BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam datang untuk menjaga dan memelihara kemuliaan wanita, serta menempatkannya pada tempat yang sesuai untuknya. Islam menjauhkan wanita dari perkara yang dapat mengurangi kemuliaannya. Diantara bentuk penjagaan itu Islam memerintahkan mereka menjaga kesopanan dalam pakaian dan dalam ntidak ada keperluan yang mendesak. Jika mereka terpaksa keluar rumah, Islam memerintahkan dengan banyak adab yang harus dilaksanakan, selain pekerjaan mereka masih diperbolehkan oleh Islam sesuai kodratnya. Semua itu agar dirinya lebih terjaga dan lebih suci, terlebih lagi agar Allah swt mendatangkan ridha-Nya pada mereka.
Sementara itu ciri khas seorang Muslim dan Muslimah adalah senantiasa menggantungkan hatinya kepada Allah swt adalah sesuatu yang paling baik baginya, selalu senyum dalam kondisi senang dan susah, tidak merasa rugi karena ditinggal orang yang dicintainya dan tidak merasa sedih karena ditimpa kesusahan, bahkan gemerlapnya dunia takmampu menipunya kendatipun ia tidak meninggalkan apa yang telah menjadi bagiannya.
Tidak terbantahkan lagi, bahwa wanita merupakan penyebab terbanyak yang menjadikan kerusakan akhlak dan moral manusia. Hal ini dapat ditengok dari berbagai pengalaman umat-umat manusia sejak mereka yang hidup sebelum umat Islam. Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa orang-orang Bani Israil dibinasakan Allah swt karena wanita.
Sebagai umat Rasulullah saw tidak sepantasnya berharap dibinasakan Allah swt karena ‘wanita’ namun menyepelekan persoalan wanita? Para wanita juga tidak mau serius dalam menjaga dirinya. Coba perhatikan, mana yang lebih banyak antara wanita muslimah yang benar-benar menjaga dirinya dengan mereka yang tidak menjaga dirinya dengan baik?
Semua hampir tahu bahwa wanita sekarang, khususnya di daerah yang jarang terkena dakwah Islam, amatlah sedikit didapati wanita yang menjaga dirinya dengan sebaik-baiknya penjagaan Islam sebagaimana Islam memberi pengajaran. Hal ini menggambarkan bahwa apa yang pernah diingatkan oleh Rasulullah saw telah terbukti. Dalam sebuah hadis (HR.Bukhari-Muslim) beliau bersabda:
ماَتَرَكتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أضَرُّ عَلَى الرِّجاَلِ مِنَ النِّساءِ
“Tidaklah aku meninggalkan setelahku godaan (fitnah) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada fitnah wanita”
Islam adalah agama yang membawa nilai-nilai kemuliaan dan kemanusiaan untuk seluruh manusia di bumi. Islam tidak saja menuntut sebagaimana maunya, namun juga memberi jalan bagaimana harus berbuat sesuatu dan memecahkan tiap-tiap problem kehidupan yang muncul.
Islam juga melarang umatnya melepaskan naluri seksual secara bebas tidak terkendali, karna apabila seksual itu dilakukan dengan kemauan atas kehendak nafsunya dan tidak didasari dengan tuntunan dalam syariat Islam maka dapat menyebabkan perbuatan zina. Sehingga dari syariat Islam merupakan jalan dalam menempuh pernikahan yang menghantarkan hubungan seksual itu menjadi halal. Karena dengan itulah Islam sangat menganjurkan kepada manusia untuk menikah apabila seorang laki-laki telah siap secara mental dan fisik.
Dalam aturan pernikahan, Islam tidak membatasi hanya pernikahan monogami tapi membolehkan poligami. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS an-Nisa ayat [3] yaitu:
Berlaku adil dalam arti memberi sama rata di antara istri-istri dalam hak-hak perkawianan yang wajib terhadap wanita, yaitu sama dalam membagi waktu bermalam, pemberian, dan nafkah lahiriyahnya, sedangkan cinta di dalam hati, hal itu tidak mungkin dibagi rata di antara mereka, dan tidak mudah bagi seorang laki-laki untuk membagi kecenderungan hatinya untuk semua istri seukuran dengan kadar cintanya.
