Islam untuk Dewasa di Islamic Community Center of Philadelphia; 1982-1984.
9. Ketua Komite Gabungan Peneliti Studi Agama dan Studi tentang Amerika-Afrika, 1996-1997.
10. Ketua Koordinator Komite Perempuan (WCC), 1999-2004
11. Pembawa Acara di sebuah stasiun televisi pada acara “Focus on al-Islam”,1993-1995.
12. Perkumpulan Studi Inggris & Arab Wanita, 1980-1987
13. Dan masih banyak lagi jabatan-jabatan penting yang ia pegang.
Selain itu Amina Wadud juga banyak memperoleh beberapa penghargaan dari penelitiannya yang cukup banyak, yaitu :
1. Universitas Commonwealth, Virginia :
- Workshop musim panas VCU : Bertahan di Ruang Kelas Elektrik disponsori oleh Kantor Walikota & Kantor Pengembangan Pengajaran, 7-17 Agustus 2000
- Subsidi VCU : “Memulai Kritik Jender Inklusif Terhadap Teori Etika
Islam” sebuah penelitian utama mengenai Konsep Moral Menurut Al-
Quran, diajukan pada tahun 1999
- Subsisi VCU : “Konsep Alternatif Mengenai Keluarga Dalam Islam”, diajukan pada tahun 1996
- Mendapat predikat Who’s Who di Organisasi-organisasi Internasional,
edisi kedua tahun 1995
- Mendapat predikat Who’s Who of Woman Dunia, edisi ke-12 tahun 1993 & edisi ke-13 tahun 1995
- Subsidi VCU : “Memulai Kritik Jender Inklusif Terhadap Teori Etika
Islam” sebuah penelitian utama mengenai Konsep Moral Menurut Al-Quran, diajukan pada tahun 1999
- Subsisi VCU : “Konsep Alternatif Mengenai Keluarga Dalam Islam”,
diajukan pada tahun 1996
- Mendapat predikat  Who’s Who di Organisasi-organisasi Internasional, edisi kedua tahun 1995
- Mendapat predikat Who’s Who of Woman Dunia, edisi ke-12 tahun 1993 &edisi ke-13 tahun 1995
2. Universitas Islam Internasional Malaysia :
-Penganugerahan untuk sebuah penelitian tentang Kritik Metodologis Terhadap Feminisme Sekuler (Menguak Feminisme Pro-Keyakinan Menurut Pandangan Islam) pada tahun 1990-1991.
3. Universitas di Michigan :
- Kelompok Kajian-Kajian Timur (mendapat fasilitas pengajaran &
biaya hidup per tahun), di musim panas tahun 1979
- Penghargaan kecil (mendapat fasilitas pengajaran & biaya hidup per tahun), 1980-1981, 1982-1984, 1985-1986, 1987-1988
- Mendapat beasiswa di lingkungan bahasa asing : (mendapat fasilitas
pengajaran & biaya hidup per tahun), 1984-1987
4. Universitas Amerika di Kairo :
Center for Arabic Study Abroad (CASA) (mendapat fasilitas pengajaran, biaya hidup per tahun & biaya perjalanan), 1981-1982
5. Universitas di Pennsylvania :
- Mendapat beasiswa sekolah Universitas : tahun 1970-1975 (fasilitas pengajaran & biaya hidup per tahun)
- Penghargaan Akademis : 1973-1975
6. Pusat Penelitian Amerika di Mesir : “Peran Moral Dalam Al-Quran dan
Kejelasan Mengenai Keadilan Sosial” diajukan tahun 1999.
7. Fakultas Ketuhanan Harvard : Program Kajian Wanita dalam Agama,
“Konsep Lain Tentang Keluarga dan Tata Hukum Personal Muslim”
(penghargaan 1997-1998).
8. Subsidi VCU : “Menitikberatkan Kritik Eksklusif Jender Terhadap Teori
Etika Islam” Penelitian utama tentang “Konsep Al-Quran Terhadap Peran
Moral”, diajukan tahun 1999.
9. Subsidi VCU : “Pendapat Lain tentang Konsep Keluarga Dalam Islam :
Koleksi Data-Data Penting”, (penghargaan di musim panas tahun 1996).
10. Universitas Islam Internasional:  “Kritik Metodologis Terhadap Feminisme Sekuler : Penelitian Terhadap Feminisme Pro-Keimanan Menurut Pandangan Islam” (penghargaan tahun 1990-1991).
