Spirit Utama SAR Hidayatullah Extrimyess

Letihkkan Badanmu Untuk Mendapatkan Kenikmatan By Extrimyess.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

SAR Hidayatullah Terus Berkarya Extrimyess

Pimpin dan Extrimkan Dirimu Untuk Merubah Dunia By Extrimyess. This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Allahu Akbar Surga Dunia Extrimyess

Sedikitkan Tidurmu Untuk Bahagia Selalu By Extrimyess.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Belajarlah Dari Seekor Semut Extrimyess

Sedikitkan Tidurmu Untuk Sehatkan Badanmu By Extrimyess.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Janganlah Terpesona Dengan Indahnya Dunia Extrimyess

Sakit dan Derita Bagi Seorang Muslim Itu Biasa By Extrimyess.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 13 April 2015

Kisah Nyata Yang Menyentuh : Bilakah Ajal Kan Menjemput?


Sebuah cerita
Kukenal dia ketika aku semester awal S1 di fakultas Farmasi pada salah satu Universitas Swasta terbesar di kota M.
Nisa,  itulah namanya, kesan pertama yang kudapatkan tentangnya. Subhanallah Allah menganugrahkan keelokan padanya dengan mengindahkan rupanya. Nisa gadis yang sangat cantik, kulitnya putih bersih, wajah yang begitu sempurna dengan tahi lalat di matanya. Bola mata yang indah dengan pancaran kecerdasan yang begitu jelas.
Dia juga sangat wangi, wangi yang sangat lembut, yang sampai sekarang masih mampu kuingat. Penampilannya sama dengan teman-teman kuliahku, jilbab kecil yang dililit atau dipeniti dengan sangat rapi, dia sangat suka menggunakan jilbab merah dan pink, sangat cocok dengan kulitnya yang putih.
Awalnya aku hanya mampu mengaguminya sebagai teman yang cantik dan pintar. Namun aku tak begitu tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Bukannya aku minder, namun pola pikir kami yang kurasa berbeda. Selain itu aku mendengar dari beberapa temanku, kalau Nisa anaknya sombong dan individualis. Padahal kegiatan dikampus terutama di Laboratorium membutuhkan kerjasama dalam team dan kelompok. Ada pula yang mengatakan kalau dia sok pinter dan gak mau disaingi.
Hal ini yang membuatku agak enggan mengenalnya lebih jauh. Hal lainnya karena aku seorang akhwat, selain dunia kampus, akupun disibukkan dengan amanah dakwah dimana-mana dan juga tarbiyah. Membuat waktuku betul-betul terkuras, sehingga kawan yang ku kenalpun hanya mereka yang juga bergelut didunia dakwah yaitu para akhwat-akhwat.
Namun aku kemudian merasa ada yang kurang dengan keseharianku, aku merasa dakwah fardiyah pada teman-teman yang pada dasarnya ku temui tiap hari sangatlah kurang. Padahal setiap harinya ku mengisi liqo dan membuat ta’lim dengan menghadirkan orang-orang yang tak kukenal.
Lalu bagaimana mungkin teman-teman bahkan sahabatku dikampus tak tersentuh dengan dakwahku. Maka kumulai melirik mereka, membuat kajian jum’at dikampus dan akupun bergabung di BEM fakultasku.
Ada yang menarik dalam tiap kajian jumat yang aku adakan. Yah, aku selalu menemukan sosok Nisa di sana. Bahkan terkadang dia datang lebih dulu dari teman-teman yang lain yang notabene akhwat. Satu hal yang ku ingat darinya, dia selalu shalat tepat waktu. Terkadang aku malu, ketika di lab aku kadang begitu antusias melakukan praktikum, sehingga kadang aku mengabaikan azan Dzuhur atau azar, maka Nisa pasti selalu menhampiriku dan membisikkan padaku kalau telah azan lalu mengajakku ke masjid atau ruang shalat di Lab, dan memintaku untuk meletakkan gelas kimia atau pereaksi kimia dari tanganku itu. Nisa, semakin membuatku penasaran.
Aku semakin tertarik mengenalnya lebih dekat, Alhamdulillah Allah memberiku kesempatan mengenalnya lebih jauh. Pada suatu semester baru, aku ditempatkan satu kelompok dengan Nisa. Kelompok praktikum untuk matakuliah yang sangat susah dan membutuhkan banyak waktu dalam menyelesaikan laporan dan tugas. Akhirnya kami memutuskan untuk mengerjakan tiap hari tugas itu di rumah Nisa, yang kebetulan mempunyai referensi buku yang lumayan banyak. Jadilah aku tiap hari kerumahnya. Nisa gadis yang sangat bersih, rapi, dan teratur. Aku malu jika membandingkan kamarku dengan kamarnya, hehe.. aku berantakan, dan seenaknya meletakkan barang, tapi Nisa, dia bahkan melipat tiap kantong pelastik di rumahnya dan menyimpannya pada kardus kecil, sangat rapi.
Nisa mempunyai seorang kakak laki-laki, itu aku tahu ketika melihat foto keluarga pada bingkai kecil di kamarnya. Nisa tinggal berdua dirumah itu dengan kakaknya, sedangkan orangtuanya tinggal dikampung. Namun ketika ku tanyakan tentang kakaknya, dia terlihat murung, dia cuma mengatakan kalau kakaknya tidak begitu dekat dengannya. Akupun tak mau terlalu mendesaknya untuk bercerita, aku tak mau membuatnya tak nyaman.. Namun aku cukup terkejut ketika tak sengaja aku melihat belasan botol obat didalam lemarinya, ketika kutanyakan, dia cuma tersenyum dan mengatakan hanya vitamin biasa.
Aku dan Nisa semakin akrab sejak semester itu, dan sejak itu tak jarang dia curhat padaku. Tentang semuanya, tentang teman-temanya yang menganggapnya sombong, tentang keluarganya, tentang pacar-pacarnya, aku termasuk akhwat yang tak suka mendoktrin teman-temanku tentang larangan pacaran, kubiarkan mereka bercerita padaku tentang itu, lalu aku mengikuti tiap perkembangan hubungan mereka, sehingga akupun mendapat kepercayaan mereka, barulah ketika mereka mulai bermasalah dengan pacarnya atau mempertanyakannya pendapatku tentang pacaran, baru aku menyelipkan nasihat-nasihat tentang itu, sehingga obrolan yang pada dasarnya nasihat itu lebih berkesan diskusi atau curhat buat mereka dan aku tak sok menggurui, dan tak sedikit akhirnya temanku memutuskan pacarnya dengan trik seperti ini hehe.. tapi ini rahasia yah..
Hingga suatu hari, pada awal semester baru lagi, aku dan Nisa sepakat untuk memprogram matakuliah yang semester lalu belum kami ambil, jadinya kami berdua harus kuliah denga yunior. Kuliahpun kami pilih hari sabtu pagi sebelum kuliah bahasa arab, hari yang bebas parktikum untuk kelas kami. Nisa punya kebiasaan untuk janjian denganku pada malam sabtunya lewat sms, dia akan menanyakan apakah aku akan ikut kuliah besok? Jika tidak, diapun malas untuk datang… hemm kebiasaan buruk, tapi juga wajar, mana ada yang betah kuliah dengan yunior
Suatu pagi dihari sabtu, selepas kami kuliah, sambil menunggu dosen dan teman-teman yang belum datang, kuliah berikutnya yaitu bahasa arab, aku duduk berdua dengan Nisa di depan kelas. Ruang kuliah sangat sepi, hanya ada aku dan Nisa yang datang cepat karena ada kuliah pagi. Waktu itu langit sangat mendung, bahkan gelap, pertanda hujan deras akan segera mengguyur kota M siang itu. Ada yang berbeda dari Nisa yang biasanya ceria, pagi itu dia diam dan sedikit murung, matanya sembab sangat jelas dia baru saja menangis. Aku lalu bertanya padanya ada apa? Dia hanya diam, dan menggeleng, akupun mendesaknya untuk bercerita. Hingga akhirnya dia lalu menyingkap roknya dan memperlihatkan betisnya. Allah, aku terkejut, begitu banyak memar di betisnya, lalu dia memperlihatkan lengannya, kulit putihnya kini berhiaskan lebam-lebam biru kehijauan. Ada apa denganmu teman?
Dia lalu bercerita, kalau sejak kecil dia menderita Epilepsi (ayan), jika penyakitnya kumat, kepalanya seakan dialiri jutaan watt listrik, begitu sakit sehingga jika dia tak tahan sakitnya, diapun kejang-kejang tak sadarkan diri, dia baru saja tadi pagi kambuh di kamar mandi ketika sedang mencuci, beruntung kakaknya masih di rumah, sehingga dia segera tertolong.
Semua badannya lebam dan memar karena terbentur tembok dan barang-barang saat kejang-kejang. Dia bercerita sambil menangis, dia harus menelan puluhan tablet penenang tiap harinya, yang jika terlambat sedikit saja dia konsumsi, akan membuat penyakit epilepsinya kambuh. Selain itu, tekanan dan kecapaianpun dapat menyebabkannya kumat. Dia malu jika penyakitnya kambuh ditengah banyak orang, bagaimana jika auratnya terbuka ketika dia tak sadarkan diri ketika kejang, dan itu telah sering terjadi. Dia lelah, kadang dia mempertanyakan kepada Allah, kenapa mesti dia yang mengalaminya, dia punya banyak cita-cita, ingin mempunyai apotek, ingin bekerja di Balai POM, dia ingin segera menikah dan punya anak. Namun ketika ia menyadari Epilepsi yang dideritanya dapat merenggut nyawanya kapan saja, dia lalu menangis dan sangat sedih.
Lalu kembali pertanyaan itu hadir, kenapa harus dia? Kenapa bukan orang-orang yang selama hidupnya hanya berbuat sia-sia dengan maksiat? Kenapa bukan orang yang tak menghargai hidupnya yang selalu ingin bunuh diri hanya dengan masalah picisan? Aku ingin lebih baik, masih banyak hal yang ingin aku capai.
Dia mengatakan padaku satu hal yang tak akan pernah kulupakan. “Aztri, kamu tahu? Kenapa selama ini begitu masuk azan, aku akan bergegas shalat, karena aku takut, jika aku menunda shalatku,lalu kemudian ternyata Allah membuat penyakitku kumat, dan lalu aku mati sebelum menunaikan shalat. Penyakitku bisa kambuh kapan saja, itu berarti aku dapat diambilNya kapan saja” katanya dengan isak tangis.
Sungguh, pemikiran yang sederhana, namun mampu menghempaskanku ke titik nol. Aku yang begitu paham makna takdir dan ajal, namun tak pernah memikirkan dengan begitu nyata. Aku kadang berfikir Ajalku masih sangat jauh, bahkan kadang tanpa aku sadari aku merasa hanya orang lain yang akan mengalami kematian. Bukan, bukannya aku tak percaya ajal, tapi ada kalanya kita begitu tenggelam dengan dunia sehingga kemudian melupakan tamu yang dapat datang kapan saja itu.. ajal… kematian..
Lalu Nisa pun mengatakan padaku, “Aztri, aku takut mati, aku takut tak mampu mempertanggung jawabkan perbuatanku selama hidup ini. Apa yang harus kukatakan pada Allah nanti. Aku mau mati dalam keadaan terbaikku, tapi bagaimana jika penyakitku kumat di kamar mandi, seperti tadi pagi? Aku tak mau mati di kamar mandi, tempat yang kotor, bagaimana jika aku dalam keadaan aurat yang terbuka, aku malu menemui Allah dengan keadaan seperti itu. Bagaimana jika Allah mengambilku ketika aku serangan dan aku tak mampu menyebut namanya karena dalam keadaan tak sadar? Aku tak mampu menahan air mataku, akupun ikut menangis. Baru kali itu aku merasa kematian begitu dekatnya. Tanpa sadar dalam hati aku berdoa “Ya Rabb, penguasa Alam semesta, berilah akhir yang baik pada kami..”
Sejak itu aku semakin dekat dengan Nisa, dia pun mulai mengikuti tarbiyah, dia mulai memanjangkan jilbabnya, yang tadinya dia lilit, kini dia mulai menutupkan ke dadanya. Kemana-mana aku bersamanya. Teman-temanpun heran melihatnya, bagaimana mungkin aku bisa tiba-tiba akrab dengannya.
Pada suatu sabtu pagi, aku ke kampus seperti biasa, hari ini ada kuliah dengan Nisa, namun yang aku herankan, sejak semalam aku menunggu sms Nisa, tapi tak ada satupun, akupun meng smsnya apa dia mau kuliah atau tidak, namun smsku pun tak dibalas sejak subuh. Aku pikir mungkin pulsanya habis. Sesampaiku di kampus, aku baru tahu kalu sabtu itu ada wisuda, jadi semua kegiatan perkuliahan di tiadakan. Aku mencari Nisa ke mana-mana, dari kelas ke kelas, ku tanya pada teman-teman apa ada yang melihatnya. Namun tak satupun yang melihatnya pagi itu. Aku lalu berfikir mungkin dia sudah tahu hari ini kuliah diliburkan maka dia tak datang kekampus. Aku pun pulang tanpa memikirkannya lagi.
Namun pada pukul 10 malam. tepatnya malam ahad, ketika aku sedang berkumpul dengan keluargaku, tiba-tiba telpon pun bordering, aku mengangkatnya tanpa prasangka apa-apa. Namunternyata yang menelpon adalah temen kuliahku, dia memberitakan berita yang seketika mampu melemaskan semua persendianku.. Nisa meninggal dunia, entah jam berapa, namun mayatnya baru ditemukan tadi jam 09.00 malam dalam keadaan kaku dan membiru, tertelungkup di kamarnya. Seolah aku tak berpijak di bumi, langit di atasku seolah runtuh.
Selanjutnya aku langsung menuju kerumahnya ku tahan air mataku seolah ini hanyaberita bohong, aku masih berharap menemukan Nisa di rumahnya dan menyambutku di depan pintu dengan senyuman seperti biasa. Namun sesampaiku disana, lorong ke rumahnya telah penuh dengan kerumunan warga setempat, raungan serine ambulans sejak tadi terdengar. Kusingkap kerumunan, orang-orang yang mengenalku dekat dengan Nisa segera memberiku jalan, bergegas ku ke ambulansnya, dan kutemukan sosok yang sangat kusayangi, sahabatku Nisa dalam balutan selimut, tubuhnya kaku dengan posisi tak biasa, wajahnyatelah membiru dan bengkak. Allah, apa yang dia khawatirkan terjadi. Nisa sahabatku, ada apa denganmu? Kenapa jadi begini?
Badanku tiba-tiba limbung di depan pintu ambulans, sebuah tangan menangkapku sambil membisikkan istigfar ke telingaku, ternyata dia salah seorang akhwat temanku dikampus. Dibimbingnya aku ke kamar Nisa, ku dapati kamarnya berantakan tak rapi seperti biasa, kertas berhamburan dimana-mana, obat-obatnya berserakan dimana-mana. Salah seorang temanku menceritakan padaku. Nisa baru ditemukan kakaknya tadi ketika dia pulang pukul 09.00 malam, tak ada yang tahu pukul berapa Nisa meninggal namun jika melihat kondisi kamarnya, dimana lampu yang masih menyala dan tirai yang masih tertutup, kemungkinan dia meninggal kemarin malam, hari itu dia sendiri di rumah, tak ada yang menemaninya. Barulah ketika kakaknya pulang pukul 09.00 malam dia menelpon dan HPnya berbunyi di kamarnya, tapi Nisa tak mengangkatnya. Dan di temukan Nisa telah kaku dan membiru..
Allah… bagaimana mungkin secepat ini, sempatkah ia menyebut namaMu? Betapa sakitnya sakaratul maut yang ia rasakan, dan dia menghadapinya sendiri, Rabb adakah namaMu dia ucapkan? Baru saja kurasa mengenalnya, baru saja dia mengatakan ingin mengenal islam lebih jauh, beru kemarin ku rasa dia mengatakan ingin menggunakan jilbab lebar sepertiku. Masih dapat ku ingat dengan jelas ketika aku bermain ke rumahnya, dia minta aku meminjamkan jilbab hitam lebar yang aku gunakan saat itu sebentar saja.
Dia memakainya berdiri di depan cermin dengan senyuman yang sangat manis, Nisa begitu cantik dengan jilbab lebar yang aku pinjamkan padanya. Lalu dia memperagakan wajah malu-malu katanya jika ada ikhwan yang mengkhitbahnya, dia akan mengangguk malu seperti ini. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat itu, namun sekarang ketika mengingatnya malah yang kurasakan perih yang amat sangat, di sini, di hatiku..
Teman membisikkan kalau ambulans yang mengantar jenazah menuju ke kampung halamanya akan segera berangkat, Nisa akan dikebumikan di kampungnya, kami pun berkumpul di sekitar ambulans mengantar kepergian Nisa. Melihatnya untuk terakhir kalinya. Serine segera menggelgar, memecah keheningan malam saat itu. Ambulans yang berisi jasad Nisa telah pergi, Nisa tak ada lagi, namun di sini di hati ini dia tetap ada. Semangat hidupnya menjadi kekuatanku, Nisa sahabatku yang cantik, selamat jalan. Sampaikan salamku pada Rabb kita, Aku yakin niatmu yang tulus telah terukir dengan indah di buku amalanmu. Tersenyumlah kawan, kau begitu cantik dengan senyummu.
Tunggu aku, akupun pasti akan menyusulmu, di sana di JannahNya.. pergilah..
Kulepas kau dengan ikhlas.. Dengan Senyum..
jalan yg panjang nanar kau tatap
tak lagi peduli semua yg terjadi
smakin dalam larut angan mu melayang
mimpimu hadirkan semua penantian
dengan apa aja kau bernyanyi
akhirnya kau pun pergi… tak kembali
tiap haru kuhanya sanggup mengingat
jelas bayangmu yg masih melekat
dalam kecewa ku hanya mampu katakan
tetaplah tersenyum karena itu jalan
yang kau telah kau pilih……
terbanglah……terbanglah…..bersama pelangi
banyak sudah kisah yg tertinggal
kau buat jadi satu kenangan
seorang sahabat pergi tanpa tangis arungi mimpi
slamat jalan kawan cepatlah berlalu
mimpi mu kini tlah kau dapati
tak ada lagi seorang pun yang menggangu kau bernyanyi
slamat jalan kawan cepatlah berlalu
mimpi mu kini tlah kau dapati
tak ada lagi seorang pun yg mengganggu kau bernyayi..