Problem yang unggulan pada zaman sekarang adalah semaraknya penceraian yang mengakibatkan banyaknya wanita yang hidup sendiri atau menjanda, tanpa ada pendamping hidup yang selalu setia menemaninya, sehingga dibutuhkan adanya poligami karena hal itu membuat nyaman janda agar tidak terjadi perzinaan, tapi lain halnya di Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak ada beberapa janda bukan perceraian karena selingkuh, tapi menjanda karena ditinggal suaminya atau kematian. Janda yang ada itu mengatakan bahwa meyakini adanya syariat poligami, dan menyanggupi untuk dipoligami bila ada yang mau, dan dapat berlaku adil- seadil adilnya. Tetapi ada juga yang setuju dengan poligami tetapi tidak minat untuk dipoligami, dengan alasan bahwa setelah kematian suaminya tidak ada keinginan untuk nikah lagi.
Di Pondok Pesantren Hidayatullah ini muslimahnya sudah mengetahui tentang ajaran Islam karena hidup di lingkungan yang berusaha menjalankan syariat Islam, sehingga ia paham tentang kehidupan keluarga yang Islami, tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa para janda yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah tidak menikah atau dipoligami, dan peneliti melihat permasalah poligami ini tidak dipraktekkan di lokasi Pondok Pesantren Hidayatullah, padahal jumlah wanita lebih banyak dari pada laki-laki terutama yang janda untuk bisa diayomi, serta mendapatkan kebahagiaan seperti wanita lainnya.
Seperti kisah Rasulullah saw, beliau menyelamatkan istri-istri yang suaminya syahid di jalan Allah swt dengan mempoligami para janda agar para janda pada waktu itu mendapat kebahagiaan dan ketentraman.
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut terhadap permasalahan “PANDANGAN JANDA TENTANG POLIGAMI” (Studi Kasus Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang diteliti adalah:
1. Bagaimana pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka ditetapkanlah tujuan penelitian yaitu:
1. Mengetahui pandangan janda di Pondok Pesantren Hidatatullah Balikpapan tentang poligami;
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami.
D. Signifikansi Penelitian
Dari penelitian yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat berguna sebagai:
1. Bahan informasi ilmiah bagi masarakat tentang poligami, yang salah satu aspeknya adalah mengenai masalah janda yang dipoligami.
2. Bahan informasi bagi mereka yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut pada permasalahan yang sama dan dari sudut pandang yang berbeda.
3. Bahan literatur untuk menambah khasanah Ilmu Pengetahuan dan pengembangan perpustakaan di Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan yang mungkin timbul dalam memahami penelitian ini dan supaya lebih terarah, maka perlu diberikan definisi sebagai berikut:
1. Janda ialah, seorang wanita yang ditinggal oleh suami, baik itu karna meninggal atau bercerai.
2. Poligami, yaitu berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Secara bahasa “suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang” baik peria maupun wanita. Sistem perkawinan yang salah satu pihak mengawini dua orang lebih dalam satu kurun waktu, bermadu.
F. Kajian Pustaka
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau biasa disebut dengan field research. Secara tidak langsung peneliti dituntut untuk meneliti obyek penelitian yang dapat memberikan informasi mengenai pandangan janda tentang poligami di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan.
Kaitannya dengan penelitian ini belum ada yang mengadakan penelitian di Teritip RT. 26, berkaitan dengan pandangan janda tentang poligami. Tentu berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Pertama, yang meneliti tentang Poligami Menurut Pemikiran Siti Musdah Mulia, yang ditulis oleh Lailman. Dalam skripsi ini di jelaskan bahwa menurut Siti Musdah Mulia, ia menghukumi dengan haram lighairi setelah melihat dampak negatif yang disebabkan oleh adanya praktik poligami ini, dengan pendekatan ini beliau mengharamkan poligami.
Kedua, penelitian tentang Syarat Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam, studi pasal 57, yang ditulis oleh Sukman. Dalam skripsi ini di jelaskan bahwa di dalamnya terdapat beberapa pasal yang hukumnya berbeda dengan hukum syariat Islam, salah satunya adalah mengenai syarat poligami yang terdapat pada pasal 57 KHI. Pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila, istri tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tidak bisa melahirkan keturunan, hal ini berbeda dengan syariat Islam, bahwa syarat dibolehkan poligami adil dan mampu memberi nafkah.