B.    Karya Intelektual Amina Wadud   
Amina termasuk  tokoh feminis Muslim yang cukup  produktif, walaupun ia baru menulis dua karya  ilmiah dalam bentuk buku namun ia sudah banyak menulis puluhan bahkan ratusan dalam bentuk artikel yang dimuat dalam beberapa jurnal, seminar-seminar, dan beberapa Proposal Research (proposal penelitian) dalam bidang perempuan, gender, agama, pluralisme dan kemanusiaan. Karya-karya tersebut antara lain;
1.    Buku
a.    Qur’an and Women:Rereading The Sacred Text Form A Women’s Perspective, (Oxfod University Press:1999).
b.    Qur’an and Women, fajar bakti publication (Oxford University Press Subsidiary), Kuala Lumpur Malaysia (Original Edition), 1992.
2.    Artikel
a.    Alternative Penafsiran Terhadap Al-Qur’an
b.    Gender Budaya dan Agama:sebuah perspektif islam, dalam buku”Gender, Budaya dan Agama “Kesederajatan Di Hadapan Tuhan dan Ketidaksederajatan di Hadapan Laki-laki”,Editorial Norani Othman Dan Cocilia Ng, Persatuan Sains Social, Kuala lumpur Malaysia, 1995.
c.    Mencari Suara Wanita dalam al-Qur’an, dalam Orbis Book, SCM Press, 1998.
d.    Muslim Amerika; Ernis Bangsa dan Kemajuan Islam, dalam buku“Kemajuan Islam; Keadilan, Gender dan Pluralisme” Editorial Omid Safi, Oxford: One World Publication, 2002.
e.    Parameter Pengertian al-Qur’an terhadap Peran Perempuan dalam Konteks dunia Modern, dalam Jurnal “Islamic Quarterly”edisi Juli, 1992.
f.    Qur’an Gender dan Kemungkinan Penafsiran, dalam Jurnal Kesepahaman Muslim-Kristen, Georgetown University, Washington DC.
g.    Qur’an, Syari’ah dan Hak Politik Wanita Muslim, makalah Simposium “Hukum  Syari’ah dan Negara Modern” Kualalumpur Malaysia, 1994.
h.    Wanita Muslim antara Kewarganegaraan dan Keyakinan, dalam Jurnal “Women and Citizenship “
i.    Wanita Muslim sebagai Minoritas, dalam “Journal of Muslim Minority Affairs”, London, 1998.
j.    Ayat 4:34; Sebuah Konsep Kedinamisan Hubungan antara Perempuan dan Laki-Laki dalam Islam, dalam Malaysian Law News, Edisi Juli,1990.
Dari pergumulan sebagai aktivis wanita dalam upaya memperjuangkan keadilan gender, ia berpendapat bahwa selama ini sistem relasi laki-laki dan wanita di banyak Negara sering kali mencerminkan adanya bias patriakahi sehingga mereka kurang mendapat keadilan proporsional. 
Karya-karya Amina Wadud tersebut merupakan bukti kegelisahan intelektualnya mengenai ketidakadilan di masyarakat. Maka ia mencoba melakukan rekontruksi metodologi tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menafsirkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan.
C.     Pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan dalam Keluarga
Amina Wadud adalah seorang pemikir kontemporer yang mencoba melakukan reontruksi metodelogi tentang bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Dengan gagasan yang kritis, ia juga berusaha mengaplikasikan metodelogi yang dibangunnya tersebut.
Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikirannya adalah bahwa al-Qur’an merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki dan wanita setara.  Karena itu, perintah dan petunjuk Islam yang termuat dalam al-Qur’an mestinya diinterpretasikan dalam konteks historis yang spesifik. Khususnya dalam mengkaji bagaimana presepsi mengenai wanita terhdap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Pandangan Amina, ada beberapa  hal yang harus diingat, yaitu
1.    Tidak ada Penafsiran yang Benar-benar Obyektif
Menurutnya, selama ini tidak ada satupun penafsiran yang benar-benar obyektif. Masing-masing ahli tafsir sering melakukan beberapa pilihan subyektif dan kadang-kadang tidak mencerminkan maksud dari nashnya.  Sebuah produk tafsir selalu dipengaruhi olah pengalaman subyektif dan latar belakang masing-masing orang. Contoh sederhana, orang yang fanatik terhadap ilmu fiqih maka ketika menafsirkan al-Qur'an maka ia akan lebih banyak menggunakan pengalaman fiqihnya.