Aku Ingin Menjadi Istrimu

“Aku ingin menjadi istrimu”, pintaku pelan. Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
 
  Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
 
  “Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang”. Mama seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik. Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
 
  Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor. Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti. Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
 
  “Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja abang mau. Tak usah sungkan”. Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus. “Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu”. Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orang tua ku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang ku kelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak penah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh
dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.          
 
  “Aku ingin menjadi istrimu, Bang”. Bisikku lagi.
 
  Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian. “Pagi-pagi begini sudah buka?”, aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya. “Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?”. Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi?. Biarlah yang penting aku bisa membanggakan Bandi. Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah pengamatan yang sedetail itu, sungguh memalukan! Pikirku terlambat. Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak
karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya. “Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang–” Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
 
  Wajahnya yang semangat. Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya. Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya. Bandi tak menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul. Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu. “Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?” Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
 
  Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku. “Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan”. Aku tidak sedikitpun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? Pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku. Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi. Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari papa. Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua. Tapi selali saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis. Cuma Bandi, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus,
bahkan dalam kesederhanaannya. Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu. “Aku ingin menjadi istrimu”. Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas. Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
 
  “Cinta”,
Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan. “Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta–
 
  Ia mendesah. Pandangan nya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu. Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet. “Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya”. Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya. Tapi tangan itu terlalu sopan, tak pernah menjamahku.
 
  “Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan”.
 
  Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu. Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta itu menghormati? “Bang, aku ingin menjadi istrimu”, bisikanku mulai bercampur isak. Ah, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling mencintai harusnya saling memahami, hanya dengan memandang? Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang. “Kak Nia, maafkan Ita”. Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari menumpahkan tangis dalam diam di bantalku. Lalu Riza, Nina dan terakhir– “Kak, Linda minta maaf”. Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini. Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah mama dan
papa letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung. Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan mama dan papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya– bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
 
  Bandi tak berubah sedikitpun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian. Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya pergi ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku. Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah? Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu. “Bang, aku ingin menjadi istrimu”, kataku pelan dengan air mata meleleh. Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku– lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
 
  “Bikin kue apa lagi sepagi ini, Nia?”. Aku tak menjawab pertanyaan mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat. Kakiku bergegas ke pintu depan. Ditanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda. Bersyukurlah dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki. Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan. Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan subuh menggema, aku tak pernah melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya. Perasaan panik serta merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu. Tapi, kecuali aku, sepertinya
tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.
 
  Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasipun yang bisa ku telan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku. Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! Batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku infomasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku? Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan! Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua! Mama dan Papa serta
adik-adik kutentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan untuk melakukan apapun.
 
  Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul. Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan ia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi. Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan. Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang ku punya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin. Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak mengerti sosok istimewa yang ku nanti. Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus
selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstick kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti.
 
  Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia juga pasti rindu dengan kue-kue ku. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Bandi? Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba, dan Bandi mungkin akan pulang? Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggui Bandi di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yang menggigil dengan selimut. Tapi aku tetap menunggu. Mungkin Bandi akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa tahun depan. Hmmm–, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang lebaran tahun depan, pasti! Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti harapan kedua orang tua ku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang akan menungguku sampai Bandi pulang nanti. Membuat kue-kue
kesukaan lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya. Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Bandi pulang. Aku ingin rapi, ingin cantik.
 
  Sedikitpun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski terdengar kabar Bandi telah menikah, atau Bandi sudah betah di luar negeri dan tak akan kembali, aku tak pernah percaya. Suatu hari Bandi akan pulang dan memenuhi permintaanku untk menjadi istrinya. Seperti yang selama ini selalu ku bisikkan dalam hatiku menjelang tidur. “Bang, aku ingin menjadi istrimu”. Dan aku tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku. Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis cinta.
 
   *Karya Asma Nadia*

Anak Kambing dan Serigala

Seekor anak kambing yang sangat lincah telah ditinggalkan oleh penggembalanya di atas atap jerami kandang untuk menghindari anak kambing itu dari bahaya. Anak kambing itu mencari rumput di pinggir atap, dan saat itu dia melihat seekor serigala dan memandang serigala itu dengan raut muka yang penuh dengan ejekan dan dengan perasaan yang penuh kemenangan, dia mulai mengejek serigala tersebut, walaupun pada saat itu dia tidak ingin mengejek sang Serigala, tetapi karena dia merasa serigala tersebut tidak akan dapat naik ke atas atap dan menangkapnya, timbullah keberaniannya untuk mengejek.

Serigala itupun menatap anak kambing itu dari bawah, "Saya mendengarmu," kata sang Serigala, "dan saya tidak mendendam pada apa yang kamu katakan atau kamu lakukan ketika kamu diatas sana, karena itu adalah atap yang berbicara dan bukan kamu."

Janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu secara terus menerus

Kebakaran, Masjid PP Hidayatullah Karang Bugis Ludes Dilalap Api



Hidayatullah.com—Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, kabar menyedihkan datang dari Kalimantan Timur. Masjid Al Amin, yang berlokasi di komplek Pesantren Hidayatullah Karang Bugis, Balikpapan, Selasa (14/8/2012), jam 11.00 WITA habis dilalap si jago merah.

Api yang bermula dari asrama santri itu kemudian menjilat bangunan masjid yang jaraknya hanya beberapa meter. Karena hampir semua bangunan terbuat dari kayu, sambaran api itu dengan cepat melalap kubah masjid bersejarah ini.

“Kan anginnya kencang itu di Karang Bagus, apinya sangat  nyarak (berkobar.red),” ujar salah seorang saksi mata, Abdul Hajar kepada hidayatullah.com.

Menurut Hajar, api bermula dari sebuah asrama santri di samping Masjid Al-Amin milik pesantren. Lalu, katanya, api menjalar ke masjid dan merambat hingga menghanguskan beberapa bangunan di sekitarnya. Setidaknya, tiga bangunan ludes dilalap api.

“Dengan cepat api melalap kubah. Semuanya habis,” ujar Fathun Qorib, sebagaimana dihubungi hidayatullah.com.

Menurut Fathun, saat kebakaran, di areal masjid ada beberapa orang sedang i’tikaf, termasuk dirinya. Namun semuanya bisa selamat.

“Kalau bangunannya sih sudah tak tersisa. Kedatangan mobil pemadam cuma memadamkan sisa api saja,” tambahnya.

Hanya saja yang cukup menyedihkan, menurut Fathun, saat kejadian, semua santri sedang sibuk keluar untuk mengumpulkan zakat dari umat. Sementara, sampai hari ini mereka belum tahu jika semua barang-barangnya sudah ludes dilalap api.

“Ya, mereka pada belum tahu karena sedang dakwah di luar, “ tambahnya.

Fathun mengakui, masjid al-Amin termasuk masjid lama yang semua bangunanya terbuat dari kayu.

Data sementara belum ada korban jiwa. Hanya 1 santri yang di duga tertidur dalam mess sudah di temukan dalam keadaan sehat wal afiat. Saat ini lima mobil pemadam kebakaran sudah datang ke lolasi, tambah Hajar.*

Rep: Muh. Abdus Syakur

Editor: Cholis Akbar

Lima Juta Warga Indonesia Kecanduan Narkoba

Hidayatullah.com–Hingga menjelang pertengahan April 2015, eksekusi dua terpidana mati kasus narkoba ‘Bali Nine’ Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tidak kunjung dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Padahal permohonan grasi yang diajukan kedua terpidana mati yang merupakan warga negara Australia itu sudah ditolak oleh Presiden Joko Widodo.

Hal ini membuat keprihatinan banyak pihak. Anwar Abbas, Ketua Komite Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan ditunda-tundanya eksekusi mati ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Menurut Anwar, penundaan ini kedepannya dapat membuat para para pengedar narkoba tidak kapok meyeludupkan barang haram itu ke Indonesia.

“Pilih mana, kita selamatkan terpidana mati yang hanya beberapa orang atau pilih orang banyak, masyarakat Indonesia? Tentunya pemerintah harus pilih orang banyak. Rakyat Indonesia pasti akan mendukung pemerintah, meski eksekusi ini ditolak oleh Australia,” kata Anwar kepada hidayatullah.com melalui sambungan telepon baru-baru ini.

Berdasarkan data Ganas Annar MUI, saat ini setidaknya ada 5 juta jiwa orang Indonesia yang kecanduan narkoba. Dari lima juta itu, satu juta jiwa sudah tidak bisa direhabilitasi.

“Jumlah korban narkoba ini kan lebih dahsyat dari korban bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Jumlah korban narkoba di Indonesia naik dari tahun ke tahun,” tegas Anwar.

Anwar melanjutkan, bagi korban narkoba yang tidak bisa direhabilitasi maka mereka tidak bisa produktif lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika demikian, mereka ini menjadi beban keluarga maupun negara.*

Minggu, 12 April 2015

100 Da’i Se-Asia Tenggara Dukung Langkah Negara Teluk Hadapi Kelompok Al-Hautsi

Hidayatullah.com- Ketua Umum Ikatan Ulama dan Duat Asia Tenggara (Rabithah Ulama wa Du’at Janub Syarqi Asia) Ustad Muhammad Zaitun Rasmin mengatakan ada sebuah pernyataan sikap dari para Da’i se-Asia Tenggara dimana mereka mendukung operasi serangan yang dilakukan Koalisi Negara Teluk kepada kelompok pemberontak Syiah al-Hautsi (Syiah Al-Houthi) di Yaman.

“Alhamdulillah, pernyataan itu didukung oleh para Da’i Asia Tenggara yang terdiri dari 100 orang yang telah melakukan conform dan reses dengan kami untuk menyatakan dukungannya terhadap operasi serangan yang dilakukan oleh Saudi bersama negara-negara teluk kepada kelompok al-Hautsi,” kata Ustad Zaitun dalam konferensi pers di kediamannya, di Jalan Tengku Umar Jakarta, Sabtu (11/04/2015) pagi.

Dengan adanya operasi serangan tersebut, kata Ustad Zaitun, diharapkan kondisi stabilitas keamanan di Yaman bisa dipulihkan dari gejolak yang disebabkan oleh kelompok pemberontak al-Hautsi, serta juga supaya pemerintahan konstitusional di Yaman dapat segara dikembalikan.

“Pernyataan dukungan tersebut dikeluarkan setelah melihat kondisi Yaman yang sangat mengkhawatirkan bagi kami, yaitu ibukota Sana’a dan 2 kota suci Makkah dan Madinah,” ungkap Ustad Zaitun.

Selain itu, Zaitun juga menyampaikan bahwa sebetulnya kelompok al-Hautsi sudah pernah diajak untuk melakukan perdamaian, tetapi justru mereka malah melancarkan serangan di wilayah perbatasan antara Saudi dengan Yaman.

“Hal itu, tentu tidak bisa dianggap remeh. Terlebih lagi, pada tahun 2011 banyak mahasiswa Indonesia dan Asia Tenggara yag terbunuh di tangan milisi kelompok al-Hautsi itu. Padahal para mahasiswa tersebut tidak melakukan apa-apa kecuali hanya belajar di Yaman,” tegas Ustad Zaitun. [Baca: Nama 2 WNI Korban Pemberontak Syi’ah Yaman]

Untuk itu, Ustad Zaitun berharap, baik kepada pemerintah Indonesia maupun negara-negara ASEAN agar segera cepat menyelesaikan permasalah itu. Sebab, jika persoalan itu tak kunjung selesai maka perjalanan umroh dan haji akan bisa terganggu serta mudah menyebarluasnya gerakan-gerakan terorisme yang sangat menyukai wilayah-wilayah yang sedang mengalami gejolak atau konflik.*

Syeikh Khalifah Danai Pernikahan Kolosal 400 Pengantin di Jalur Gaza

Hidayatullah.com—Uni Emirat Arab (UEA)  membantu mendanai sekitar 400 mempelai menjalankan pernikahan pada hari Sabtu (11/04/2015) kemarin di Jalur Gaza.

Rombongan besar 400 mempelai pengantin tersebut memenuhi jalan-jalan Gaza yang dikawal oleh polisi Palestina hingga mereka tiba di Hall Shalihet Gaza barat, tempat acara besar ini, demikian dikutip PIC.

Kendaraan yang membawa pengantin laki-laki dengan setelan jaz hitam dan shal Palestina serta gambar raja Emirat Syeikh bin Khalifah ke tempat perhelatan itu juga terlihat mengibatkan bendera Palestina dan Emirat.

Sementara mempelai pengantian perempuan mengenakan pakaian khas petani Palestina.

Meski sempat turun hujan dengan deras, pengantin massal itu melanjutkan perhelatan ini. Masing-masing pengantin menerbangkan satu pasang burung dara sebagai bentuk ilustrasi perdamaian dan kebebasan.

Penyelenggar penikahan massal ini menyampaikan rasa terimakasih kepada negara Emirat yang mendanai perhelatan pernikahan massal ini.

Di depan gerbang tempat acara terlihat tulisan besar “Gaza Berbahagia, Terimakasih Emirat” dengan gambar kepala negara Emirat Syeikh Khalifah bin Zayed dan orangtuanya yang sudah mendiang Syeikh Zayid.

Sementara itu, laman media Emirat, thenational.ae melaporkan, pernikahan ini didanai oleh Khalifa bin Zayed Al Nahyan Foundation guna  membantu masyarakat kurang mampu, korban perang dan mereka yang rumahnya hancur oleh penjajah zionis-israel baru-baru ini di Gaza
Rombongan besar 400 mempelai pengantin tersebut memenuhi jalan-jalan Gaza yang dikawal oleh polisi Palestina hingga mereka tiba di Hall Shalihet Gaza barat, tempat acara besar ini (shahab.com)





Panitia pernikahan ini mengatakan masing-masing mempelai pria akan menerima US $ 4.000 untuk membantu mereka membangun keluarga baru.

“Perayaan akan melihat kejutan dan program yang akan membuat warga Gaza senang karena Gaza layak lebih banyak kebahagiaan, kebebasan dan perdamaian,” kata panitia dikutip thenational.ae.

Bulan Januari lalu,  guna mengentas kemiskinan dan membantu rakyat miskin, Syeikh Khalifah bin Zais Al Nahayan mengeluarkan perintah untuk melunasi hutang warganya yang terlilit hutang.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Emirat membebaskan hutang warganya sekitar 6.830 orang dengan menghabiskan dana 2 milyar dirham Emirat (setara dengan 4,8 triliun rupiah), untuk menutup semua hutang warganya,  demikian dikutip WAM.*


Syabab dan Peradaban Islam

DI ANTARA sejumlah organisasi pemuda Islam di Tanah Air, Syabab Hidayatullah adalah yang termuda. Namun, bukan berarti organisasi ini tak memiliki kekuatan politik sama sekali.

Syabab Hidayatullah, sebagai organisasi otonom, telah menempatkan kader–kadernya di seluruh Nusantara, mulai dari Sabang hingga ke Merauke. Jumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) ada 172 buah. Bahkan, ada juga di Timor Leste.

Syabab Hidayatullah adalah wadah generasi pelanjut misi organisasi massa Hidayatullah, yaitu memperjuangkan tegaknya peradaban Islam.

Organisasi ini bukanlah underbouw dari partai politik, meski para anggotanya diperkenankan untuk memilih partai yang relevan dengan visi organisasi induknya.

Kebijakan politik Syabab Hidayatullah sejalan dengan kebijakan politik organisasi induknya, yaitu menjaga integrasi bangsa yang saat ini terancam mengalami disintegrasi.

Hidayatullah yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya Islam yang dapat menyatukan pulau-pulau di Nusantara yang terserak dari Sabang hingga Merauke. Hal ini sudah teruji oleh sejarah.

Itulah sebabnya wawasan teritorial keindonesiaan menjadi salah satu doktrin bagi kader Syabab Hidayatullah. Sebab, lahan dakwah paling subur untuk menanam benih akidah Islamiyah adalah masyarakat Indonesia. Sehingga, sifat akomodatif yang non-partisan menjadi arus utama Syabab dan organisasi massa Hidayatullah saat ini.

Atas dasar itu, aktivitas utama kader Syabab Hidayatullah diarahkan pada upaya menggalakkan pendidikan dan dakwah. Pendidikan diutamakan dalam rangka mencetak kader–kader bangsa yang berkualitas secara spiritual dan intelektual. Sedang dakwah dihidupkan sebagai upaya merekrut massa sebanyak mungkin untuk menjadi basis dan pendukung eksistensi Hidayatullah sebagai organisasi massa.