Ketiga, penelitian tentang Batasan Adil dalam Poligami Menurut Tafsir Ibnu Katsir (Studi Surah an-Nisa Ayat 3). yang ditulis oleh Holifah. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa menurut Ibnu Katsir, berdasarkan al-Qur’an Surah an-Nisa [3] dan perkataan Aisyah bahwasanya makna adil dalam poligami di ayat tersebut ialah adil dalam hal memberikan mahar sebanding atau yang sesuai dengan yang biasa di berikan kepada wanita lain.
Keempat, penelitian tentang Pemikiran Dono Baswardono tentang Poligami (Studi Kritis Buku Poligami Itu Selingkuh). Yang ditulis oleh Imam Faisol. Dalam hal ini Dono Baswardono menyimpulkan bahwa sebelum berpoligami pasti didahului dengan perselingkuhan, dan pemikiran ini tidak sesuai dengan Islam, hal ini di sebabkan karna tidak selamannya orang yang berpoligami di dahului dengan perselingkuhan.
Dalam penulisan ini peneliti menggunakan studi lapangan yaitu mengambil referensi dari survei, angket dan wawancara langsung dengan responden untuk bisa mendapatkan data yang valid dan relevan, selain itu juga peneliti menggunakan referensi kitab-kitab yang berhubungan dengan penelitian ini seperti:
Abu Halim Abu Syuqqah dalam Kebebasan Wanita menyebutkan bahwa tujuan poligami ialah mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan laki-laki memerlukan poligami yang dengan begitu akan dapat menyempurnakan kebaikan keduanya, lantas dia dihalangi untuk melakukan poligami, maka sudah barang tentu akan menjadikan hidupnya menderita, lemah semangatnya dan tidak tenang pikirannya, sesuai dengan tingkat kebutuhannya itu. Dan sudah barang tentu hal itu akan menyebabkan keadaan seluruh keluarga tidak karuan.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu dari hikmah dibolehkannya poligami oleh Allah hingga 4 orang istri saja adalah karunia dan rahmat-Nya kepada manusia. Dalam waktu yang sama, laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari satu orang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka dalam urusan belanja dan tempat tinggal.
Dalam hal itu peneliti melihat di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan belum ada yang meneliti, Pandangan Janda tentang Poligami, yang mana ada beberapa janda tidak menikah padahal ia tinggal di lingkungan yang berusaha menjalankan Syariat Islam secara kaffah. Terkait dengan apa yang sudah di paparkan maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Pandangan Janda tentang Poligami (Studi Kasus Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan)
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifkasi penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan teori yang terdiri dari: pandangan janda tentang poligami, pengertian poligami dasar hukum poligami, kesiapan dipoligami, dan hal-hal yang harus dipenuhi dalam poligami.
Bab III Metode penelitian yang terdiri dari: jenis, sifat dan lokasi penelitian, data dan sumber data, data dan teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis data, dan tahapan penelitian.
Bab IV Temuan data, yang terdiri dari: gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi kasus perkasus, rekapitulasi data dalam bentuk matriks.
Bab V Analisis, berisikan gambaran janda, alasan janda untuk dipoligami, dan tinjauan hukum Islam terhadap Pandangan Janda tentang poligami.
Bab VI Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
NIKAH DAN POLIGAMI MENURUT ISLAM
A. Nikah
Pernikanan merupakan kondisi alami terbaik dan kesempatan utama yang paling tepat untuk memenuhi dan memuaskan tabiat. Pernikahan adalah cara yang yang paling baik untuk memperbanyak keturunan dan menjaga keberlangsungan hidup dengan menjaga sisi nasab yang sangat diperhatikan oleh islam . Allah swt tidak menghendaki manusia sama seperti makhluk-Nya yang lain, yang menyalurkan syahwat (hasratnya) secara bebas, sehingga ditetapkan bagi manusia aturan main yang aman dan sempurna, yang menjaga kemulyaan dan kehormataanya, dijadikan sebagai satu-satunya cara penyaluran yang sah dan diridhai Allah swt.
1. Pengertian Nikah
Secara etimologi, nikah berasal dari kata (genap), lawan kata dari (sendiri, ganjil). Sedangkan pernikahan secara terminologi, merupakan bentuk sinonim kata nikah. Para ahli fikih mendefinisikan dengan beberapa definisi sebagai berikut:
Ulama Hanafiyah mengatakan, “pernikahan adalah perjanjian yang diselenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan sengaja.”
Ulama Malikiyah mendefinisikan, “Pernikahan adalah akad perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram melalui sebuah ikrar.”