Selain itu tidak adanya pemahaman yang tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut muncul sejak ayat-ayat tersebut diturunkan dari waktu ke waktu.  Termasuk di antara para sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Rasul sekalipun sering berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini juga sampai kepada ulama mufassirin pada periode-periode berikutnya. Maka tidak mengherankan bila kemudian muncul penafsiran-penafsiran yang berbeda tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
2. Kategorisasi Penafsiran al-Qur'an
Penafsiran mengenai wanita, menurut Amina ada tiga kategori, yaitu tradisional, reaktif dan holistik.
a. Tradisional
Model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai kemampuan mufassirnya, seperti hukum, nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf dan sebagainya. Maka tafsir seperti ini bersifat atomistik.
Artinya penafsiran ini dilakukan atas ayat perayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial dan tidak ada upaya untuk mengenali tema-tema dan membahas hubungan al-Qur'an dengan dirinya sendiri, secara tematis.
Dan yang paling ironi pada model penafsiran tradisional ini menurut Amina Wadud adalah semuanya hanya ditulis oleh kaum laki-laki. Hal ini berarti bahwa subyektifitas laki-laki dan pengalaman laki-laki dimasukkan ke dalam tafsir mereka dan sementara wanita dan pengalaman wanita tidak dimasukkan (diabaikan), maka wajar bila kemudian tafsir yang muncul adalah menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan khas laki-laki (patrinial).
b. Reaktif
Tafsir model ini adalah sebagai reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami wanita yang dianggap berasal dari al-Qur'an. Tujuan yang dicapai dan metode yang dipakai berasal dari cita-cita dan dasar pemikiran kaum feminis. Namun terkadang analisis yang dipakai tidak komprehensif dan sering menyebabkan sikap egoisme wanita yang tidak sesuai dengan sikap al-Qur'an sendiri terhadap wanita. Maka sebenarnya kelemahan ini bisa ditekan bila mereka berpegang teguh pada konsep pembebasan terhadap sumber utama dari idiologi dan teologi Islam.
c. Holistik
Merupakan penafsiran yang melibatkan banyak persoalan, sosial, moral, ekonomi dan politik modern, termasuk persoalan wanita yang muncul pada era modern.  Satu unsur khas untuk menafsirkan dan memahami setiap nas adalah nas sebelumnya yang disusun oleh penafsir yang dipengaruhi oleh suasana bahasa dan budaya saat nash dibaca, maka hal tersebut tidak dapat dielakkan dan dihindari.
Pada posisi inilah Amina Wadud menempatkan diri dalam upayanya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan memasukkan pengalaman wanita dan membebaskan diri dari stereotip yang dibangun oleh mufassir laki-laki.
Maka menurut Amina Wadud betapa pentingnya analisis konsep wanita dalam al-Qur'an, bila mana diukur dengan perspektif ayat-ayat al-Qur'an sendiri, baik itu dalam kekuatan sejarah, politik bahasa, kebudayaan, pikiran dan jiwa maupun ayat-ayat Tuhan yang dinyatakan bagi seluruh umat manusia. Melalui pengkajian ulang terhadap al-Qur'an berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial, persamaan manusia dan tujuannya sebagai pedoman hidup.
Melalui kesadaran tersebut, Amina Wadud memberikan sebuah tawaran metode yang harus dipegangi ketika akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an terutama ayat-ayat yang bias gender. Yang dikemasnya dalam tiga
aspek penting, yaitu :
1. Dalam konteks apa teks itu ditulis atau kaitannya dengan al-Qur'an adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan.
2. Sebagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya.
3. Bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung atau pandangan hidupnya.  Sebagai langkah teknis operasionalnya, ketika akan menafsirkan, setiap ayat, yang harus dianalisis adalah :  1) dalam konteksnya; 2) dalam konteks pembahasan topik yang samadengan al-Qur'an; 3) menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam seluruh bagian al-Qur'an; 4) menyangkut sikap benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur'an; 5) dalam konteks al-Qur'an sebagai weltanschauung atau pandangan hidup.