Musyawarah Nasional Pertama Syabab Hidayatullah telah memfokuskan diri pada upaya revitalisasi spirit gerakan membangun militansi dan progresivitas kader. Ini didasari oleh pemikiran bahwa bangsa Indonesia akan porak poranda jika tidak ada pemuda yang mengisi kemerdekaan dengan karya nyata di tengah masyarakat. Dan, priotitas utama revitalisasi spirit gerakan ini adalah peningkatan pemahaman agama melalui belajar dan mengamalkan al-Qur’an, wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).

Semangat belajar itu hendaklah tidak pudar meski kini tudingan miring sedang diarahkan kepada kalangan aktivis Islam. Ini terkait fitnah dan konspirasi pihak tertentu dengan dukungan bangsa-bangsa Barat untuk memojokkan Islam.

Tudingan dan fitnah itu perlu dijawab dengan aksi nyata. Jangan takut menunjukkan identitas Islam dan cara hidup islami. Justru sebaliknya, kita perlu menggencarkan gerakan memakmurkan masjid, mengkaji al-Qur’an, sambil membuktikan bahwa mereka yang aktif di masjid adalah orang-orang yang selalu siap membantu lingkungannya dengan penuh kasih sayang.

Upaya-upaya merusak citra Islam melalui fitnah dan tudingan-tudingan tidak akan mempan manakala kaum Muslim tetap istiqamah menghidupkan budaya islami dimanapun mereka berada.

Kini, Syabab Hidayatullah diharapkan bisa mengambil posisi terdepan dalam menyukseskan Gerakan Nasional Mengajar-Belajar al-Qur`an (Gran MBA). Gerakan ini menjadi andalan bagi organisasi massa Hidayatullah untuk membangun peradaban Islam.

Melalui gerakan ini akan tertanam jiwa Qur`ani di hati masyarakat sebagai dasar membangun bangsa di masa depan, sekaligus salah satu amal yang diperintahkan junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).

Selanjutnya, mari kita bangun tekad bersama untuk mencerdaskan bangsa melalui dakwah. Jangan merasa ragu untuk berkorban apa saja demi tegaknya Islam di bumi Allah SWT ini. Wallahu a’lam.*

Hidayatullah Depok Tuan Rumah Upgrading Daiyah se-Nusantara

TANTANGAN dakwah sungguh sangat kompleks dan meliputi semua sisi kehidupan, tidak terkecuali kaum hawa. Masih banyaknya kaum hawa di negeri ini yang belum tersentuh dakwah secara optimal membutuhkan insan-insan tangguh yang terpanggil hatinya menekuni dakwah demi tercerahkannya kaum Muslimah di negeri ini.

Menyadari hal tersebut, BMH bersama Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah (PP Mushida) bersinergis menyelenggarakan Upgrading Daiyah Nusantara yang dilaksanakan di Pesantren Hidayatullah Depok, 2-5 April 2015. Sejumlah 100 daiyah dari berbagai penjuru negeri hadir mengikuti kegiatan tersebut.

Reni Susilowati, MPd.I selaku Ketua Umum Mushida mengatakan bahwa upgrading tersebut dimaksudkan untuk memberikan wawasan keilmuan, dorongan dan skill dakwah yang diperlukan kaum hawa, terutama di daerah terpencil dan pedalaman.

“Kegiatan ini dimaksudkan agar para daiyah lebih mantab secara keilmuan, bertambah juga tsaqafah Islamiyahnya, kemudian juga semakin semangat dalam dakwah dengan skill dakwah yang dipraktikan selama kegiatan berlangsung,” urainya.

Sementara itu,  Dewi Maslikha daiyah asal Kediri Jawa Timur yang bertugas di Kupang Nusa Tenggara Timur mengatakan bahwa upgrading tersebut memberikan wawasan keilmuan yang banyak sekaligus memotivasi dirinya untuk lebih semangat dalam berdakwah.

“Acara ini benar-benar manfaat, kalau bisa diibaratkan ya seperti dapat tranfusi darah baru begitu, sehingga benar-benar memicu dan memacu spirit saya dan peserta lainnya dalam menjalankan amanah dakwah,” tuturnya antusias.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Humas BMH Pusat Imam Nawawi mengatakan bahwa sinergis BMH bersama Mushida telah berlangsung lama dan senantiasa fokus untuk meningkatkan mutu daiyah yang dibinia bersama guna terwujudnya nuansa dakwah yang persuasif dengan spirit kaffatan linnas dan rahmatan lil’alamin.

“Kegiatan ini merupakan bentuk kesekian dari sinergis BMH dengan Mushida yang telah berlangsung sekian lama. Harapannya satu bahwa daiyah semakin cerdas, adaptif, dan santun dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Jangan sampai radikal dan senantiasa mengutamakan spirit kaffatan linnas dan rahmatan lil’alamin,” paparnya.

Panitia acara, Halimah, mengatakan kegiatan ini berlangsung sukses meski tetap terdapat kekurangan. Karenanya, pihaknya menyampaikan permohonan maaf apabila sekiranya ditemukan ketidaksempurnaan baik mulai dari penyambutan peserta, akomodasi, hingga acara usai.

Kegiatan ini, kata Halimah, akan terus diselenggarakan untuk menyiapkan sumber daya manusia di organisasi Muslimat Hidayatullah yang semakin dinamis.

“Tidak saja mengembangkan aspek kompetensi muslimah, kegiatan ini juga dalam rangka mendorong keterlibatan muslimah dalam mewujudkan peragaan Islam yang holisitik baik di dalam kehidupan sosial lebih-lebih dalam kehidupan rumah tangga,” pungkasnya. (her/cha)

Inilah Gunung Pelangi Di China yang Diceritakan Al-Quran


Hidayatullah.com—Beberapa minggu ini  penduduk dunia virtual (netizen) heboh dengan fenomena gunung pelangi dan warna-warni  (rainbow mountain). Semula, kabar adanya gunung pelagi itu hanya hoax. Namun belakangan, fenomena itu makin terungkap setelah berbagai tulisan dan video amatir menambahi fakta baru.

Adalah Danaxia Landform fenomana lanskap yang ditemukan di sebelah tenggara dan barat daya China,  terdiri dari tebing-tebing lengkung warna-warni. Tepatnya berada di Kota  Zhangye, di Provinsi Gansu, China.

The Zhangye Danxia Geological Park Nasional (China: 张掖 丹霞 国家 地质 公园),  ini mencakup area seluas 510 kilometer persegi (200 sq mi). Sebelumnya taman provinsi dan daerah pemandangan, itu menjadi geopark nasional pada November 2011.
Gunung pelangi ini dinilai sangat menakjubkan karena bukit dan lembahnya terdiri dari lapisan warna merah, biru, hijau zamrud, coklat, dan kuning. Menariknya, di tempat itu tak ditemukan tumbuhan atau hewan apapun karena kondisi tanahnya yang tandus.

Menurut Telegraph, warna-warni menakjubkan perbukitan tersebut berasal dari batuan pasir merah dan mineral yang terbentuk sejak periode Kapur, tepatnya 24 juta tahun lalu.

Formasi batuan tersebut kemudian mengalami pergeseran lempeng tektonik yang juga membentuk pegunungan Himalaya. Hujan dan angin yang menerpa daerah itu selama jutaan tahun juga ikut andil dalam membentuk ceruk, lembah, dan pola warna Zhangye Danxia. Konon gunung ini akan menampilkan pola warna yang berbeda-beda, tergantung kondisi cuaca.

Daerah ini dengan cepat menjadi objek wisata yang populer bagi kota  Zhangye. Sejumlah trotoar dan jalan telah dibangun guna mendorong pengunjung menjelajahi formasi batuan yang menakjubkan, utamanya setelah  UNESCO telah menetapkannya  dalam Daftar Warisan Dunia pada pertemuan ke-34 yang diadakan di Brasilia, ibu kota Brasil, pada tanggal 1 Agustus 2010.

Saat pertama kali Danaxia Landform diketahui khalayak melalui foto-foto yang beredar di dunia maya, banyak yang menganggap pola pelanginya merupakan hasil rekayasa komputer.

Apalagi belakangan banyak orang merilis video amatir saat usai mengunjungi  Danxia Landform, kini, tempat ini menjadi salah satu objek wisata paling dicari di China yang menghasilkan pendapatan cukup tinggi bagi penduduk Zhangye.
he Zhangye Danxia landform juga dikenal sebagai eye candy dari Zhangye. Banyak seniman mengagumi karya ini laksana lukisan sempurna di atas kanvas.

Yang tak kalah menakjubkan, belakangan fenomena ini dikaitkan dengan salah satu surat dalam Al-Quran, tepatnya dalam Surat Al Fathir [35] ayat 27 di mana Allah Subhanahu Wata’ala telah lama mengungkap rahasia adanya gunung yang berwarna-warni.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفاً أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” [QS: Al Fathir [35]: 27]

Al-Quran telah menjelaskan fenomena alam tersebut 14 abad yang lalu, bahhkan sebelum para Sahabat Rasulullah datang dan berdakwah ke China.

Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah salah satu bukti terpenting yang memungkinkan kita mengetahui keberadaan Allah.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilaat  [41]: 53).

Semoga informasi yang ada dalam Al-Quran semakin menambah keyakinan kita  akan kebenaran Al-Quran.*

Video amatir The Zhangye Danxia Geological Park Nasional atau Gunung Pelangi di Provinsi Gansu, China

Rep: Panji Islam

Editor: Cholis Akbar


Jumat, 10 April 2015

10 TEMPAT GRATIS TERBAIK UNTUK MEMBUAT WEBSITE




 Jika Wordpress dan Blogger adalah tempat terbaik untuk membuat blog, kali ini saya akan bahas 10 Tempat Gratis Terbaik Untuk Membuat Website atau bahasa kerennya Website Builders.

Website builders adalah alat yang memungkinkan pengguna internet untuk membangun website tertentu tanpa mengedit kode secara manual-. Mereka biasanya dibedakan menjadi dua kategori yaitu alat produk online gratis yang disediakan oleh perusahaan web hosting, khusus ditujukan bagi pengguna untuk membangun situs pribadi mereka, dan perangkat lunak yang berjalan pada komputer, membuat halaman offline  dan yang kemudian dapat dipublikasikan host apapun .

Online Website builders biasanya mengharuskan pengguna untuk mendaftar di perusahaan web hosting. Berbagai layanan sangat bervariasi diantaranya dasar membuat website pribadi atau widget untuk membuat e-commerce website. Situs-situs tersebut biasanya baik berdasarkan template atau pada platform yang lebih fleksibel yang benar-benar di desain untuk gratisan.

Di bawah ini adalah 10 tempat-tempat di mana Anda bisa membuat website online gratis :

Kamis, 09 April 2015

sekarang saatnya berupaya menggapai lapis-lapis keberkahan





Add caption
Setelah berhasil memaknai lapis-lapis keberkahan pada pembahasan sebelumnya, sekarang saatnya berupaya menggapai lapis-lapis keberkahan tersebut.

Ustad Tulus Musthofa mendeskripsikan langkah beliau dalam menggapainya dalam dua langkah. Langkah pertama adalah dengan melihat kembali kualitas ketaatan diri pada Rabb. Jika kualitas diri ini rendah maka akan sangat sedikit sekali kemampuan seorang hamba dalam menangkap poin-poin keberkahan yang Dia beri. Sekecil apa pun itu… Lain halnya ketika ketaatan kita dalam posisi meningkat, bukankah kita akan dapat dengan mudah memaknai sesuatu itu bernilai berkah?

images

Langkah kedua adalah dengan menggunakan penilaian standar keberkahan. Setiap kali kita ingin melakukan sesuatu, tanyakan dalam diri kita sendiri “apakah yang saya lakukan ini bernilai berkah atau tidak?”. “Apakah yang saya lakukan ini membawa kebaikan di dunia dan akhirat?”, “apakah saya riya’?”.

images (2)

Terkadang karena terbatasnya diri, kita selalu mengira bahwa keberkahan itu datangnya hanya pada hal-hal yang menyenangkan saja. Padahal, Ustad Syatori berhasil memaknai bahwa dalam nilai dosa pun ada keberkahan. Ingat kisah sahabat Ali bin Abi Thalib yang tidak sengaja memandang seorang wanita sampai Rasulullaah memalingkan wajahnya? Ya, itu adalah salah satu bentuk keberkahan yang tidak dilakukan dengan sengaja.

Hikmah lain yang beliau sampaikan adalah tatkala seseorang yang berlumur dosa karena maksiatnya, namun dia bertaubat. Kualitas hidupnya makin bertambah baik seiring dengan tiap air mata yang jatuh mengingat dosa yang pernah dilakukan. Disinilah keberkahan Allaah. Kenikmatan merasakan kemesraan bersama pencipta tata surya dengan seluruh isinya.

images (1)

Barokah memang tidak memandang menyenangkan tidaknya hal tersebut. Kuncinya justru pada diri kita. Maukah kita menjadikan segala hal yang terjadi pada diri ini menjadi nilai-nilai keberkahan? Maukah kita melapangkan diri meyakini bahwa semua yang terjadi itu atas ijin Allaah sehingga apapun yang terjadi ibarat puing-puing cinta yang Allaah berikan?

Saya ingin sejenak meminjam kosa kata yang berulang kali diucapkan Ustad Salim ketika membedah buku Lapis-lapis Keberkahan ini.

Memesrakan diri dengan Allaah.

Ah, sebuah susunan kalimat nan indah untuk ditulis dan diucap, namun masih teramat susah diimplementasikan. Betapa tidak. Ada konsekuensi di dalamnya. Konsekuensi untuk menundukkan diri serendah-rendahnya di hadapan Rabb, merasa hina lagi fakir tanpa daya. Konsekuensi untuk menjadikan Dia satu-satunya tempat sandaran diri. Sehingga, hanya Dia saja yang dirasa mampu memberikan kecukupan. Betapa indahnya kata kemesraan ini sehingga saya pribadi tidak bisa membayangkan hidup yang Allaah jauhkan nikmat dan berkahnya bermesraan denganNya.

PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA (Studi Kitab al-Umm)


PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)












Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
 BALIKPAPAN
2014 M / 1436 H

PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)


Skripsi
Diajukan Kepada STIS Hidayatullah Balikpapan Untuk Memenuhi
Sebagai Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum




Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
 BALIKPAPAN
2015 M / 1436 H




PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                           : Winanto
NIM                             : 2011.08.15
Program / Jurudan         : Ahwal al-Syakhsyiyyah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Jika di kemudian hari ia terbukti ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain secara keseluruhan atau sebagian besar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
                                                         Balikpapan, 7 Maret 2015
                                                         Yang Membuat Pernyataan

                                                          Winanto





                                      NOTA DINAS PEMBIMBING
                                                               
                                                                                  Kepada Yth:
                                                                                      Ketua STIS Hidayatullah
 Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan, dan koreksi terhadap penulisan skripsi yang berjudul :
“PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)
Yang ditulis oleh :
Nama                         : Winanto
Nim                           : 2011.08.15
Jenjang                      : S I
Jurusan/Prodi            : Ahwal al-Syakhsiyyah
Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut di atas sudah dapat diajukan kepada STIS Hidayatullah Balikpapan untuk diajukan dalam rangka memperoleh gelar sarjana Hukum Islam.
Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
                                                                              Balikpapan, 7 Maret 2015
Pembimbing  I                                                                  Pembimbing II

Nasirul Haq, Lc, MA                                                      Ahmad Rifai, Lc

PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul    : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm)
Ditulis Oleh    : Winanto
Nim    : 2011.08.15
Jurusan/Prodi    : Syari’ah / Ahwal asy-Syakhsiyyah
Setelah diteliti  dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat menyetujuinya untuk dipertahankan di depan sidang tim penguji skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan.

Balikpapan, 7 Maret 2015                                                 
Pembimbing I                      Pembimbing II

Nashirul Haq, Lc, MA                                           Ahmad Rifa’I, Lc

Mengetahui:
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
Hidayatullah Balikpapan

Dr. Abdurrahim, S.Hum, M.S.I


ABSTRAK
Winanto. 2015 Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm). Skripsi Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah, pembimbing: (1) Ust. H. Nashirul Haq, Lc MA, Pembimbing (II)Ahmad Rifai, Lc
Penelitian ini latarbelakangi adanya perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dengan Jumhur Ulama’ yang berkaitan dengan masalah Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Rumusan yang peneliti gunakan yaitu, apa landasan Imam Syafi’i Mahar wajib diberikan kepada istri sebelum ataupun sesudah terjadi, akan tetapi, Imam Malik dan Ulama’ lainnya, istri hanya berhak mendapatkan mahar saja. Penelitian ini adalah deskriptif . sumber primer adalah Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
Peneliti menguraikan beberapa yang menjadi landasan teori pada peneliti ini, berdasarkan difinisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri dan tidak dapat diganggu oelh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmati maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Selanjutnya, peneliti mengemukakan biografi Imam Syafi’i, metode istinbatnya serta landasan hukum yang digunakan. pemikiran Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Imam Syafi’i Berdasarkan pada hukum QS. An-Nisa’ ayat : 4 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dengan mengambil hukum khusus berdasarkan pada nash pada ayat tersebut.
Melaluai teknik analisis data, peneliti ini menghasilkan Metode Istinbath yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah al-Qur’an, Sunnnah, Ijma’, Qiyas dan Tafsir. Bahwa mahar wajib diberikan ketika suami meninggal dunia sebelun dukhul atau sebelum dhuhul, akan tetapi Imama Malik, dan beserta Ulama’ lainya, justru istri hanya berhak mendapatkan waris saja.
Peneliti menyimpulkan bahwa pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan Jumhur Ulama’. Akan tetapi, landasan Imam Syafi’i lebih mendekati kebenaran, yaitu mahar wajib diberiakan kepada istri ketika suami meninggal dunia ketika suami sebelum atau sesudah becampur. Karena mahar bentuk penghormatan suami terhadap istri.