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan, “Pernikahan merupakan akad perjanjian yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan lafazh (aku menikahkanmu wahai fulan dengan fulanah) atau (aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).”
Ulama Hanabilah berkata, “Akad pernikahan maksudnya sebuah perjanjian yang di dalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemah dalam bahasa lainnya yang dijadikan sebagai pedoman.” Sedangkan menurut Prof. Dr. Yusuf ad-Duraiwisy, yang diterjemahkan oleh Muhammad Ashim. Berbunyi, “Perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang laki-laki atau perempuan memperoleh kenikmatan dengan pasangannya, berupa hubungan badan dan cara-cara lainnya dalam bentuk yang disyariatkan, dengan ikrar tertentu dengan disengaja.”
Dalam Undang-Undang, pengertian pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka pernikahan memiliki hubungan yang sangat erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga pernikahan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani, tetapi terdapat unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Dari beberapa pengertian tentang perkawinan yang dijelaskan baik dari ulama klasik maupun ulama kontemporer memberikan makna yang hampir sama tetapi tujuan dari perkawinan adalah menegaskan keinginan syari’at untuk menyegerakan perkawinan dan bahwa di antara barakah Allah swt terhadap perkawinan ialah Allah swt memberikan kecukupan dengan karunia-Nya kepada kedua mempelai baik yang kaya maupun yang tergolong tidak mampu (miskin). Maka Allah swt akan mencukupinya melalui pernikahan. Sebagaimana dalam QS. an-Nuur ayat [32], Allah swt berfirman:
2. Rukun dan Syarat nikah
a. Rukun-rukun nikah
1) Adanya dua pembelai.
Adanya dua pembelai, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak memiliki penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari keturunan, sepersusuan atau semisalnya.
2) Wali.
Wali menurut bahasa adalah orang yang diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa, pengasuh pengganti perempuan pada watu dinikahi oleh seorang laki-laki, orang shaleh, orang suci, penyebar agama, orang yang menjadi “wakil” Allah swt dalam menyebarkan agama Islam.
Wali secara umum adalah seseorang yang kaerna kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap orang lain. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
لا نكاح إلا بولي (رواه البخاري)
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”. (HR. Bukhari).
3) Dua orang saksi.
Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah bahwa akad nikah harus dihadiri oleh dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum muslimin, sebagaimana firman Allah dalam QS ath-Thalaq:2.
…… ……
Dalam hadits disebutkan bahwa, Nabi bersabda:
لا نكاح إلا بولي و شا هدي عدل. (رواه الدارقطنى)
“Tidak ada nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. (Daruqutni).
4) Shighat akad.
Shighat akad nikah adalah ucapan calon suami, atau wakilnya pada saat akad nikah, “nikahkan aku dengan fulanah,” dan ucapan wali, “aku nikahkan engkau dengan putriku yang bernama fulanah,” serta ucapan calon suami,” aku terima pernikahan anak putrimu dengan.”
b) Syarat-syarat nikah.
Syarat sahnya pernikahan merupakan ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan dinyatakan sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku. Dalam Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, pernikahan dinyatakan sah apabila memenuhi dua syarat berikut:
Pertama, perempuan yang dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan istri. Artinya perempuan itu bukanlah yang haram dinikahi, baik haram untuk sementara waktu atau haram untuk selamanya.
Kedua, adanya saksi yang menyaksikan prosesi akad pernikahan.
Ada bebearpa syarat keabsahan akad nikah, memberi kosekkuensi sah tidaknya akad, bahkan bisa membatalkan akad bila tertinggal salah satunya. Berikut syarat-sayaratnya:
1) Izin wali bagi perempuan.
Wali adalah orang yang mengurus akad pernikahan seorang perempuan dan tidak membiarkannya melakukan akad sendiri tanpa kehadirannya. al-Amir Ash Shan’ani r.a. mengatakan ,” para ulama berbeda pendapat mengenai syarat wali dalam pernikahan. Artinya, seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri”. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal. Apabila ia sudah digauli, maka berhak mendapatkan maskawin karena kemaluannya sudah dianggap halal. Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali sama sekali.(Abu Dawud).
Wali merupakan syarat sahnya akad pernikahan menurut jumhur ulama. Maka, tidak sah pernikahan seorang wanita, yang masih perawan maupun janda, baik yang berusia muda maupun sudah dewasa kecuali dengan walinya yang akan mengurusi akad nikahnya.