Dengan metode tersebut, Amina ingin menangkap spirit dan ide-ide al-Qur'an secara utuh, holistik dan integratif hingga tidak terjebak pada teks-teks yang bersifat parsial dan legal formal. Hal ini penting karena problem penafsiran al-Qur'an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur'an yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas. Karena konteks selalu mengalami perkembangan, apalagi pada waktu yang bersamaan kita ingin menjadikan al-Qur'an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Pemikiran amina wadud, kepemimpinan laki-laki bisa diterima sepanjang laki-laki bisa menunjukan kelebihan yang ia miliki, mempunyai kemandirian dalam hal kebutuhan ekonomi, dan mendukung perempuan dengan harta yang ia miliki.  Wadud memberikan penjelasan bahwa kelebihan terhadap perempuan yang dijamin oleh al-Qur’an hanyalah harta warisan. Dalam hal warisan ini, dimana laki-laki mendapatkan dua bagian dan perempuan satu bagian sebagaimana dijelaskan al-Qur’an. Apabila laki-laki dapat menjamin keunggulan yang telah dijamin oleh al-Qur’an dan menggunakannya untuk mendukung perempuan (istrinya) serta seluruh keluarga yang lain, barulah laki-laki itu yang menjadi pemimpin dalam keluarga.
Amina Wadud dalam bukunya berjudul Qur’an and Woman, mengatakan bahwa kalimat laki-laki adalah qawwmun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bahwa kepemimpinan itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis. Sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an, memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki melainkan juga bagi perempuan. Ayat itu sendiri tidak menyebut semua laki-laki otomatis superior atas perempuan. Yang dinyatakan al-Qur’an adalah bahwa Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain.









BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN AMINA WADUD TENTANG KEPEMIMPINAN DALAM KELUARGA DAN TINJAUAN MENURUT HUKUM ISLAM
A.    Dasar Pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan  dalam Keluarga.
Dalam  bab  ini  peneliti  akan  menganalisis  pendapat  Amina Wadud  tentang kepemimpinan dalam keluarga. Sebagaimana yang  telah  dijelaskan  dalam  bab  III  di  atas,  bahwa  kepemimpinan  merupakan  keberhakan semua orang siapa saja bisa memimpin baik laki-laki maupun perempuan.  Akan  tetapi,  dalam  hal  ini  masih terjadi perbedaan  pandangan  dari  beberapa  Mufassir,  terutama  dalam  hal penafsiran mengenai kepemimpinan. Apakah kepemimpinan itu mutlak bagi seorang laki-laki ataukah perempuan juga bisa diberikan kepada seorang perempuan?
Pendapat  Amina Wadud  sendiri  berbeda  dengan  pendapat  para Mufassir  lainnya. Perbedaan  pendapat  merupakan  sesuatu  yang  biasa  karena  pemahaman  para Mufassir sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki serta sosio-kultur masyarakat dimana ia berada.
Amina Wadud  berpendapat,  bahwa kepemimpinan tidak   harus dipegang  oleh  suami  meskipun  telah  menjadi kepala keluarga karena berlandaskan pada dua hal yaitu: 1. Kelebihan macam apa yang telah diberikan, dan, 2. Apa yang telah mereka belanjakan dari harta mereka (untuk mendukung kaum wanita), yakni nilai sosial, ekonomi dan idealnya.
“Amina Wadud menafsirkan bahwa ayat ini bukan cuma mencakup masalah ‘kelebihan’. Secara klasik ayat ini kerap kali dipandang sebagai satu-satunya ayat yang paling penting yang berkaitan dengan hubungan antara pria dan wanita: pria-pria merupakan qawwamuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita. Wadud mencoba membahas persoalan klasik ini dengan berlandaskan pada dua hal yaitu: 1. Kelebihan macam apa yang telah diberikan. 2. Apa yang telah mereka belanjakan dari harta mereka (untuk mendukung kaum wanita), yakni norma sosial-ekonomi dan idealnya.
Terjemahan yang Wadud selipkan berdasarkan pada surat an-Nisa ayat 34  tadi berasal dari kata bi yang dipergunakan dalam ayat ini. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adala karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat di atas kata bi berarti pria-pria qawwamun ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah punya atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedangkan persyaratan kedua adalah jika mereka mendukung kaum wanita dengan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin (qawwam) bagi wanita.”  
 Keberhakan kepemimpinan  yang harus diberikan kepada seorang suami atau istri seperti  yang  telah  diterangkan  dalam  pendapatnya,  Amina Wadud  memandang  bahwa apabila suami tidak dapat memimpin maka  dapat  diganti  oleh istri yang lebih mempunyai kemampuan dalam mengatur dan memimpin keluarga.