Moto


Letihkanlah badanmu untuk mendapatkan kenikmatan
Pimpin dan extrimkan dirimu  untuk merubah dunia
Sedikitkan tidur untuk sehatkan badanmu,
Sedikitkan tidurmu supaya bahagia selalu









PERSEMBAHAN


Sebuah karya saya persembahkan kepada :
Ibunda dan Ayahanda tercinta beserta keluarga dan guru kami
Terima kasih atas doa dan doanya
yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup kami
doa, doa, dan doa Extrim yessss









KATA PENGANTAR
بسم الله الرمن الرحيم
A lhamdulillah, segala puji dan penghormatan hanyalah milik Allah swt. Penguasa alam semesta, tak ada tara bagi-Nya dan tak ada kesempurnaan kecuali diri-Nya. Shalawat dan semoga senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw, keluarga, para sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, pada diri-Nyalah tempat berkumpul segala kebaikan, yang dengan-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Begitu juga peneliti ucapkan Jazakumullahu kairan, untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1.    Ustadz Dr. Abdurrohim, S.Hum, M.S.I, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah Balikpapan.
2.    Ustadz Azhari, S.H.I, M.Pd.I, Selaku pembimbing II dalam Penelitian skrpsi ini.
3.    Ustadz. Rifa’I, Lc sebagai wakil ketua I bidang akademik STIS Hidayatullah Balikpapan.
4.    Ustadz. Hidayat Jaya Miharja, S.S, M.Si, sebagai wakil ktua II bidang administrasi STIS Hidayatullah Balikpapan.
5.    Ustadz. Herianto Muslim, S.H.I, M.H.I sebagai wakil ketua III bidang kemahasiswaan  STIS Hidayatullah Balikpapan
6.    Ustadz. Lukman Hakim, Lc sebagai wakil ketua IV bidang kemahasiswian STIS Hidayatullah Balikpapan.
7.    Ustadz. Kusnadi, S.H.I, M.Hum Sebagai Kepala Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengapdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah Balikpapan.
8.     Segenap staf pengurus dan dosen pengajar Sekolat Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan yang telah membantu kami untuk menyelesaikan pendidikan kami di jenjang S1.
9.    Rekan-rekan mahasiswa STIS Hidayatullah dan teman-teman santri putra maupun putri Hidayatullah yang telah mengajarkan akan artinya kebersamaan.
10.    Semua pihak yang terkait dengan proses penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya peneliti memohon ampun kepada Allah swt, dengan semua kelemahan peneliti miliki, dan semoga Allah swt senantiasa melindungi dan memberikan balasan kebaikan dengan sebaik-baik balasan, di dunia maupaun di akhirat. Tak lupa pula peneliti sampaikan bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka  Saran dan keritik yang sifatnya membangun, sangat peneliti harapkan, karena kesempurnaan, mutlak hanyalah milik Allah swt Tuhan semesta alam.
                                                                               Balikpapan, 28 Februari 2015

                                   
                                Winanto



 PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/dan 0543b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988.
Konsonan Tunggal
Huruf Arab    Nama    Huruf  Latin    Keterangan
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي    Alif
ba'
ta'
ṡa'
jim
ḥa'
kha'
dal
żal
ra'
zai
sin
syin
ṣād
ḍaḍ
ṭa'
ẓa'
'ain
Gain
fa'
qāf
kāf
lam
mim
nun
wawu
ha'
hamzah
ya'    Tidak dilambangkan
b
t

j

kh
d
ż
r
z
s
sy

d



g
f
q
k
l
m
n
w
h
'
Y    Tidak dilambangkan
Be
Te
Es (dengan titik di atas)
Je
Ha (dengan titik di bawah)
Ka dan Ha
De
Zet (dengan titik di atas)
Er
Zet
Es
Es dan Ye
Es (dengan titik di bawah)
De (dengan titik di bawah)
Te (dengan titik di bawah)
Ze (dengan titik di bawah)
Koma terbalik di atas
Ge
Ef
Qi
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye

Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
عدة    Ditulis    ‘iddah


Ta' marbutah
1.    Bila dimatikan ditulis h
هبة
جزية    Ditulis
Ditulis    Hibah
Jizyah

2.    Bila diikuti kata “al” serta dibacaan kedua ituterpisah, maka ditulis dengan “h”
كرامة الأولياء    Ditulis    Karāmah al-auliyā'

3.    Bila ta' marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah ditulis “t”
زكاة الفطر    Ditulis    Zakātul fiṭri

Vokal Pendek
____
____
____
    Kasrah
fathah
dammah    ditulis
ditulis
ditulis    I
a
u

Vokal Panjang
fatḥah  + alif
جاهلية
fatḥah + ya' mati
يسعى
Kasrah + ya' mati
كريم
ḍammah + wawu mati
فروض
    ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis    Ā
jāhiliyyah
ā
yas‘ā
ī
karīm
ū
furūḍ

Vokal Rangkap
fatḥah + ya' mati
بينكم
fatḥah + wawu mati
قول    Ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
    Ai
bainakum
au
qaulun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL     ....     i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN    ....     ii
NOTA DINAS PEMBIMBING    .... iii  
PENGESAHAN     .... iv
ABSTRAK    .... v  
LEMBAR MOTTO    .... vii
PERSEMBAHAN    .... viii
KATA PENGANTAR    .... vii 
DAFTAR ISI    .... xi 

BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah    .... 1  
B.    Rumusan Masalah    .... 6
C.    Tujuan Penelitian    .... 6
D.    Signifikansi Penelitian    .... 6   
E.    Definisi Operasional    .... 7  
F.    Kajian Pustaka    .... 8 
G.    Metode Penelitian    .... 9 
H.    Sistimatika Penulisan    .... 12 

BAB  II KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR
A.    Mahar    .... 13
1.     Pengertian Mahar        .... 13
2.     Dasar Hukum Mahar        .... 16
B.    Kadar Mahar        .... 18
C.    Macam-macam Mahar        .... 20
1.    Mahar Musamma        .... 20 
2.    Mahar Mitsil        .... 21    
 D. Bentuk dan Syarat-syarat Mahar        .... 23
E. Hikmah Mahar        .... 26

BAB  III  PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I  TENTANG  MAHAR
 HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA               
                
A.    Bioografi Imam Syafi’i        .... 27
1.    Latar Belakang Keluarga        .... 27
2.    Pendidikan        .... 28
3.    Guru dan Murid Imam Syafi’i        .... 32
4.    Karya Imam Syafi’i        .... 34
B.    Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia 

BAB  IV   :  Analisis  Pemikiran  Imam  Syafi’i  Tentang  Mahar  Hutang
 yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia Dalam Tinjauan Tafsir

A.    Dasar  Pemikiran ImamS yafi’i entang  Mahar  Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal ................................................ 40
B.    Istinbath  Hukum  Imam  Syafi’i  Dalam Tinjauan Taftsir............... 44



BAB V   PENUTUP  
  A. Kesimpula ........................................................................................ 54  
  B. Saran    ...... 55

LAMPIRAN DAFTAR TERJEMAHAN AL-QUR’A   
DAFTAR PUSTAKA    ....     58   
RIWAYAT HIDUP PENULIS        .... 64   
LEMBARAN BIMBINGAN    ....     66   







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan  muara atas  rasa  saling  kasih  dan  mencintai  antara lelaki dan perempuan yang  diciptakan  oleh  Tuhannya.  Sudah  menjadi  iradah  Allah swt  manusia  diciptakan  berjodoh-jodoh  dan  diciptakan  oleh  Allah swt mempunyai keinginan untuk  berhubungan  antara  pria  dan  wanita,  sehingga manusia  menjadi  berkembang  biak  dan  berlangsung  dari  generasi  ke  generasi berikutnya sehingga dapat  melestarikan  eksistensi dalam  hidupnya.  Hal  ini tertera dalam al-Quran Surat an-Nisa [4] ayat : 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا 
Allah swt tidak ingin  menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup  bebas  mengikuti  nalurinya  dan  berhubungan  bebas  antara  perempuan  dan laki-laki secara  anarki  tanpa  ada  suatu  aturan.  Akan  tetapi, demi menjaga martabat dan kemuliaan manusia, Allah swt  mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan laki-laki dan  perempuan diatur secara hormat dan  berdasarkan  saling  meridhai.  Upacara  akad  nikah  sebagai  lambang  dari adanya  rasa  ridha-meridhai,  dihadiri  para  saksi  yang  menyaksikan  kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Tujuan  perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan  bahagia. Harmonis  dalam  menggunakan  hak  dan  kewajiban  anggota  keluarga,  sejahtera yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Islam  sangat  memerhatikan  dan  menghargai  kedudukan  wanita  dengan memberi  hak kepadanya,  yaitu  hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah maka hukum memberikannya adalah wajib.  Mahar hanya diberikan oleh calon  suami  suami  kepada  calon  istri,  bukan  kepada  wanita  lainnya  atau apapun,  walaupun sangat dekat dengannya.  Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya.
Mahar  merupakan  pemberian  dari  calon  mempelai  pria  kepada  calon mempelai  wanita,  baik  berbentuk  barang,  uang  maupun  jasa  yang  tidak bertentangan  dengan  hukum  Islam.  Pemberian  tersebut  sebagai  syarat  sahnya pernikahan  sehingga  hukum  mahar  adalah  wajib . Sesuai  firman  Allah  swt. dalam al-Quran Surat an-Nisa’ ayat : 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Tiada  ketentuan hukum yang disepakati Ulama’ tentang  batas  maksimal pemberian  mahar,  demikian  juga  batasan  minimalnya.  Yang  jelas  meskipun  sedikit, ia wajib ditunaikan.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 dan  31  menyebutkan  bahwa “Calon  mempelai  pria  wajib  memberi  mahar  kepada calon mempelai wanita, yang bentuk, jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belak  pihak”  dan  “Penentuan  mahar  berdasarkan  asas  kesederhanaan  dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.”
Dari  uraian  di  atas  jelaslah  bahwa  mahar  adalah  pemberian  pria  kepada wanita  sebagai  pemberian  wajib,    bukan  sebagai  pemberian  atau  ganti  rugi. Mahar itu untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara kedua suami istri .
Tentang pemberian maskawin  atau mahar itu boleh saja dibayarkan tunai atau sebagian  tunai dibayarkan kelak.  Hal ini diserahkan sebagaimana kebiasaan di  dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual  antara suami  dan  istri,  atau  suami  meninggal  dan  belum  terjadi  hubungan  seksual, maskawin wajib dibayarkan seluruhnya.
Apabila  perceraian  terjadi  sebelum  dukhul  akan  tetapi  besarannya  mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar  mahar mitsil (ps. 35 ayat (3) KH ).  Namun, jika suami meninggal sebelum  dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya ( ps. 35 ayat (3)).
Imam  Malik  mengatakan  bahwa  tidak  ada  keharusan membayar mahar manakala salah seorang di  antara kedua pasangan meninggal dunia sebelum terjadi percampuran.  Apabila  suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual (qobla dukhul), maka tidak wajib membayar mahar tetapi istri mendapat warisan saja, yang  diterangkan  dalam kitab  al-Muwwatho’  karangan beliau :
“Hadits  dari  Malik,  dari  Nafi’,  bahwa  anak  perempuan Ubaydullah  Ibn Umar yang ibunya adalah anak perempuan Zaid ibn  al-Khattab, menikah dengan putri Abdullah  Ibn  Umar. Ia (si-suami)  meninggal  sebelum  menikmati  pernikahan  (melakukan hubungan seksual)  ataupun sebelum menentukan maharnya. Ibu si  istri  menginginkan  mahar  tersebut  dan  Abdullah  ibn  Umar berkata  :  “Ia  (si  istri)  tidak  berhak  atas  mahar,  sekirannya  ia mempunyai mahar  kami tidak akan menahannya, dan kami tidak memperlakukannya  secara  tidak  adil.”  Si  ibu  menolak  untuk menerima  hal  itu.  Zayd  Ibn  Tsabit  dibawa  untuk  mengadili mereka,  dan  dia  memutuskan  bahwa  si  istri  tidak  memperoleh mahar, tetapi ia memiliki hak waris. ”
Pendapat  Imam  Malik  ini  justru  berbeda  dengan  pendapat  Imam  Syafi’i dan beberapa imam lainya. Menurut Imam Syafi’i bahwa mahar tetap dibayarkan meskipun suami meninggal dunia. Karena menurut beliau  bahwa mahar adalah wajib bagi seorang suami kepada istri, meskipun suami meninggal  dunia.  Hal ini disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ
“Bahwa  Imam  Syafi’i  ra  berkata  :  apabila  suami  menikahi wanita  dengan  mahar  yang  telah  disebutkan,  maka  mahar tersebut  ditetapkan  sebagai  kewajiban  suami,  jika  suami  atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri  atau setelah melakukan hubungan suami istri.  Apabila mahar yang disebut  berupa  uang  maka  suami  wajib  membayar  dengan uang.  Apabila  dengan  hutang  maka  harus  dibayar  dengan hutang,  apabila  berupa  takaran  yang  disifati  maka  berupa takaran dan apabila berupa barang  yang  disifati   maka dengan barang.  Apabila  mahar  yang  disebut  berupa  barang  tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau  sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum  ia serahkan kemudian suami men-talaq istri  sebelum  melakukan  hubungan  suami  istri  maka  istri berhak  mendapatkan  separuh  harga  barang  tersebut,  terhitung harga  pada  waktu  akad  nikah  yaitu  pada  hari  istri  memiliki mahar”.
Disamping  itu,  maskawin  dibayar  sepenuhnya  karena  salah  seorang  dari kedua  belah  pihak  ada  yang  meninggal dunia, sekalipun  persetubuhan  belum dilakukan, menurut kesepakatan  para  sahabat.  Atau  telah  melakukan persetubuhan dengan  memasukkan  hasyafah  (kepala  penis)  saja,  sekalipun selaput darah istri masih utuh.
Melihat  dari  latarbelakang  permasalahan  yang  ada,  maka     peneliti !  akan membahasnya  ke  dalam skripsi yang berjudul
“Pemikiran Imam Syafi’i  Tentang  Mahar  Hutang  Yang  Belum  dibayar  Karena  Suami Meninggal Dunia”
B. Rumusan Masalah
Untuk  membuat  permasalahan  menjadi  spesifik  yang  sesuai  dengan  titik kajian,  maka  diperlukan  rumusan  masalah  yang  lebih  fokus.  Hal  ini dimaksudkan  agar  dalam  pembahasan  ini  tidak  melebar  dari  tujuan  penelitian. Dari  latar  belakang  yang  telah  disampaikan  di  atas,  ada  beberapa  rumusan masalah yang dapat diambil yaitu :
1.  Bagaimana dasar istinbat hukum Imam Syafi’i tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar karena suami meninggal dunia?
2.   Bagaimana  tinjauan Tafsir tentang dasar istinbat hukum  Imam   Syafi’i  tentang  mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal   dunia ?
C. Tujuan Penelitian
 Tujuan penelitian karya ini adalah untuk menjawab tentang apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di  atas. Beberapa  tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar dan istinbat hukum  Imam  Syafi’i  tentang mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
2. Untuk  mengetahui tinjauan  Tafsir terhadap dasar istinbat yang  digunakan oleh  Imam  Syafi’i  tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena suami meninggal dunia.
D. Signifikasi Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan oleh peneliti bermanfaat untuk:
1.    Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia
2.    Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dalam mengisi khazanah (wawasan) keilmuan dalam bidang hukum Islam, yang berkaitan dengan Ahwal al-Syakhsiyyah terkhusus dalam masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
3.    Dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.
E. Definisi Operasional
Agar terarah penulisan ini dan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami judul ini, maka peneliti memberikan definisi operasional sebagai berikut:
1.    Pemikiran; hasil dari memikirkan.
2.    Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.  Mahar yang penulis maksud adalah pemberian yang diwajibkan oleh syari’at dari mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan sebagai bentuk imbalan dalam pernikahan, berdasarkan kerelaan keduanya. Hutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain, dengan kewajiban membayar kembali apa yg sudah diterima.
3.    Suami Meninggal Dunia yang penulis seorang istri yang ditinggal mati dalam keadaan suami meninggalkan hutang Mahar
4.    Imam Syafi’i adalah penulis Kitab al-Umm. Ia adalah salah satu mazhab ahlusunah wal jama’ah   
F. Kajian Pustaka
Penelusuran peneliti sejauh ini,  ada  beberapa penelitian yang membahas  tentang  mahar,  akan  tetapi  berbeda  dengan  penelitian  dalam  skripsi ini.
Pertama, Kadar Mahar (studi Komperatif Terhadap Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i) oleh Marwah Pau, alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam mengenai kadar minimal Mahar. Imam Malik Mengatakan Bahwa mahar itu wajib ditentukan kadar minimalnya. Pemikiran ini bertolak belakang dengan pendapat Ima Syafi’i yang mengatakan bahwa kadar mahar itu tidak dapat di tentukan kadar minimalnya.
Kedua, MaharMitsl Terhadap Istri yang di Tiggal Mati suami Qobla Dukhul menurut iman malik (Studi Kitab al-Muwatha’ jilid II). Oleh Ema Ermawati alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat imam malik yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan mahar itu terdapat istimta’ (kenikmatan). Sedangkan par jumhur (syafi’i, hanafi, hambali) mengatakan bahwa kepemilikan mahar semata-mata karena akad.
Wujud Mahar Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Oleh Maftuhah AS alumni STIS membahas bentuk-bentuk Mahar.
Berdasarkan  penelusuran  dari  beberapa  penelitiana yang  telah  peneliti kemukakan  di  atas,  maka  peneliti  memilih  judul  dengan  alasan  belum  pernah dibahas  oleh  peneliti  terdahulu  sehingga  penelitian  yang  akan  peneliti  lakukan berbeda dengan karya skripsi  yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu. Skripsi ini lebih spesifik membahas tentang pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm.
Disamping  itu,  untuk  memahami  lebih  komprehensif  tentang  pemikiran  Imam Syafi’i  khususnya  yang  berkaitan  dengan  mahar,  mengingat Imam  Syafi’i  sampai  sekarang  masih  dipakai  di  Indonesia  yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
G. Metode Penelitian
Dalam  rangka  menyelesaikan  penulisan skripsi  ini,  peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1.  Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research)  yaitu  serangkaian  kegiatan  yang  berkenaan  dengan  metode pengumpulan  data  pustaka,  membaca  dan  mencatat  serta  mengolah  bahan penelitian , yaitu  dengan  mengumpulkan  teori-teori  dalam  kitab-kitab, pendapat  para  ahli  dan  karangan  ilmiah  lainnya  yang  ada  relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini.