Apabila kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bukanlah disebabkan laki-laki memiliki kelebihan yang bersifat fitrah, tapi kepemimpinan laki-laki itu hanya terjadi jika laki-laki dapat memenuhi dua syarat yang diajukan dalam al-Qur’an, yaitu jika laki-laki memiliki kelebihan dalam memberi nafkah. Dengan demikian Amina Wadud memahami ketentuan tersebut bukan bersifat normatif melainkan kontekstual.  yaitu kepemimpinan yang memang pantas wajib diberikan kepada si suami tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai  ukuran, untuk melihat kelebihan atau kemampuan dari seorang pemimpin itu didalam kalangan keluarga si suami tersebut. Kepemimpinan itu  boleh  saja  diberikankan  kepada  seorang wanita. Jika seorang wanita itu betul memiliki kemampuan daripada suami.
Menurut Amina Wadud sebenarnya menyetujui laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dalam rumah tangga jika disertai dua keadilan yaitu jika laki-laki  punya atau sanggup membuktikan kelebihannya dan jika laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya.
Selanjutnya makna qanitatun dalam surat an-Nisa [4]: 34 menurut Wadud bukanlah sebagai kepatuhan. Apalagi kepatuhan terhadap suami. Akan tetapi makna qanitatun bagi Wadud adalah perempuan-perempuan yang shaleh.
Pemikiran kaum Feminis tentang kepemimpinan laki-laki ini tentunya sangat bertentangan dengan pemikiran para mufassir muslim. Mereka kaum feminis hanyalah berusaha mengusung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang dengan melawan kodrat mereka sebagai perempuan. Padahal Allah sudah menetapkan kedudukan masing-masing. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama yang membedakan adalah ketakwaannya.
Allah menciptakan  manusia terdiri dari dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Tentu saja bukan untuk dipertentangkan atau saling merendahkan. Akan tetapi dibalik itu banyak hikmah yang terkandung di dalamnya.  Islam menilai bahwa perempuan adalah pasangan laki-laki. Artinya, tidak berbeda kelas, melainkan sederajat karena masing-masingnya pasangan bagi yang lainnya dan saling membutuhkan. Ini menunjukan bahwa laki-aki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. [4]: 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

QS. [2]: 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Namun dalam hal-hal yang menyangkut interaksi bersama antara laki-laki dan perempuan yang diperlukan adanya kepemimpinan maka baru Islam membedakan posisi diantara keduannya; laki-laki harus menjadi pemimpin bagi wanita. Sebagaimana firman Allah swt [4]: 34. Sudah menjadi kemestian dalam sebuah komunitas yang memerlukan kepemimpinan harus adanya pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini laki-laki yang menjadi pemimpin dan perempuan sebagai yang dipimpin. Dan yang dipimpin harus mematuhi terhadap pemimpinannya.
Begitu pula dengan perempuan mereka harus taat kepada pemimipin mereka (suami). Tetapi ini tentunya tidak berarti kepemimpinn tersebut sewenang wenang, menindas dan bersifat pemaksaan. Akan tetapi kepemimpinan tersebut menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehingga tidak menyebabkan perempuan tertindas. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu bukan untuk saling menjatuhkan dan menunjukan akan ketidak konsistenan. Hanya saja hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat qudratullah dan alamiah yang menuntut perbedaan hukum antara keduanya (laki-laki dan perempuan). Jika menentang kodrat alam itu sendiri, maka berarti ia menentang  nilai-nilai kemanusiaan yang Allah ciptakan.
B. Pemikiran Amina Wadud tentang Kepemimpinan Keluarga dalam Tinjauan Hukum Islam.
Pemikiran Amina Wadud tentang kepemimpinana dalam keluarga  menyebutkan secara terang-terangan dalam bukunya, sesungguhnya telah memberikan gambaran di dalam bukunya bahwa “kepemimpinan keluarga tidak harus laki-laki”. Menurut hemat peneliti, Orang yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki dan wanita itu sama, maka secara tidak langsung ia mengatakan bahwa Rasulullah saw itu juga membolehkan seorang perempuan itu menjadi pemimpin, padahal dalam haditsnya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin.
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة

Hadits ini menunjukan kepada kita bahwa Nabi saw melarang keras perbuatan mengangkat wanita sebagai pemimpin, ini merupakan indikator ruginya seorang yang dipimpin oleh seorang wanita. Oleh karena itu menjadikan wanita sebagai pemimpin itu haram.
Menyebut wanita sama derajatnya dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan, maka ini artinya sama dengan menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta tidak mengetahui kapasitas ciptaannya, Jelas ini adalah suatu kebodohan kalau tidak mau dikatakan kedustaan terhadap Allah SWT.
Ini jelas suatu konklusi prematur yang sangat tidak ilmiah dan tidak didukung oleh suatu research yang mendalam dan memadai, atau bisa dikatakan ini merupakan metode generalisir yang berangkat dari pendeknya pemahaman dan ‘cetek’nya pengetahuan. Karena, tidak bisa disamakan antara laki-laki dengan seorang perempuan. Apabila Amina Wadud itu mendapatkan suatu fenomena atau meneliti sebagian fenomena yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu yang memilih seorang perempuan sebagai pemimpin pasti dia tidak terlalu ceroboh, maka apabila ia mendapatkan informasi bahwa perempuan  yang mereka pilih sebagai pemimpin itu adalah sebuah kebaikan yang besar dan membawa keberuntungan bagi masyarakatnya, maka ini bisa dipandang dari dua sisi :
Pertama, fenomena yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu tidak bisa digeneralisir kepada masyarakat lainnya yang memilih pemimpin dari golongan laki-laki. Karena seringkali, seorang suami selalu mengalah dan merasa tidak mampu mengatur wanita berarti bahwa perempuan diperbolehkan untuk jadi pemimpin,karena mempin itu bukan persoalan mampu atau tidak mampu tapi ini sudah ketentuan Allah, bukan karena faktor yang lainnya juga, dan fenomena ini adalah suatu yang eksis tidak boleh dinafikan, sehingga klaim penggeneralisiran yang dilakukan oleh Amina Wadud tersebut tidak tepat.
Kedua, fenomena yang terjadi mengenahi persoalan kepemimpinan yang didapatkan oleh Amina Wadud tersebut, bukanlah suatu mutlak kebaikan, bahkan bisa menjadi suatu keburukan jika seorang bisa menilainya. Karena sudah menjadi fitrahnya laki-laki menjadi pemimpin bagi seorang perempuan. Oleh sebab itu haram dan dosa apabila orang yang sudah tahu bahwa kepemimpinan itu milik seorang laki-laki. Namun, perlu dicatat hal ini tidak semuanya demikian dan tidak mutlak harus demikian karena mungkin dalam kondisi tertentu perempuan bisa memimpin.
Karena Imam Nawawi di sisi lain juga memberikan keterangan dan indikasi untuk mengakui perlu adanya keseimbangan antara suami istri. Bila dilihat dari sisi ini sangatlah jelas bahwa diantara suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang untuk menjadi pemimpin. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional saja.
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni dan Thaba’thaba’i, bahwa kepemimpinan suami isteri dalam rumah tangga karena kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah tangga, yang mengakibatkan suami lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara kehidupan isteri adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat kelembutan dan kehalusan.
Berbeda dengan pendapat para mufassir, Ali dalam memahami surat  an-Nisa: 34 dengan mengaitkan dengan konteks sosial pada waktu ayat tersebut diturunkan. Pandangan yang semata-mata teologis tidak bisa dipakai sebagai sandaran, tetapi juga harus menggunakan pandangan sosio-teologis.
Menurut Ali, keunggulan suami adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Di mana pada waktu itu, suami bertugas mencari nafkah dan isteri menjalankan tugas domestiknya dalam rumah tangga, dan fungsi sosial antara suami dan isteri adalah seimbang.
Menurut Shihab, bahwa kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga. Persoalan yang dihadapi suami-isteri, muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan di mana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin.
Hak kepemimpinan menurut al-Qur’an dibebankan kepada suami. Pembebanan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan isteri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anggota keluarganya.
Dengan demikian kepemimpinan suami bersifat fungsional, bukan struktural, atau bahkan jika dalam keluarga isteri memiliki kelebihan dari pada suami, bisa menjadi pemimpin dalam bidang-bidang tertentu di lingkungan keluarga. Implikasinya, hakikat martabat suami-isteri tetap sejajar, akan tetapi di pilah sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing. Begitu pula dalam shalat, yang paling berhak menjadi imam adalah suami. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan isteri lebih layak menjadi imam dalam shalat jika memang keilmuan dan daya baca isteri lebih fasih dari pada suami.