2.  Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
a.    Sumber  data  primer,  yaitu  data  yang  diperoleh  dari  data-data  sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi  atau data tersebut . Adapun sumber primer  penelitian ini adalah kitab  al-Umm  karya Imam Syafi’i.
b.    Sumber  data  sekunder,  yaitu  data  yang  diperoleh  dari  sumber  yang bukan   asli  yang  memuat  informasi  atau  data  tersebut. Adapun sumber-sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini diantaranya :
1)  Kitab al-Muwwatta’, karya Imam Malik
2)  Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i
3)  Kitab al-Khawi al-Kabir, karya Imam al-Mawardi
4)  Kitab Bidayatul mujtahid
     5)   Kitab-kitab  Hadis dan buku-buku  lain  yang membahas tentang
mahar.
.Metode Pengumpulan Data
    Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), yaitu membaca buku kepustakaan dan literatur-literatur lainnya. Dalam tahap ini akan berfungsi sebagai penyelidikan untuk mendapatkan data melalui literatur atas pemikiran pemikiran Imam Syafi’i tentang tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena suami meninggal dunia.
 Setelah data berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
4. Metode Analisis Data
Berdasarkan  data  diperoleh  untuk  menyusun  dan  menganalisa  data data  yang  terkumpul  maka  metode  unakan  adalah  metode deskriptif-analisis  adalah  suatu  bentuk  analisis  yang  berkenaan  dengan masalah yang  diteliti.  Analisis Deskriptif yaitu bertujuan untuk memberikan deskripsi  mengenai    subyek    penelitian  berdasarkan  data  yang  diperoleh.  Dengan  demikian  penulis  akan  menggambarkan  pendapat  Imam  Syafi’i tentang  mahar  hutang  yang  belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia yang terdapat kitab al-Umm.
Selain  itu,  peneliti  menggunakan  analisis  penelitian  dengan  metode komparasi.  Penelitian  komparasi  akan  dapat  membandingkan  kesamaan pandangan  dan  perubahan  pandangan-pandangan  orang,  group  atau  negara, terhadap  kasus,  terhadap  orang,  peristiwa  atau  terhadap  ide –ide.  Pada penelitian ini peneliti  akan   membandingkan dari  beberapa pandangan tentang mahar  yaitu  pendapat  dari    Imam  Syafi’i,  Imam  Malik  dan   imam  lainnya sehingga akan diambil sebuah kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Secara  garis  besar  penulisan  skripsi  ini  terdiri  dari  5  bab,  dimana  dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan yaitu :
Pada  Bab  I  memuat  tentang  latar  belakang  permasalahan,  rumusan masalah,  tujuan  penelitian,  telaah  pustaka,  metode  penelitian  dan  sistematika penulisan.
Pada Bab II akan dijelaskan tentang pengertian mahar, dasar hukum mahar, kadar  mahar,  macam-macam  mahar,  bentuk  dan  syarat-syarat  mahar  serta hikmah adanya mahar.
Bab  III  berisi  tentang  biografi  Imam  Syafi’i,  pendapat  Imam  Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia , metode istinbath hukum Imam Syafi’i secara umum,  dan metode  istinbath  hukum  Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Selanjutnya  pada Bab IV, dibahas analisis pendapat Imam  Syafi’i  tentang mahar  utang  yang  belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia  dan  analisis metode istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  tentang mahar  utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Terakhir,  Bab  V  sebagai  penutup,  yang  meliputi  kesimpulan,  saran-saran dan Penutup.











BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR
A.    Mahar
1.    Pengertian Mahar
Dalam Kamus Besar Indonesia bahwa mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.  Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, kata mahar berarti maskawin.
Shadaq atau mahar diambil dari kata ash-shidqu yang artinya kesungguhan atau kebenaran. seorang laki-laki benar-benar ingin menikahi wanita yang diinginkan tersebut. Sedangkan, mahar yang diberikan tersebut sebagai ganti yang telah disebutkan dalam akdad nikah atau sesudahnya.
Kata mahar dalam al-Qur’an tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata shaduqah, yaitu dalam QS. an-Nisa [4] : 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Ditinjau dari asbab al-nuzul QS an-Nisa’ ayat 4 di atas bahwa dalam Tafsir Jalalain ada keterangan sebagi berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Abu Salih katanya:” Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan seorang putrinya, diambil maskwinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa’.
Sedangkan mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’,ujr, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari suatu yang diterima.
Menurut Buya Hamka bahwa kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan shadaqah. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati yang suci, muka jernih dari suami kepada calon istri. Arti yang mendalam bahwah mahar itu adalah laksana cap atau stempel karena nikah sudah di materaikan.
Menurut Imam Taqiyuddin Abubakar, mahar (Shadaq) ialah sebutan harta yang wajib atas orang laki-laki bagi perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi’). Di dalam al-Qur’an maskawin disebut shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunah disebut mahar,’aliqah dan ‘aqar. Shadaq (maskawin) berasal dari kata shadq artinya sangat keras karena pergantiannya (bayarannya) sangaat mengikat, sebab maskawin tidak dapat gugur  dengan rela-merelakan taradhi.
Menurut Zainuddin ibn ‘Aziz al-Malibary menegaskan, mahar ialah sesuatu yang menjadi kewajiban pemberi tersebut, shidaq dinamakan juga dengan mahar.
Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad al-jamal, dan dia menyukai sesuai dengan kemampuan prianya. Islam tidak menyukai berlebih-lebihan dalam maskawin, sehinggah memudahkan manusia untuk kawin. Mempermahal mahar adalah sesuatu yang dibenci dalam islam, karena akan mempersulit hubungan diantara manusia.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri serta tidak boleh digangu oleh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmti maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Agama tidak membolehkan laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya.  Allah Subahanahu wata’alah (swt)  telah berfirman dalam surat an-Nisa : 20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا                                                                
    Mahar yang telah disepakati boleh diserahkan saat akad nikah, separuh atau sebagiannya. Tetapi, sesudah terjadih hubungan suami istri mahar itu wajib dibayar seluruhnya. Dalam keadaan perceraian sebelum melakukan hubungan suami istri, istri wajib mengambil itu separuh. Hal ini disepakati para ulama, dan sparuh lagi dikebalikan kepada suami. Kecuali, istri itu melepaskan haknya, maka suami boleh mengambil semua, atau suami yang melepaskan haknya, maka istri juga boleh mengambil semua.  hal ini berdasarkan pada firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ …..
    Islam menganggap penyerahan hak ini dari laki-laki kepada perempuan  sebagai pendekatan diri kepada Allah swt, dan termasuk sebagai sifat yang baik dan luhur. Hal ini terkandung dalam firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh [2] : 237
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Maksudnya, bahwa perceraian janganlah menyebabkan kamu lupa tentang keakraban, persaudaraan antar sesamamu.
2.    Dasar Hukum Mahar
a.    Firman Allah swt : QS.  an-Nisa’ ayat 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
    Juga dalam firman allah swt : QS. an-Nisa’[4] ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا                                                                        
    Sabda Rasulullah saw :
حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الخَلَّالُ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ، قَالَا: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ طَوِيلًا، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَزَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ، فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكَ  مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا؟» فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِزَارُكَ، إِنْ أَعْطَيْتَهَا جَلَسْتَ، وَلَا إِزَارَ لَكَ، فَالتَمِسْ شَيْئًا؟» قَالَ: مَا أَجِدُ، قَالَ: «فَالتَمِسْ، وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ» قَالَ: فَالتَمَسَ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ». هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، فَقَالَ: «إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ يُصْدِقُهَا فَتَزَوَّجَهَا عَلَى سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ، فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيُعَلِّمُهَا سُورَةً مِنَ القُرْآنِ». وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: النِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيَجْعَلُ لَهَا صَدَاقَ مِثْلِهَا، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الكُوفَةِ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ.  (صحيح البخاري)                          
“Telah  mengabarkan  kepada  kami  Qutaibah  kepada  Ya‟kub  dari
Abi Khazim  dari  Sahal bin Sa‟ad as-Sa‟idi  berkata : ada seorang wanita  datang  kepada  Rasulullah  SAW  dengan  berkata  :  “  Ya Rasulullah!  Saya  datang  untuk  menyerahkan  diri  kepada  tuan  (untuk dijadikan istri). ”Rasul memandang wanita itu dengan teliti lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wan ita itu meyadari bahwa Rasul  tidak  tertarik  padanya,  maka  ia  pun  duduklah.  Lalu  salah seorang  sahabat  beliau  berdiri  dan  berkata  :”Ya  Rasulullah! seandainya  tuan  tidak membutuhkannya, kawinkanlah dia dengan saya.  ”Rasul  bertanya:  ”Adakah  engkau  mempunyai  sesuatu?” Jawab orang itu  :   ”Demi Allah, tidak ada apa-apa, ya Rasulullah. ”Rasul  berkata:  ”Pergilah  kepada  sana  keluargamu!  Mudahmudahan  engkau  memperoleh  apa-apa.  ”Lain  orang  itu  pergi.
Setelah  kembali  ia  berkata:  ”Demi  Allah,  tidak  ada  apa-apa. ”Rasul berkata: “Carilah walaupun sebuah cincin besi!  ”Orang itu pergi,  kemudian  kembali  pula.  Ia  berkata  :  ”Demi  Allah,  ya Rasulullah,  cincin  pun  tidak  ada.  Tetapi  saya  ada  mempunyai sarung yang saya pakai ini. ( Menurut Sa‟id, ia tidak mempunyai kain selain dari yang dipakainya itu). Wanita itu boleh mengambil dari  sebahagian  dari  padanya.  ”Rasullullah  berkata  :  ”Apa  yang dapat  engkau  lakukan  dari  sarungmu  itu.  Kalau  engkau  pakai tentu ia tidak berpakaian. “Lalu orang itu pun duduklah. Lama ia termenung  kemudian  ia  pergi.  Ketika  Rasul  melihatnya  pergi,
beliau  menyuruh  agar  orang  itu  dipanggil  kembali.  Setelah  ia datang,  beliau  bertanya:  ”Adakah  engkau  menghafal  Qur‟an? ”Orang   menjawab  :   ”saya  hafal  surat  ini  dan  surat  itu.  ”Ia  lalu menyebutkan  nama  beberapa  surat  dalam  Al-Qur‟an.  Rasul bertanya  lagi  :  ”Kamu  dapat  membacanya  diluar  kepala?  ”Ya,” jawab orang itu. “ Pergilah, engkau saya kawi nkan dengan wanita itu dengan Alqur‟an yang engkau hafal itu”. (HR al-Bukhari).

B.    Kadar Mahar
Syari’at Islam tidak membatasi kadar mahar yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkan kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka. Nash al-Qur’an dan hadits hanya menetapkan mahar itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cicin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda :   
“(Langsungkanlah  pernikahan)  meski  hanya  dengan  (mahar) cincin  yang  terbuat  dari  besi”.  (HR.  Al-bukhari,  Ahmad,  Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)                                                                                                                
Ibnu  Taimiyaiah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampuh dan hukumnya tidak makruh. Kecuali, disertai dengan hal-hal atau syarat lain yang bisa menjadikan hukumnya makruh. Seperti diikuti rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi yang tidak mampu memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh. Bahkan menjadi haram jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi hal itu atau benda itu berbentuk benda yang diharamkan. Jika jumlah mahar yang ditentukan itu besar dan ia menyanggupi dengan ditangguhkan (tidak tunai), maka hukumnya juga makruh. Karena, hal ini bisa menyibukkan suami dengan tanggungan yang dipikulnya”. 
Bagaimanapun, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan supaya menikah agar masing-masinig dapat menikmati hubungan yang halal dan baik.
Untuk mencapai hal ini, tentunya di beri jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang yang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Merekah itu termasuk golongan mayoritas dari umat manusia.
Karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwah setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi keberkahan dalam kehidupan suami istri. Mahar yang murah pun menunjukan kemurahan hati dari pihak perempuan.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa banyaknya mahar akaan menjadikan suami benci terhadap istrinya, ketika ia ingat besarnya mahar yang harus dipenuhi. Karenah itu, wanita yang paling mulia dan diberkahi Allah adalah wanita yang paling sedikit maharnya, seperti yang telah diterangkan dalam hadits ‘Aisyah ra kemudian mahar membawa berkah bagi sang istri dan dapat menimbulkan rasa kasih dari suaminya.
Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini, bahkan menyalahinya dan berpegang pada adat ajaran jahiliah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anknya kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah wanita itu barang dagangan yang di pasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini banyak menimbulkan kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan dunia perkawinan. Akibatnya, yang halal ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (zina).
C.    Macam-macam
Ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
1.    Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakad bahwa mahar musamma dalam pelaksanaannya harus diberikan secara penuh apabila :
a.    Telah bercampur (bersenggama). Tentang ini allah swt. Berfirman dalam QS.  an-Nisa’ [4] ayat : 20
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا                     
    Dalam ayat lain Allah swt berfirman dalam QS. an-Nisa’[4
 ayat : 20
        وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا                                                                           

b.    Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayarkan seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti istrinya mahram sendiri, atau dikira gadis ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah swt pada QS al-Baqoroh  :  237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ    
2.    Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan :
a)    Suami dalam keadaan tidak menyebutkan sama sekali mahar dan jumlahnya.
b)    Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah mahar minuman keras.
c)    Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian sumi istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan. 
Menurut Mazhab Abu Hanifah, wajib diberikan mahar mitsil karena tiga hal diantaranya :
a)    Pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh. Dengan berlangsungnya akad nikah ini wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil.
b)    Pada waktu akad nikah tidak disebut maharnya, tetapi kemudian ternyata barang yang disebut sebagai mahar itu sesuatu yang tidak berharga. Menyebut barang yang demikian sebagai mahar dalam akad nikah menerima mahar mitsil.
c)    Sepasang suami istri telah sepakat kawin tanpa mahar, namun menurut hukum islam suami harus membayar mahar, sebab mahar itu adalah hak allah. Dalam hal ini istri berham menerima mahar mitsil karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami membayar mahar kepada istrinya karena terjadi perkawinan sehingga orang yang melakukan perkawinan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.
Dalam hal nikah tafwidh, apabila wanita sudah suaminya wanita harus mendapat mahar mitsil. Jadi, keharusan membayar mahar mitsil itu bukan karena akad nikahnya, tetapi karena mereka telah bercampur. Istri berhak menuntut kepada suami dalam ketentuan jumlah maharnya sebelum dicampuri. Apabilah suami menentukan jumlah itu kurang dari pada mahar mitsil maka hal ini harus disetujui pihak wanita karena mahar itu haknya. Tetapi kalau suami menentukan jumah sebesar mahar mitsil maka tidak perlu meminta persetujuan lagi. Kalau suami tidak mau menentukannya atau terjadai perselisihan pendapat tentang besar jumlahnya, maka hakimlah yang menentukan mahar mitsil mereka.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan. Firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] :  236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً     
Ayat ini menunjukan bahwa seseorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
D.    Bentuk Mahar dan Syarat-syarat Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun, syar’iat  Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa dalam melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam  al-Qur’an dan demikian pula dalam hadist Nabi.
Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai perkawinan seseorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah swt. Dalam QS. al-Qhashash [28] ayat 27 :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ           
    Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan al-Qur’an sebagai mahar sebagaimana tedapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adi dalam bentuk muttafak alaih.
، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ.                                                              
Nabi    bertanya:  ”Adakah  engkau  menghafal  Qur’an? ” Orang menjawab  :”saya  hafal  surat  ini  dan  surat  itu.  ”Ia  lalu menyebutkan  nama  beberapa  surat  dalam  al-Qur’an.  Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” jawab  orang  itu.  “Pergilah,  saya  kawinkan  engkau  dengan wanita itu dengan mahar mengajarkan al-Qur’an”.
    Contoh lain adalah rasulullah sendiri ketika menikakan Sofiyah yang waktu itu masih bersetatus sebagai hamba dengan maharnya memerdekakan sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Ulama’ Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ dalam hal ini. Menurut ulama ini apabila seseorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau  mengajarinya al-Qur’an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar mitsil.
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk sederharna dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan dari Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan nabi : “sebaik-baiknya mahar itu paling mudah”. Hal ini dikuatkan pula dengan hadis Nabi dari Sahal ibn sa’ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan : bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maharnya sebuah cicin besi.
Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar, para ulama’ memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batasan maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimal terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari itu tidak memadai oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencuriannya.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 Dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apapun yang penting bernilai dapat dijadikan mahar. Apabila mahar dalam bentuk barang maka syaratnya :
1.    Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
2.    Barang itu miliknya sendiri secara kepemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya, bila salah satu saja yang dimiliki, sepreti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
3.    Barang itu sesuatu yang syarat untuk diperjulbelikan dalam arti barang yang tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi dan bangkai.
4.    Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.