Secara umum hakikat kepemimpinan adalah sebagai berikut:
Pertama, merupakan tanggung jawab, bukan keistimewaan. Kedua, pengorbanan, bukan fasilitas. Ketiga, kerja keras, bukan santai. Keempat, melayani, bukan sewenang-wenang. Kelima, keteladanan dan pelopor, bukan pengekor.
Pendapat ini semakin menegaskan bagaimana peran sebagai seorang pemimpin, bukan menjadi penguasa yang “membabi-buta” melakukan apa saja yang dikehendaki. Demikian juga dalam keluarga, seorang suami “haram” bertindak superior terhadap isteri, terlebih lagi mengeksploitasi isteri sesuai kehendak semena-mena suami. 
Dalam sebuah keluarga harus ada kepemimpinan, karena keluarga adalah cerminan negara terkecil, sehingga keluarga membutuhkan pemimpin yang mengatur kehidupan keluarga, bila dalam keluarga tidak ada yang menjadi pemimpin maka akan terjadi kekacauan dalam keluarga, semua berjalan sendiri-sendiri.
Suami tidak mau diatur dan tidak ada yang mengatur. Meskipun suami menjadi pemimpin tapi suami tidak diperbolehkan semena-mena terhadap isteri dan bertindak kasar kepada anak-anaknya. Justru sebagai seorang pemimpin suami harus bisa menjadi panutan yang baik bagi keluarganya suami harus bisa memberikan rasa aman, rasa tentram dan sayang terhadap isteri maupun anak-anaknya. 
Pada umumnya peranan suami-isteri sudah diatur sedemikian rupa, sehingga isteri lebih banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah tangga di dalam rumah. sebaliknya suami lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah, karena secara psikis isteri memiliki  jiwa yang sabar dan tenang dalam menghadapi anak-anaknya. Sedangkan suami memiliki jiwa yang kuat sehingga tahan menghadapi persoalan-persoalan di luar rumah.











BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian pembahasan yang penyusun paparkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Amina Wadud, dalam memahami kepemimpinan laki-laki dan perempuan itu sama, Amina Wadud dapat menerima ketentuan laki-laki jadi pemimpin dalam keluarga. Namun perlu dicatat, bagi Amina Wadud kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bukanlah karena ia mempunyai keunggulan secara jenis kelamin, melainkan jika dia punya (dapat) membuktikan kelebihannya dan mau mendukung perempuan (istrinya) dengan harta yang dimilikinya. Jika dua hal tersebut tidak dipenuhi maka laki-laki bukanlah pemimpin. Sehingga jika diantara laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan baik dalam material atau mental maka dialah yang layak mendapatkan amanah kepemimpinan dalam keluarga.
2.    Tinjauan islam tentang kepemimpinan dalam keluarga menurut Amina Wadud dari keunggulan laki-laki lebih utama dari perempuan baik dari segi fungsional. Sedangkan perbedaan dalam memahami hal tersebut sangat dipengaruhi (terkait) dengan perbedaan metode tafsir yang digunakan. Adapun metode tafsir Amina Wadud adalah metode tafsir holistik dengan tetap menggunakan dan mempertimbankan hermeneutikanya. Sedangkan para mufassir tradisional menggunakan metode tafsir tahili (analistis).
B. Saran
1.      Setelah menelaah pemikiran Amina Wadud dalam masalah kepemimpinan dalam keluarga, maka peneliti merekomendasikan agar penelitian selanjutnya bisa mengkaji lebih jauh lagi tentang masalah kepemimpinan dalam keluarga.
2.      Bila nantinya ditemukan kesalahan dan kekurangan dari sisi apa saja dalam penelitian skripsi ini, sekirahnya memberitahukan kepada peneliti akan hal tersebut. Sebagai bentuk masukan dan kritikan yang bersifat membangun.
3.      Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) sebagai lembaga akademik agar dapat melengkapi buku-buku akademik yang berkenaan dengan ahwal asy-Syakhshiyyah serta buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang lain. Serta memudahkan peminjaman buku untuk mempermudah dan memperlancar bagi penulisan tugas akhir selanjutnya.
4.      Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa/i STIS Hidayatullah Balikpapan agar lebih mempersiapkan diri dengan lebih banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan-permasalah ummat. Sehingga ketika saatnya tiba untuk terjun ke medan dakwah, bekal untuk itu sudah banyak.