E.    Hikmah Mahar
Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang  suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban material yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban material selanjutnya.
Kemudian hikmah disyariatkanya mahar atau maskawin dalam nikah adalah sebagai ganti dihalalkanya wanita atau sihalalkanya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu, mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagia tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadai hak suami.











BAB III
PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
A.    Biogarafi Imam Syafi’i
1.    Latar Belakang Keluarga
Sebelum lebih jauh membahas pendapat Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, peneliti akan menggambarkan lebih dekat sekilas tentang biografi Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i lahir di Gaza (masih wilayah ‘Asqalan) pada bulan rajab tahun 150 H atau sekitar 767 M. Imam Syafi’i lahir dalam keadaan yatim bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819).
Namun lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas asy-Syafi’i Ibn asy-Sa’ib ‘Ubayd Ibn ‘Abduyazid Ibn Muthalib ibn Abdumanaf. Muthalib adalah saudarah  kandung Hasyim Ibn ‘Abdulmmanaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah ‘Abdul Muthalib, datuk Nabi Muhammad saw. Ibn Imam Syafi’i adalah cucu perempuan dari saudara Fathimah binti As’ad, Ibn Imam ‘Ali Ibn Thalib. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan, “Ali Ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan putra bibiku”.
Imam Syafi’i adalah putra dari suami-istri yang sama-sama berdarah Quraisy. Ayahnya miskin dan sering meninggalkan Makkah untuk mencari penghidupan yang lebih matang di Madinah. Akan tetapi, di Kota itu, ia tidak menemukan yang dimaksud. Kemudian, ia bersama keluarganya pindah ke Gaza dan meninggal dunia disana, dua tahun setelah Imam Syafi’i lahir. Sepeninggal ayahnyaImam Syaf’i tidak dapat hidup menetp di Gaza. Ia membwa anaknya yang berusia dua tahun itu ke ‘Asqalan. Akan tetapi, penghidupan di ‘Asqalani tidak ramah bagi janda muda. Ia kemudian membawa Imam Syafi’i pulang kampung halaman, Makkah, tanah tumpah darah orang tuanya secara turun-temurun. Disana ia akan hidup ditengah kaumnya sendiri yaitu masyarakat Quraisy.
2.    Pendidikan
Dalam mengawali pendidikannya pada usia kanak-kanak, Imam Syafi’i diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di Makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya, guru yang mengajarnya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang lebih besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkannya kepada Imam Syafi’i dapat dimengerti dan dapat dicerna dengan baik, lagi pula setiap ia berhalangan ternyata Imam Syafi’i sanggup menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain, akhirnya Imam Syafi’i dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang di harap dari ibunya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dibiarkan terus belajar tanpa dipungut bayaran. Keadaan seperti itu berlangsung hingga Imam Syafi’i berkesempatan belajar al-Qur’an dan menghatamkanya dalam usia tujuh tahun.
Tamat belajar al-Qur’an, Imam Syafi’i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga lain ang berada di dalam Masjid Haram, agar dapat membaca al-Qur’an lebih baik termasuk tajwid dan tafsirnya. Di lembaga tersebut, belajar beberapa orang guru ahli tafsir, tartil dan tajwid.
Dalam usia 13 tahun, Imam Syafi’i sudah mampu membaca al-Qur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalkanya bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang berusia 13 tahun.
Ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan tartl, ia benar-benar khusyu’ dicekam perasan sedih bercampur perasaan takut kepada Allah swt. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur’an di Masjid Haram, banyak orang yang mendengarnya duduk bersimpuh didepanya, bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar suaranya yang merdu.
Ia kemudian mulai belajar menghafal banyak hadits. Untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan taulang yang lebar dan besar. Di atas tulang itulah ia menulis catatan-catannya. Apabila tidak ditemukan tulang, ia pergi ke diwan, untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih digunakan untuk menulis catatan-catatan pelajaran. Sulit baginya untuk memperoleh kertas, oleh karena itu, ia lebih mengandalkan ingatan dengan cara menghafal. Karena kebiasaan itulah Imam Syafi’i mempunyai daya ingat yang sangat kuat sehingga dapat menghafal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.
Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Selama menuntut ilmu, Iman Syafi’i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidak mampuannya ia terpaksa kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.
Setelah menghafal isi kitab al-Muwatta’, Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada  gurunya di Makkah. Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam prjalanan antara Makah dan Madinah yang ditempuh 8 hari Imam Syafi’i sempat menghatamkan (baca sampai selesai) al-Qur’an sebanyak 16 kali. Setibanya di madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi saw. Baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah, Imam Syafi’i tinggal dirumah gurunya, Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi’i adalah profil ualma yang Irztidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. Ia kemudian meninggalkan madinah  menuju Irak untuk berguru kepada ulama besar disana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua Imam tersebut, Imam syafi’i memperoleh pengetahuan yang sangat luas mengenahi cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman serta berbagai metode yang di sana yang tidak pernah dilatihnya di Hijaz.
Di samping itu, Imam Syafi’i mendalami bahasa Arab untuk mejauhkan dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Imam Syafi’i pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang paling fasih lidanya, sangat indah susunan bahasanya . selama 10 tahun Imam Syafi’i tinggal di Badiyah, mempelajari sya’ir adab dan sejarah. Imam Syafi’i terkenal ahli dalam bidang sya’ir yang digubah oleh golongan Hudzail itu. Disana juga belajar bermain panah sehingga kemahiran dalam bidang tersebut. Dalam masa itu  Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an dan hadits, mempelajari sastra Arab, memahirkan diri dalam mengendarai kuda serta meneliti keadaan penduduk-penduduk badiyah dan penduduk kota.
Imam Syafi’i pulang dari pegunungan sebagai seorang penunggang kuda. Ia banyak memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman dari kehidupan masyarakat Bani Hudzail, pandai memanah dan menguasai ilmu bahasa dan sasta Arab scara lebih cemerlang. Di samping itu, menguasai ilmu al-Qur’an hadist dan fikih. Semua itu merupakan kekayaan yang amat besar baginya.
Lengkaplah sudah perangkat ilmiah yang dimiliki Imam Syafi’i untuk dapat memahami dengan baik makna al-Qur’an, hadits-hadits, pusaka pemikiran serta amalan para sahabat Nabi Muhammad saw. Ia telah memiliki kekayaan dalam ilmu bahasa untuk membuka makna kata dan kalimat yang terkunci, di samping rasa seni sastra yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk menjangkau kelembutan balaghah dan rahasia ilmu bayan (kedua-duanya merupakan ilmu bahasa Arab).
Tibalah saat gurunya untuk berkata padanya,"tibalah waktuku untuk berfatwa". Itu berarti bahwa guru-gurunya tidak meragukan lagi kemampuanya Imam Syafi’i untuk menjawab pertayaan-pertanyaan dan memecahkan ketentuan hukum syariat yang dibutuhkan kaum muslimin.
3.    Guru dan Murid Imam Syafi’i
Di madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kufah, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi yang telah membantunya melepaskan diri dari konspirasi politik dengan ahl-bayt. Imam Malik merupakan pauncak tradisi Madrasah Madinah (Hadis), dan Abu Hanifa adalah puncak Madrasah Kufah (ra’y). Dengan demikian, Imam Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintensis antara aliran Kufah dan Madinah.
Disamping itu, Imam Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di yaman, Makkah dan Kufah. Di antara ualama yaman yang di jadikan guru oleh Imam Syafi’i adalah Mutharraf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn Abi Salamah dan Yahyah Inb Hasan. Selmah tinggal di Makkah yang menjadi Guru Imam Syafi’i berguru pada guru terkemuka. Diantara ulama Makkah yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah Syufyan Ibn ‘Uyainah, Rahmah al-Aththar dan ‘Abd al-Hamid ‘Abd al-Aziz Ibn Abi Zuwad.
Dalam menguasai Fikih Madinah, Imam Syafi’i berguru langsung kepada Imam Malik, sedangkan dalam menguasai fikih Irak, ia  berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan penerus fikih Hanafi.  Disamping  itu,  mempelajari  fikih  al-Auza’i  dari  Umar  Ibn  Abi alamah dan mempelajari fikih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan.
Sebagai seorang ulama yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya, Imam Syafi’i mempunyai banyak pengikut dan murid-murid yang nantinya sangat  besar jasanya mereka dalam mengembangkan mazdab Syafi’i baik di Makkah, irak maupun di Mesir.
Diantara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w.219) dari makkah, yang kemudian turut serta bersama Imam Syafi’i ke Mesir. Kemudian murid-murid Imam Syafi’i yang lain adalah Abu Ishak Ibrahim Ibn Muhammad (w.237) Abu Bakar Ibn Idris, Abdul Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya murid-murid beliau di Baghdad adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (w.256H), Abu Saur al-Kalibi (w.240 H), Ahmad Ibn Hanbal yang nantinya mengembangkan mazhab tersendiri.
Adapun murid-murid Imam Syafi’i di Mesir addalah Harmalah Ibn Yahya (w.266 H) yang cukup besar jasa-jasanya meriwayatkan kitab–kitab Imam Syafi’i dan Abu Ya’kub Yusuf Ibn Yahya al-Buati, seorang yang dihargai dan disayangi Imam Syafi’i serta ditujuk oleh beliau sebagai penggantinya.
Kemudian murid Imam Syafi’i adalah Abu Ismail Ib Yahya al-Muzani (w.264 H ), Muhammad Ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakim (w. 268 H), al-Rabi‟ Ibn Sulaiman Ibn Daud al-Izi (w. 256 H). diceritakan bahwa al Muzani  banyak mempunyai kitab-kitab  Syafi’i  dan menulis kitab  al-Mabsut dan  al-Mukhtasar  min  ‘Ilm  al-Syafi’i.  melalui  murid-murid  beliau  inilah, pandangan dan pemikiran Imam  Syafi‟i berkembang dan meluas ke berbagai kawasan  negeri  Islam  yang  hingga  sekarang  tetap  eksis  dan  lestari  diikuti oleh umat Islam.
4.    Karya-karya Imam Syafi’i
Ketokohan  dan  kepiawaian  Imam  Syafi’i  dalam  bidang  pemikiran hukum  memang  luar  biasa.  Hal  ini,  tidak  lain  karena  di   samping  beliau membaktikan  diri  mengajarkan  ilmu,  juga  aktif  menulis  dan  memb ukukan pandangan- pandangannya.
Karya beliau dalam bidang ushul fiqh adalah kitab  ar-Risalah. Kitab ini  khusus  membahas  tentang  ushul  fikih  yang  merupakan  kitab  pertama yang  ditulis  ulama  dalam  bidang  usul  fikih.  Di  dalamnya  Imam  Syafi’i menguraikan  dengan  jelas  cara-cara  mengistinbathkan  hukum.  Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.
Selain  kitab  ar-Risalah, Imam  Syafi’i  juga menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama  al-Umm.  Kitab  ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh,  yang  menekankan  praktek  ajaran  Islam.  Kitab  ini  ditulis  oleh  Imam Syafi’i ketika di Mesir. Beliau pergi ke Mesir pada tahun 204 H. Berdasarkan riwayat,  ketika  berada  di  Mesir  ini  Imam  Syafi’i  mencapai  puncak kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang fiqih. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali.
Kemudian  kitab  al-Musnad,  berisi  tentang  hadis-hadis  Nabi  saw yang dihimpun dari kitab  al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.  Selanjutnya  karya  beliau  adalah  Ikhtilaf  al-Hadis,  suatu  kitab  hadis yang  menguraikan  pendapat  Imam  Syafi’i  mengenai  perbedaan-perbedaan yang  terdapat  dalam  hadis.  Terdapat  pula  buku-buku  yang  memuat  ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti, al-Fiqh,  al-Muktasar  al-Kabir,  al-Mukhtasar  as-Shahir  dan  al-Fara’id. Ketiganya dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.
Sedangkan  di  Mesir  ada  Abu  Ya’qub  Yusuf  bin  Yahya  Al-Buthi, murid yang paling senior di Mesir, juga ada Ismail bin Yahya al-Muzani ia termasuk murid yang paling cerdas, pendapatnya yang brilian yang berbeda dengan  sang  Guru,  serta  memiliki  karya  antara  lain:  Al-Mukhtasar  AshShagir  dan  al-Jami’  Al-Kabir,  kemudian  ada  Ar-Rabi’  bin  Sulaiman  al-Muradi yang meriwayatkan kitab al-Umm dari Imam Syafi’i.
Berbagai  pandangan  baru  Imam  Syafi’i  muncul  di  Mesir sehingga dalam fiqih  Syafi’i  ditemukan dalam  Qaul  (pendapat) yaitu  Qaul al-Qadim dan  Qaul  al-Jadid. Disebabkan  karena  Imam  Syafi’i  berhadapan  dengan  adat  dan  tradisi  masyarakat  yang  berbeda  dengan  apa  yang  ia  lihat  dan rasakan  ketika  berada  di  Makkah,  Hijaz  dan  Baghdad  (Irak).  Dengan perbedaan ini, maka Imam  Syafi’i merubah pendapatnya mengenai beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat Mesir. Di  samping itu, ketika Imam  Syafi’i  berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan  banyak  mendengar  dan  menemukan  hal-hal  yang  belum  ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
    Imam  Syafi’i ketika datang ke Mesir, pada umumnya penduduk Mesir saat itu mengikuti Madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Memudian setelah ia  membukukan  kitabnya  (qaul  jadid),  ia  mengajarkannya  di  Masjid, Amr Ibn, Ash,  maka  mulai  berkembanglah  pemikiran  mazhabnya  di  Mesir, apalagi di waktu  itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama,  seperti,  Muhammad  Ibn  Abdullah  Ibn  Abd  al-Hakam,  Ismail  Ibn Yahya,  al-Buwaithiy,  al-Rabi’,  al-Jiziy,  Asyhab  Ibn  al-Qasim  dan  Ibn Mawaz.  Mereka  adalah  ulama  yang  berpengaruh  di  Mesir.  Inilah  yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai ke seluruh pelosok.
Penyebaran  mazhab  Syafi’i  ini  antara  lain  di  Irak,  lalu perkembang dan  tersiar  ke  Khurasan,  Pakistan,  Syam,  Yaman,  Persia,  Hijaz,  India, daerah-daerah  Afrika  dan  Andalusia  sesudah  tahun  300  H.  Kemudian mazhab  Syafi’i ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh  pelosok  negara-negara  Islam,  baik  di  Barat  maupun  di  Timur  yang dibawa  oleh  para  muridnya  dan  pengikut-pengikutnya  dari  satu  negeri  ke negeri  lain,  termasuk  Indonesia.  Kala  kita  melihat  praktik  ibadah  dan mu’amalah   umat  Islam  di  Indonesia,  pada  umumnya  mengikuti  mazhab Syafi’i. Hal ini karena disebabkan karena beberapa faktor :
a.    Setelah  adanya  hubungan   Indonesia  dengan  Makkah  dan  diantara  kaum  muslimin  Indonesia  yang  menunaikan  ibadah  haji,  ada  anggapan bermukim  di  sana  dengan  maksud  belajar  ilmu  agama.  Guru-guru mereka  adalah  ulama-ulama  yang  bermadzhab  Syafi’i  dan  setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b.    Hijrahnya  kaum  muslimin  dari  Hadhramaut  ke  Indonesia  adalah merupakan sebab yang penting pula bagi  tersiarnya madzhab  Syafi’i di Indonesia, karena ulama Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
c.    Pemerintah  kerajaan  Islam  di  Indonesia  selama  zaman  Islam mengesahkan  dan  menetapkan  Mazhab  Syafi’i  menjadi  haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor  kepenghuluan  dan  Pengadilan  Agama,  hanya mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah, seperti kitab  al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d.    Para  pegawai  jawatan  dahulu  hanya  terdiri  dari  ulama  mazhab Syafi’i kerena belum ada yang lainnya.
B.    Pemikiran Imam Syafi’i tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar karena Suami Meninggal Dunia.
Seperti  yang  telah  dijelaskan  di  dalam  latar  belakang  pada  bab  I  di  atas,tentang    mahar  hutang  yang  belum  belum  dibayar  karena  suami  meninggal dunia,  bahwa  menurut  pemikiran  Imam  Syafi’i,  mahar  tetap  wajib  dibayar  oleh suami  kepada  istri  baik  qabla  dukhul  maupun  ba’da  dukhul.  pemikirannya dijelaskan dalam kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ






















BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN  IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG
YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGGAL DUNIA DALAM TINJAUAN TAFSTIR
A.    Dasar  Pemikiran  Imam  Syafi’i   tentang  Mahar  Hutang  yang  Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
Dalam  bab  ini  peneliti  menganalisis  Pemikiran  Imam  Syafi’i  tentang mahar  hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Sebagaimana yang  telah  dijelaskan  dalam  bab  III  di  atas,  bahwa  mahar  merupakan  sesuatu yang  harus  ada  dalam  sebuah  pernikahan.  Akan  tetapi,  dalam  hal  ini  masih terjadi perbedaan  Pemikiran  dari  beberapa  Imam  Mazhab,  terutama  dalam  hal pemberian  mahar  baik  sebelum  maupun  setelah  terjadi   hubungan  suami  istri. Apakah  mahar  tetap  diberikan  atau  menjadi  gugur  ketika  suami  meningggal dunia karena belum maupun setelah terjadi hubungan suami istri?
Pemikiran   Imam  Syafi’i  sendiri  berbeda  den Pemikiran gan  pendapat  imam  lainnya. Perbedaan  pendapat  merupakan  sesuatu  yang  biasa  karena  pemahaman  para imam mazhab  sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki serta sosio-kultur masyarakat dimana ia berada.
Dalam  masalah  mahar  Imam  Syafi’i  berpendapat,  bahwa  mahar  harus dibayarkan  oleh  suami  meskipun  telah  meninggal  dunia  baik  sudah  terjadi dukhul maupun qabla dukhul karena hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Umm sebagai berikut : 
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ                             
Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad  pernikahan  seperti  yang  telah  diterangkan  dalam  Pemikiran nya,  Imam Syafi’i  memandang  bahwa apabila suami tidak dapat membayar mahar dengan uang  maka  dapat  diganti  dengan  barang  yang  jumlah  sama  seperti  nilai  uang yang disebutkan, atau apabila tidak mampu  dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.
Apabila  akad  nikah  berlangsung  tidak  disebutkan  berapakah  maskawin yang  akan  diberikan,  perkawinan  itu  sah,  tetapi  maskawin  itu  tetap  wajib dibayar, dan disebut  mahar mitsil, yaitu maskawin yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada si isteri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai  ukuran, berapakah biasanya maskawin perempuan dikalangan keluarga si isteri tersebut. Maskawin  itu  boleh  saja  dibayarkan  tunai  dan  sebagian  dibayarkan  kelak. Tentang  hal  ini  diserahkan  bagaimana  kebiasaan  di  dalam  masyarakat.  Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan isteri, atau suami meninggal,  dan  belum  terjadi  hubungan  seksual,  mahar  wajib  dibayarkan seluruhnya.
Menurut  Imam  Syafi’i,  bahwa  apabila  hutang  tersebut  tidak  diketahui secara detail, tetapi secara global misalnya, akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditentukan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak), maka mahar musamma-nya fasid dan ditetapkanlah mahar mitsil.
Dalam  hal  ini,  kalau  Imam  Hanafi  dikenal  sebagai  pemikir  rasional  dan Imam  Malik  dikenal  sebagai  pemikir  tradisional,  maka  Imam  Abi  ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i berada diantara keduanya. Penyebab utamanya adalah
1.    Imam  Syafi’i  pernah  tinggal  di  Hijaz  dan  belajar  pada  Imam  Malik, selanjutnya ia pindak ke Irak dan belajar pada murid-murid Imam Hanafi.
2.    Imam Syafi’i adalah pengembara ke berbagai kota dan akhirnya pindah ke Mesir, daerah yang kaya dengan warisan budaya Yunani, Romawi, Persia dan Arab.
Kedua  fakor  utama  itulah  yang  membuat  corak  pemikiran  Imam  Syafi’i merupakan  sintesis  dari  corak  pemikiran  Imam  Hanafi  dan  Imam  Malik, sehingga ia dikenal sebagai faqih yang moderat.
Kemoderatan Imam Syafi’i  dalam berpendapat juga  dipengaruhi  oleh adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada  di  Makkah,  Hijaz  dan  Baghdad  (Irak).  Kemudian,  ketika  Imam  Syafi’i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
Meskipun  Pemikiran  Imam  Syafi’i  sudah  jauh  ratusan  tahun  lalu  yang dikemukan  pada  masanya.  Akan  tetapi,  saat ini  masih  relevan  dengan  keadaan sekarang  sehingga  dapat  memberikan  kontribusi  dalam  penyusunan  sebuah hukum  misalnya,  di  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI),  disana  banyak ketentuan-ketentuan  yang  mengadopsi  dari  fiqih  Syafi’iyah.  Hal  ini  menjadi bagian dari eksistensi pemikiran Imam Syafi’i sampai saat ini.
Di  samping  itu,  Imam  Syafi’i  sangat  berhati-hati  dalam  mengemukakan Pemikiran nya, karena dalam pengembaraan baik di Irak maupun di Mesir hingga melahirkan  Qaul  Qadim  dan  Qaul  Jadidnya,  merupakan  sebuah  pengalaman keilmuan  yang  sangat  berharga  baginya  sehingga  Imam  Syafi’i  mengetahui secara pasti bagaimana  menerapkan hukum pada  kondisi mayarakatnya saat itu.
Imam Syafi’i  memiliki Pemikiran jauh ke depan sebelum    mengemukakan pendapatnya,  ini  menunjukkan  seorang  pemikir  yang  cerdas  karena  melihat biografinya  saja,  ketika  di  usia  anak-anak  sudah  mampu  menghafal  al-Qur’an, membaca  dengan  tartil  dan  fasih    serta  memahami  makna  yang  terkandung  di dalamnya.
Karena  seperti  yang  telah  disebutkan  di  atas,  bahwa  keberadaan  wanita sangat dihormati oleh Islam, karena  mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati  suami  benar-benar  mencintai  istrinya  sehingga  setiap  terjadi  pernikahan haknya untuk menerima mahar pun secara otomatis harus diterima oleh istri.   Di samping itu mahar menjadi konskuensi dari adanya akad nikah.   Karena menurut Imam  Syafi’i  bahwa  mahar  merupakan  pemberian  wajib  dari  suami  kepada istrinya  ketika  terjadi  akad  nikah,  sehingga  meskipun  suami  meninggal  baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri  mahar tetap wajib diberikan. Dalam kewajiban membayar mahar sudah diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 yang telah dipaparkan di atas.
Dan inilah hasil dari bentuk ihtiar beliau dalam mengqiaskan suatu dalil untuk mendapatkan sebuah dasar hukum untuk kita jadikan pedoman dalam menentukan sebuah persoalan seputar mahar.
Inilah   bunyi  pada  ujung  surat  an-Nisa’  ayat  4  yang  artinya  “ Tetapi Jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu  sebagian  dari  maskawin  itu  dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)  yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu  sehingga telah  menjadi dia  yang  empunya.  Sebagaimana  barang-barang  di  dalam  rumah  itu,  baik pemberian ayah  dan  bundanya atau hadiah dari suaminya  sendiri adalah haknya mutlak.  Laki-laki  yang  beriman  dan  berbudi  tidak  akan  mengganggu  hak  itu. Tetapi,  kalau  dia  rela  memberikan  sebagian  daripadanya,  karena  kasih  sayang yang  telah  terjalin,  tidak  masalah  yaitu  setelah  jelas  bahwa  itu  telah  ke tangannya.  Tetapi,  dengan  ini  tidak  berarti  bahwa  perempuan  itu  atau  walinya diperbolehkan  maafkan  mahar  saja  sebelum  akad  nikah.  Hati  bersih  tidaklah berarti  bahwa  ketentuan  agama  boleh  dirubah.  Terima  dahulu  mahar  itu,  maka setelah  di  tangan,  bolehkan  kalau  hendak  memberi  pula  kepada  suami  dengan hati cinta.
Pemikiran Imam  Syafi’i  tersebut  lebih  dinamis  serta  banyak  dipakai  oleh generasi-generasi  selanjutnya.  Sebagai  contoh,  untuk  konteks  masyarakat muslim  khususnya  di  negara  Indonesia  yang  mayoritas  menganut  fiqih Syafi’iyah,  dalam  hal  pemberian  mahar  saja  kebanyakan  masyarakat  tidak memasang  batasan  yang  sangat  tinggi  akan  tetapi  tergantung  kesepakatan dari keduanya  sehingga  kecil  kemungkinan  suami  untuk  menghutang  mahar  karena suami  dapat  menunaikan  secara  langsung  maharnya  pada  waktu  terjadi  akad pernikahan.
B.    Istinbath  Hukum  Imam  Syafi’i  Dalam Tinjauan Tafstir
Di  dalam  buku metodologisnya, ar-Risalah,  ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar  mazhabnya  dan  beberapa  contoh  bagaimana  merumuskan hukum  far’iyyah  dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Menurutnya, al-Qur’an dan  sunnah  berada  dalam  satu  tingkat,  dan  bahkan  merupakan  satu  kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori seperti qiyas, istihsan, istishab  dan ain-lain  hanyalah  merupakan  suatu  metode  merumuskan  dan  menyimpulkan hukum dari sumber utama tadi.
Pemahaman  integral  al-Qur’an  dan  Sunnah  ini  merupakan Karakteristik menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i.  Menurut Imam  Syafi’i, kedudukan sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an,  memerinci  yang  global,  mengkhususkan  yang  umum,  dan  bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya,  sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai keterkaitan erat  dengan al-Qur’an. Hal  ini  dapat  dipahami  karena  al-Qur’an  dan  sunnah  adalah  Kalamullah:  Nabi Muhammad saw tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan firmanNya QS Haaqah :40-43.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43)                        
Hipotesa  menarik  lainnya  dalam  pemikiran  metodologis  Syafi’i  adalah pernyataannya,  “Setiap  persoalan  yang  muncul  akan  ditentukan  ketentuan hukumnya  dalam al-Qur’an”. Untuk membuktikan hipotesanya itu, Imam  Syafi’i menyebut empat cara al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
Mengenai masalah mahar,  ditinjau  dari asbab al-nuzul  surat an-Nisa’ ayat 4 di  atas  bahwa  dalam  tafsir  jalalain  ada  keterangan  sebagai  berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih katanya :  ”Dulu jika seorang laki-laki  mengawinkan  putrinya,  diambil  maskawinnya  tanpa  memberikan padanya,  maka  Allah  pun  melarang  mereka  berbuat  demikian,  sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa. 
Dalam Tafsir al-Azhar mengenai surat an-Nisa’ ayat 4 bahwa kata shadaq atau shaduqat yang dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati.  Jadi harta yang diberikan dengan putih hati , hati suci, muka jernih kepada calon isteri. Kemudian di dalam ayat ini disebut  nihlah, yang diartikan sebagai kewajiban. Supaya cepat saja dipahami, karena mahar itu wajib dibayar. Qatadah memang  memberi  arti  :  pemberian  fardhu.  Ibnu  Juraij  mengartikan,  pemberian yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat bahwa kata  nihlah itu  dari  rumpun  kata  an-Nahl,  bermakna  lebah.  Laki -laki  mencari  harta  yang halal  laksana  lebah  mencari  kembang,  yang  kelak  menjadi  madu.  Hasil  jerih payah sucinya itulah yang akan diserahkannya kepada calon isterinya.
Selanjutnya  bunyi  pada  ujung  surat  an-Nisa’  ayat  4  yang  artinya  “ Tetapi Jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu  sebagian  dari  maskawin  itu  dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)  yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu  sehingga telah  menjadi dia  yang  empunya.  Sebagaimana  barang-barang  di  dalam  rumah  itu,  baik pemberian ayah  dan  bundanya atau hadiah dari suaminya  sendiri adalah haknya mutlak.  Laki-laki  yang  beriman  dan  berbudi  tidak  akan  mengganggu  hak  itu. Tetapi,  kalau  dia  rela  memberikan  sebagian  daripadanya,  karena  kasih  sayang yang  telah  terjalin,  tidak  masalah  yaitu  setelah  jelas  bahwa  itu  telah  ke tangannya.  Tetapi,  dengan  ini  tidak  berarti  bahwa  perempuan  itu  atau  walinya diperbolehkan  maafkan  mahar  saja  sebelum  akad  nikah.  Hati  bersih  tidaklah berarti  bahwa  ketentuan  agama  boleh  dirubah.  Terima  dahulu  mahar  itu,  maka setelah  di  tangan,  bolehkan  kalau  hendak  memberi  pula  kepada  suami  dengan hati cinta.
Di  samping  itu,  kata  nihlah,  menurut  Abi  Sholih  mempunyai  tiga  ta’wil (penafsiran).  Pertama,  bahwa  dia  wajib  membayarkan  mahar  artinya  diamempunyai  hutang  kepada  isterinya.  Kedua,  kerelaan  hati  seorang  isteri  akan terbayar  ketika mahar itu diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan  membayar mahar kepada suami sesudah mempunyai hak memiliki dari wali isterinya.
Dalam  masalah mahar  ada  dua  alasan  yang  mendasari mengapa mahar  itu wajib  diberikan  seperti  yang  diterangkan  Al-Mawardi  dalam  kitab  al-Hawi  al-Kabir  yaitu,  pertama,  menurut jumhur ulama bahwa mereka (suami istri) terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua, dilihat dari sisi lain mereka adalah wali Karena mereka itu (orang-orang jahiliyah) memiliki kewajiban membayar mahar kepada perempuan. Maka Allah memerintahkan untuk membayar mahar kepada mereka (isteri).
Oleh  karena  itu,  setelah  mengetahui  baik  dari  asbab  an-nuzul  maupun Penafsiran  dari  surat  an-Nisa’  ayat  4,  bahwa  mahar  menjadi  kewajiban  yang harus  dibayarkan  oleh  suami  kepada  isterinya  ketika  terjadi  akad  pernikahan. Suami  pun  tidak  diperkenankan  mengambil  kembali  kecuali  atas  kerelaan  hati dari isterinya  sendiri. Sehingga dalam hal ini penulis sepakat bahwa mahar wajib diberikan  kepada  isteri  dari  seorang  suami  ketika  terjadi  akad  pernikahan. Karena  dalam  tafsir di atas  juga  disebutkan  bahwa kata  nihlah  itu dari rumpun kata  an-Nahl,  bermakna  lebah.  Seorang  laki -laki  mencari  harta  yang  halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu sehingga hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diberikan kepada calon isteri nantinya.
Maka  dalam  hal  kewajiban  membayar  mahar,  Imam  Syafi’i  mengambil dalil al-Qur’an sebagai istinbath hukumnya  yang sudah  disebutkan dalam bab 3 di atas, yang diterangkan dalam  bab as-Shidaq  Kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam  al-Mawardi.  Penulis  mencantumkan  istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  yang diambil dari kitab al-Hawi al-Kabir karena pengarang kitab tersebut dari mazhab Syafi’iyah  sehingga  pemikirannya  pun  sama  dengan  penggagasnya,  Imam Syafi’i. Penafsiran Imam Syaf’i tentang surat an-Nisa’ ayat 4 di atas sudah jelas, bahwa  mahar  sesuatu  yang  wajib  diberikan  oleh  seorang  suami  terhadap  istri ketika  terjadi  akad  pernikahan  meskipun  suami  belum  maupun  sudah  terjadi ubungan  suami  istri.  Karena  surat  an- Nisa’  ayat  4  merupakan  satu  kesatuan alam pemberian mahar baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri.
Maka  sudah  jelas,  bahwa  ketentuan  segala  sesuatu  itu  merujuk  pada  al Qur’an  dan  sunnah.  Menurut  Imam  Syafi’i,  “Kembalikanlah  pada  Allah  dan Rasul”,  artinya,  kembalikanlah  al-Qur’an  dan  sunnah.  Pengembalian  itu  hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, ia ingin menyebutkan bahwa  ijtihad  merupakan  perintah  al-Qur’an  itu  sendiri  dan  bukan  melakukanrekayasa hukum.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui dengan jelas, bahwa sikap moderat Imam  Syafi’i  telah  digambarkan  dalam   kitab  metodologisnya,  ar-Risalah.  Ia begitu  teguh  dalam  berpegang  pada  al-Qur’an  dan  sunnah  dan  pada  saat  yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Menurut  Imam  Syafi’i,  struktur  hukum  Islam  dibangun  atas  empat  dasar yang  disebut  “sumber-sumber  hukum”.  Sumber-sumber  tersebut  adalah  al-Qur’an,  sunnah,  ijma’  dan  qiyas.  Meskipun  ulama  sebelumnya  juga menggunakan keempat dasar di atas. Namun, rumusan Imam Syafi’i mempunyai suasana  dan  pandangan  yang  baru,  dalam  penggunaan  ijma’ misalnya,  Imam Syafi’i tidak sepenuhnya meniru Imam Malik yang masih terkesan global tanpa penjelasan dan batasan yang jelas.
Disisi lain, penulis membandingkan tentang surat al-Baqarah ayat 236 yang menjelaskan bahwa suami tidak berkewajiban membayar maskawin atau mahar ketika  menceraikan  istrinya  sebelum  berhubungan  suami  istri  dan  ketika  akad pernikahan  maharnya  belum  ditentukan.  Karena  pendapat  Imam  Malik  bahwa mahar  diberikan  ketika  sudah  berhubungan  atau  bersenang-senang  (istimta’) dengan  istrinya.  Akan  tetapi,  Imam  Syafi’i  berpendapat  bahwa  mahar  tetap diberikan ketika sudah terjadi  akad pernikahan  meskipun belum maupun sudah melakukan hubungan suami istri.
Apapunbentuknya ketika memiliki manfaat yang bisa diterima mempelai wanita,  dapat dijadikan mahar.  Bahkan ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari  yang  menjelaskan,  bahwa  Rasulullah  saw  saat  itu  pernah  berkata kepada  seseorang  yang  datang  kepada  Rasul  untuk  menikah  :  Cobalah  cari walaupun  sebentuk  cincin  besi.  Orang  itu  pun  mencari  tetapi  tidak  mendapat papun  juga.  Nabi  saw.  Kemudian  berkata  kepadanya:  Apakah  engkau mempunyai  sesuatu  dari  al-Qur’an?  Orang  tersebut  menjawab  :  Ya,  surat  anu, orang tersebut menyebutkan suatu surat tertentu. Nabi akhirnya berkata : Baiklah aku (Rasulullah) kawinkan kamu berdua dengan maskawin  beberapa  surat dari al-Qur’an.
Juga ada sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika ‘Ali menikah  dengan  Fatimah,  Rasullullah  saw  bersabda  kepada  Ali  “Berilah  ia sesuatu !” Ali menjawab : Aku tidak punya apa -apa kemudian Rasulullah saw bertanya  “Manakah  baju  besimu  dari  Huthamiyah  itu?”.  Kemudian Ali  pun memberikan baju besi itu kepada Fathimah, lalu ia mencampurinya.
Kejadian ini menggambarkan betapa dalam ajaran Islam sangat menghargai kedudukan  dan kehormatan  seorang  wanita  dengan memberikan hak kepadanya, berupa mahar ya’ni  dengan beberapa surat dari al-Qur’an sekalipun.  Disisi lain,penafsiran tentang ayat tersebut  mencerminkan sikap kemoderatan Imam Syafi’idalam menetapkan  suatu    hukum. Imam Syafi’i tidak memberi batasan  minimal maupun  batasan  maksimal  dalam  masalah  mahar,  sehingga  ini  menjadi  bagian kecil  dari  gambaran  seorang  faqih  yang  dinamis  dalam  menetapkan  sebuah hukum.
Selanjutnya  analisis  hadis  yang  digunakan  Imam  Syafi’i  tentang  masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Hadis tersebut elah diriwayatkan  oleh Imam Tirmidzi sehingga kesahihannya  tidak diragukan lagi.
Syarih berkata :  Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati  suaminya  sesudah  akad  nikah  berlangsung,  sebelum  ditentukan  maharnya dan belum dicampuri, maka berhak menerima mahar penuh. Begitulah pendapat Ibnu  Mas’ud,  Ibnu  Sirin,  Ibnu  Abi  Laila,  Abu  Hanifah  dan  teman-temannya, Ishaq  dan  Ahmad.  Dan  Hakim  pernah  meriwayatkan  dalam  mustadraknya  dari Harmalah  Ibn  Yahya,  bahwa  ia  pernah  mendengat  Imam  Syafi’i  berkata  :  jika sah  hadis  Barwa’  bin  Wasyiq  itu,  maka  aku  berpendapat  seperti  itu.  Hakim berkata : Syekh kami, Abu  Abdillah berkata : Kalau seandainya Syafi’i berada di tempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata : Hadis (hadis Barwa) itu adalah sah, maka berpendapatlah engkau (hai Syafi’i) seperti itu.
Menurut  pemahaman  peneliti,  bahwa  hadis  yang  digunakan  sebagai istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  merupakan  hadis  yang  sahih  karena  memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai hadis sahih diantaranya :
a.    Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya  bahwa  periwayat  dalam  sanad  menerima  riwayat  hadis  dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung dari awal hingga akhir sanad. Untuk membuktikan apakah antara periwayat itu bersambung atau tidak, dapat dilihat dari usia dan tempat tinggal mereka. Selain itu juga dapat dilihat dari cara tahammul wa ‘ada’ al-hadis yang mereka gunakan.
b.    Diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
Secara  leksikal,’adil  berarti  lurus,  tidak  berat  sebelah,  tidak  zalim,  tidak menyimpang,  tulus  dan  jujur.  Secara  terminologi,  seseorang  dapat dikatakan  ’adil  jika  ia  memiliki  sifat-sifat  ketakwaan,  seperti  senantiasa melaksanakan  perintah  dan  menjauhi  larangan,  aqidahnya  benar,  dirinya terpelihara  dari  dosa  besar  dan  dosa  kecil,  senantiasa memelihara  ucapan dan  perbuatannya  yang  dapat  menodai  muru’ahnya,  di  samping  ia  harus Muslim, balig, berakal dan tidak fasik.
c.    Diriwayatkan oleh periwayat yang dhabith
Secara leksikal dhabith  kokoh, kuat, hafal dengan sempurna. Menurut Ibnu Hajar  al-Asqalani,  periwayat  yang  dhabith  adalah  periwayat  yang  kuat hafalannya  terhadap  apa  yang  pernah  didengarnya,  kemudian  mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja manakala diperlukan.
d.    Terhindar dari syadz (janggal)
Syadz  berarti  janggal,  menyalahi  aturan,  atau  menyimpang.  Secara terminologi,  syadz  ialah  hadis  yang  diriwayatkan  oleh  periwayat  yang tsiqah,  tetapi  riwayatnya  bertentangan  dengan  riwayat  yang  dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lain.
e.    Tidak mengandung illat (cacat)
Illat  berarti penyakit, cacat, keburukan. Menurut istilah „illat  berarti suatu sebab  yang  tersembunyi  atau  yang  samar-samar,  yang  karenanya  dapat merusak  kesahihan  hadis  tersebut.  Dikatakan  samar-samar,  karena  jika dilihat  dari  segi  lahirnya  hadis  tersebut  terlihat  sahih.  Illat  kemudian mengakibatkan kualitas hadis menjadi lemah dan tidak sahih.
Melihat  persyaratan di atas untuk disebut sebagai hadis sahih  yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, maka jelas karena hadis tersebut menerangkan bahwa  Rasulullah  saw  pernah  memutuskan  Barwa  binti  Wasyiq  seperti  apa yang disampaikan Ibnu Mas’ud ketika dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi  perempuan  dan  dia  belum  memberinya  mahar  dan  juga  belum melakukan  hubungan  suami  istri  sampai  dia  meninggal.  Ibnu  Mas’ud  berkata: baginya  mendapat  mahar  sebagaimana  mahar  istrinya.  Dan  dia  berkewajiban ‘iddah dan berhak mendapatkan warisan.
Dari  gambaran  kasus  ini  berarti  istinbath  hukum  Imam  Syafi’i  memakai hadis  tentang  mahar  hutang  karena  suami  meninggal  dunia  tetap  wajib dibayarkan,  meskipun belum terjadi hubungan suami istri, apalagi sudah terjadi hubungan suami istri, mahar tetap menjadi kewajiban  penuh oleh  seorang suami kepada istri.















BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Demikian  seluruh  rangkaian  pembahasan  tentang  mahar  hutang  yang belum  dibayar  karena  suami  meninggal  dunia  telah  selesai,  maka  penulis mengambil suatu kesimpulan :
1.    Pemikiran  Imam  Syafi’i  tetap  mewajibkan  membayar  mahar  bagi  seorang suami kepada seorang istri, meskipun suami sudah meninggal dan belum maupun  telah  terjadi  hubungan  suami  istri  serta  belum  menentukan maharnya  ini didasarkan pada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 serta hadis Nabi saw  yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagaimana yang telah disebutkan  di  atas.  Kedua  dasar  inilah  yang  dijadikan  metode  istinbath hukum Imam  Syafi’i.  Menurut penulis dalil tersebut cukup kuat dan hadis yang  disebutkan  juga  sahih  karena  dari  segi  riwayatnya  sangat  kuat  dan segi  matannya  tidak  bertentangan  dengan  al -Qur’an  dengan  peran  dan fungsi serta perkawinan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2.    Dalam tinjauan hukum pernikahan Islam pemikiran Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meningggal dunia adalah pemikiran  yang lebih sesuai maslahat syari’ah. Karena itu bentuk dari kesungguhan seorang suami kepada istrinya serta sebagai penghormatan laki-laki terhadap wanita sebagaimana yang telah dianjurkan oleh rasulullah walaupun dalam sekala kecil, beliau bersabda Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan (mahar) cicin yang terbuat dari besi”.(HR. al-Bukhari, Ahmad, Ibnuh, Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)
 B. SARAN
Membicarakan Masalah mahar memang sangat penting terutama menjelang seseorang  ingin  melaksanakan  pernikahan.  Terkadang  hanya  karena  masalah mahar akhirnya  bisa menjadi bahan pembicaraan yang kurang berkenan di hati mempelai bahkan  di  lingkungan  masyarakat  sekitarnya. Dalam hal ini  pemikiran Imam  Syafi’i  memberikan  pandangan  yang  ideal  dalam  menetapkan  mahar sehingga  dapat  dijadikan  acuan  dalam  rangka  memberikan  mahar  dari  calon uami  kepada  calon  istri.  Berkaitan  dengan  tema  ini  penulis  memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1.    Hendaknya para calon mempelai ketika ingin melakukan pernikahan perlu membicarakan  mahar  sesuai  kesepakatan  antara  pihak  suami  dan   pihak istri.  Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yag tidak diinginkan ketika sudah menjalani kehidapan bersama dalam rumah tangga nantinya.
2.    Para  calon  mempelai  perlu  memahami  bahwa  mahar  merupakan  sesuatu cara  untuk  mempererat  tali  kasih  sayang  diantara  mereka   serta  simbol ketulusan hati seorang suami kepada istri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,  Sulaiman,  Sumber  Hukum  Islam;  Permasalahan  dan  Fleksibilitasnya,  Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
lhamdani,  H.S.A,  Risalah  Nikah  ;  Hukum  Perkawinan  Islam,  Terj.  Agus  Salim,  Jakarta : Pustaka Amani, 1989.
Ali,  Zainuddin,  Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika,  2007.
Amin,  Muhammadiyah,  Ilmu  Hadis,  Gorontalo  :  Sultan  Amai  Press  bekerjasama dengan Grha Guru Yogyakarta, 2008.
Amrin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, Jakarta : PT RajaGrafindo  Persada, 1995.
Arikunto,  Suharsimi,  Prosedur  Penelitian  Suatu  Pendekatan  Praktek,  Jakarta  : Rineka Cipta, 1993.
Atmaja,  Dwi Surya,  Terjemahan Al-Muwwatta’, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Al-Bukhari,  Al-Imam  Abu  Abdillah  Ibn  Ismail,  Sahih  al-Bukhari,  Juz  V,  Beirut  : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Daly,  Peunoh,  Hukum  Perkawinan  Islam:  Suatu  Studi  Perbandingan  dalam  Kalangan  Ahlus-  Sunnah  dan  Negara-negara  Islam,  Jakarta  :  Bulan  Bintang, 1988.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.
Dewan  Redaksi  Ensiklopedi  Islam,  Ensiklopedi  Islam,  cet.  IV,  Jakarta  :  PT  Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005.
Al-Fannani,  Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari,  Terjemahan Fathul Mu’in,  Jilid
2, cet. III, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2005.
Al-Fauzan,  Saleh,  Al-Mulakhkhasul  Fiqhi,  Terj.  Abdul  Hayyie   Al -Kattanie,  dkk,  Jakarta : Gema Insani, 2006.
Ghazaly, Abd. Rahman,  Fiqh Munakahat, Bogor : Kencana, 2003.
Hadi,  Sutrisno,  Metodologi  Research,   Jilid  I,  Yogyakarta  :  Yayasan  Penerbitan  Fakultas Psikologi UGM, 200.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, Jakarta : Yayasan  Nurul Islam, 1981.
 _______ , Tafsir Al-Azhar, urong Town : Pustaka Nasional PTE LTD, 1999.
Hasan,  A.  Qadir,  dkk,  Terjemahan  Nailul  Authar  Himpunan  Hadis-Hadis  Hukum,       Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984.
Al-Hussaini,  Imam Taqiyuddin Abubakar Ibn Muhammad,  Kifayah al-Ahyar,  Juz II,  Beirut : Daar al- Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Al-Jandul,  Said Abdul Aziz,  Wanita Dibawah Naungan Islam,  Jakarta : CV Firdaus, 1997.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. S. Ziyad ‘ Abbas, Jakarta : PT Multi Kreasi Singgasana, 1991.
Jalalayn,  Imam,  Tafsir  Jalalain,  Terj.  Mahyudin  Syaf,  dkk,  Bandung  :  Sinar  Baru , 1990.
Khalil,  Rasyad Hasan,  Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar  Grafika Offset, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Al-Mawardi,  Imam Abi al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib, Kitab al-Khawi alKabir, Juz IX, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Munawwir,  Ahmad  Warson,  Kamus  Al-Munawwir  Arab-Indonesia  Terlengkap, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib al-Khamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001.
MS, Burhani, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jombang : Lintas Media, 2002
Mubarok,  Jaih,  Modifikasi  Hukum  Islam  ;  Studi  Tentang  Qawl  Qadim  dan  Qawl  Jadid, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, cet. III, Semarang : CV Toha Putra, 1993.
Nasution,  Lahmidin,  Pembaharuan  Hukum  Islam  dalam  Madzab  Imam   Syafi’i,  Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007.
S.A, Romli, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Ibn Surrah,  Imam ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa,  Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Syihab Umar,  Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran,  Semarang : Dina Utama, 1996.
 Syarifuddin, Amir,  Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Group, 2009.
Sirry,  Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Asy-Syafi’i,  Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris,   Al Umm, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al- Ilmiyah, tth.
_________,  Al-Imam Abu ‘Abdillah  Muhammad Ibn Idris,   ar-Risalah, Mesir :  al-‘Ilmiyah,    1312 H.
Asy-Syarqawi,  Abdurrahman,  Riwayat  Sembilan  Imam  Fiqih,  Bandung  :  Pustaka  Hidayah, 2000.
Ash-Shiddieqy,  T.M  Hasbi,  Pokok-Pokok  Pegangan  Imam-Imam  Madzhab  Dalam  Membina Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
__________,  Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006.
Syafi’i,  Imam,  ar-Risalah  Imam  Syafi’i,  Terj.  Ahmadie  Thoha,  Jakarta  :  Pu staka  Firdaus, 1986.
Shiddiqi,  Nourouzzaman,  Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:  Pustaka pelajar Offset, 1997.
Tim Penyusun Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV  Penerbit J-ART, 2005.
T im  Penyusun  Departemen  Agama,  Ilmu  Fiqh,  cet.  II,  Jakarta :  Proyek  Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984.
Thalib, M, Perkawinan Menurut Islam, Cet.II, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993.
Tim Redaksi Fokusmedia,  Kompilasi Hukum Islam, cet. II, Bandung : Fokusmedia, 2007.
‘Uwaid,  Syaikh  Kamil  Muhammad,  Fiqih  Wanita,  Terj.  M  Abdul  Ghoffar  E.M,  Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Yanggo,  Huzaemah  Tahido,  Pengantar  Perbandingan  Mazhab,  Jakarta  :  Logos, 1997.
Zahrah, Mahammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005.
Zed,  Mestika, Metodologi Penelitian Kepustakaan, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia,  2004.













Lampiran 1
TERJEMAHAN AYAT
NO    HALAMAN    TERJRMAHAN AL-QUR’AN
1    1



    Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….”(QS. an-Nisa’ : 1)
2    2, 14 dan 18    Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (Q.S. an-Nisa : 4)
4    16    “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di  antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (Q.S an-Nisa’ : 20-21)
5    17,21    Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”. (al-Baqarah : 237)
6    18    Berikanlah kepada perempuan-perempuan maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu pemberian yang ikhlas (Q.S an-Nisa :24)
7    21    Jika kamu menukar istri dan kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka sebesar qinthar maka janganlah kau ambil dari padanya sedikitpun, apakah kamu mau mengambil secara kebohongan dan dosa yangnyata ?”. (Q.S an-Nisa’: 20)
8    21    Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)
    23    Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya (Q.S al-Baqarah :
236)
9    24    Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah urusanmu”. (Q.S al-Qashash :27).
10    45    Sesungguhnya al-Quran itu adalah benar-benar wahyu  Allah
yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula Perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia  dalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.(Q.S  l-Haqqah : 40-43)











RIWAYAT HIDUP PENULIS

1.    Nama Lengkap        : Winanto
2.    Tempat, Tanggal Lahir     : Batang, 07 Agustus 1990
3.    Agama             : Islam
4.    Kebangsaan            : Indonesia   
5.    Status Perkawinan        : Belum Menikah
6.    Alamat                : Batang Jawa tengah

7.    Pendidikan            :
a.    SD                : SDN Kaliboyo 02 Tulis
b.    SMP            : SMPN 01 Tulis
c.    SMA            : SMAN 02 Batang
d.    PT                : Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS)
                                            Hidayatullah Balikpapan 2015
     
       8.  Organisasi            : -Ketua osis SMAN 02 Batang
                                                              - Kurma dan Rois SMAN 02 Batang
                                                              - Anggota IMHI
                       - Anggota AL-Muzamil Mahasiswa
                                                              - Departemen Kepengasuhan BEM STIS 2014
                   


 
       9. Orang Tua           
a.    Ayah           
Nama            : Suharno
Pekerjaan            : Petani
8.    Alamat                :  Batang Jawa tengah

         b.    Ibu
                Nama            : Siti Nurkuat
                Pekerjaan            : Ibu Rumah Tangga
            Alamat            : Batang Jawa tengah
                Anak ke/ Saudara        : 2 (Dua) dari 6 (Enam) bersaudara

                                                                                  Balikpapan, 28 Februari 2015
                                                                                                     Peneliti

                                                                                                      Winanto   



LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI TAHUN 2015

Nama    : Winanto
Nim    : 2011.08.15
Judul Skripsi    : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal Dunia
NO    TANGGAL    MATERI BIMBINGAN    PARAF
1.           
2.           
3.           
4.           
5.