  Kepada Hidayatullah sebagai lembaga dakwah agar lebih meningkatkan pembinaan, pengarahan dan controlling dalam membentuk kader yang unggul untuk dapat ikut andil dalam memantapkan syari’at  yang ada dibumi Allah ini. Di samping itu juga kepada para kader, tetaplah konsisten dalam mengemban amanah dakwah dalam berbagai aspek kehidupan. Selalu optimis, mengajak kepada kebaikan dan yakinlah sepahit apapun perjuangan itu, janji Allah swt akan manisnya nikmat terhadap hamba-Nya.













DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i Cetakan IV Ramadhan 1424 H / November 2003 M).
Sarah Mantovani, “Ruu Kesetaraan dan Keadilan Gender”, Suara Hidayatullah, /XXVI/November 2014/Muharram 1436.
Ratna Bantara Mutu,  Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: tnp., 1999).
Amina Wadud Muhsin, Wanita  Dalam Al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1994).
  Azhari, Pendidikan Anak dalam Dimensi Islam Sebuah Tinjauan Kritis Konsep Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Anak  (Balikpapan: LPPM STIS Hidayatullah,  2013).
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema Insani, 1999).
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-thabari, Tafsir ath-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008). 
Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (tt/np. Gita Media Press,tth/nd).
http/www.blog Nurul.com. Pemikiran Feminisme Amina Wadud.diakses  pada tanggal 12 Desember 2014_Phd.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999).
Meity Taqdir Qodratillah, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Tim Redaksi Kamus bahasa Indonesia, 2008).
La ilman, Poligami Menurut Pemikiran Siti Musdah Mulia (Balikpapan: Perpustakaan STIS Hidayatullah, 2009).
Imam Faisol, Pemikiran Dono Baswardono Tentang Poligami”  (Balikpapan: Perpustakaan STIS Hidayatullah, 2014).
Masdar F Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1997).
  Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi Laki-laki dan Perempuan Dalam Tradisi Islam Pasca Patriakhi, terjemahan Team LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA, 1995).
Khalif  Muammar, Wacana Kesetaraan Gender. Islamia, Vol.3, No. 5 Juni 2010.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), cet. ke-4, 1994.
Umi Salami, Pemimpin dalam Perspektif Islam. Jurnal ilmu-ilmu hukum syariah, vol.2, no. 2 Juni 2012.
Dr.Musthafa Al-Khin Dr. Musthafa Al-Bughan., Konsep Kepemimpinan dan Jihad dalam Islam menurut Madzhab Syafi’i (Jakarta: Darul Haq, 2014).
Syekh Ali Shobuni., Rowai’l Bayan fi tafsiri ayatil ahkam , yang di nukil oleh Ishom bin Muhammad Syarif, Liman Qowamah fil Bait, Kairo : Darul Sofwah, 2003.
  Ahmad Zain An Najah : Kesetaraan Gender dalam Pandangan Al Qur’an, 2003 ).
Anwar sanusi, jalan kebahagiaan. (Jakarta: gema insani juni 2006).
Khondori soleh (ed), pemikiran kotemporer.
Ahmad Baidharwi, Tafsir Feminis; Kajian Perempuan dalam al-Quran dan Para Mufasir Kontemporer.
e-mail: awadud@vcu.edu.
 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Asghar Ali Engineer, The Qur’an Women and Modern Society, (tarj.) Agus Nuryanto, “Pembebasan Perempuan”, Yogyakarta; LKiS, 2003.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformasi of an Intellectual Tradition,(tarj.) Anas Muhyidin, Jakarta, Pustaka, 1996.
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasangan  Bias Laki-laki dalam Penafsiran,(Yogyakarta: LkiS, 2003).
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermenutik,( Jakarta: Paramadina, 1996).
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading a Sacred Text From a Woman’s Perspective, (New York: Oxford UniversityPress, 1999)
Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal ,(Bandung:Persis Pers,2010)
Al-Bukhari, ash-shahiih (No.4425), kitab”al-Maghazi”, Bab “Kitabun Nabi saw ilaa Kiswara wa Qauishara”.
Adnan bin Dhaifullah Alu asy-Syawabikah, Wanita Karir (Pustaka Imam Syafi’i: Jakarta, Mei 2010)




dan Strategi Kekuasaan Wanita Muslim, dalam buku “Tirai Kekuasaan: Aktivitas Keilmuan Wanita Muslim” ,Editional Gisela Webb, Syracuse University Press, 1999.

0 komentar:

Posting Komentar

letihkan badanmu untuk mendapatkan kenikmatan