2) Ridha pihak perempuan sebelum menikah.
Wali tidak berhak memaksa wanita untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya, dan jika tetap memaksanya padahal ia tidak ridha (suka), maka ia berhak mengajukan masalah ini ke pengadilan dan hakim pengadilan berhak membatalkan akad pernikahan tersebut.
3) Mahar.
Mahar ialah sejumlah harta yang wajib dibayarkan karena nikah atau wathi’ (persetubuhan). Mahar dinamakan shadaq karena di dalamnya terkandung pengertian sebagai ungkapan kejujuran minat pemberinya dalam melakukan nikah, sedangkan nikah merupakan pangkal yang mewajibkan adanya mahar”.
Para ulama sepakat bahwa mahar termasuk salah satu syarat sahnya pernikahan, dan tidak boleh mengadakan persetujuan untuk meninggalkannya, berdasarkan firman Allah swt dalam QS. an-Nisa [ 4]
Jika kedua pasangan sepakat untuk menghilangkan mahar, maka pernikahan keduanya fasid (tidak sah), sebab mahar harus ada dalam sebuah pernikahan, baik yang disebut nominalnya maupun yang tidak disebutkan. Dalam hal ini, wanita berhak memperoleh mahar mitsil yaitu mahar yang biasa diterima wanita semisalnya pada waktu akad dari segi usia, kekayaan, kecantikan, kecerdasan, agama, keperawanan, kejandaan, dan lain sebagainya.
B. Poligami
1. Pengertian Poligami
Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal seorang laki-laki mengawini lebih dari satu wanita dalam waktu tertentu. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang wanita dan memiliki batasan tertentu yang telah ditentukan Allah swt yaitu empat orang. Demikian juga dalam pengertian umum yang berlaku di tengah masyarakat, poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.
Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’diiduz zaujaat atau berbilangnya pasangan. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia disebut permaduan. Menurut ajaran Islam perkawinan seperti ini meskipun dibolehkan, akan tetapi tidak dianjurkan melaksanakannya. Kehadiran syari’at ini lebih disebabkan membatasi praktik-praktik pemilikan wanita yang melampaui batas yang terjadi pada masa lalu, disamping poligami dianggap solusi alternatif pada kasus yang kritis dan kondisional.
Adapun secara terminologi poligami adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak boleh lebih darinya. Demikian juga dalam pengertian umum yang berlaku di tengah masyarakat, poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.
Hal ini dijelaskan oleh Allah swt sebagaimana dalam QS. an-Nisaa [3]
…. …..
2. Sejarah Poligami
Poligami dalam kehidupan orang-orang Barat adalah realita yang tidak punya aturan, bahkan tak dapat dipungkiri bahwa semua itu terjadi, dan poligami merupakan topik kajian yang selalu sengit diperdebatkan dalam diskursus fiqh munakahat Islam. Tak jarang sejumlah sejarawan melancarkan serangan telak, bahwa Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memprakarsai tradisi poligami. Jelas tudingan itu tidak benar. Sejarah membuktikan bahwa tradisi poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang di kalangan suku-suku pra-Islam, Persia, Yahudi, dan lain-lain. Tak hanya oleh suku-suku primitif, poligami juga beralih tempat di kalangan suku-suku beradab.
Ahli-ahli sejarah dan para ilmuwan antropologi mengemukakan bahwa poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari sejarah manusia, dan bahwasanya poligami muncul pertama kali sebagai akibat dari perbudakan perempuan dan sikap kaum yang kuat dan yang kaya yang menjadikan banyak perempuan untuk bersenang-senang, sebagai pelayan dan sebagai simbol kebesaran dan kemegahan. Oleh karena itu, pemilikan banyak perempuan biasanya khusus bagi para raja, para menteri dan pembesar-pembesar, dan bagi sebagian mereka hal itu hanya semata sebagai perbudakan, kemudian peradaban semakin berkembang dan akhirnya lahirlah penyatuan antara akad menikahi perempuan-perempuan merdeka dengan bersenang-senang dengan budak-budak perempuan yang mereka miliki.
Pada zaman dahulu sistem poligami diterapkan oleh orang-orang yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya. Hal ini telah diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan seperti Westermark, Hobberrs, Heler, dan Jean Bourge. Mayoritas sarjana sosiologi dan kebudayaan ini juga berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas, dan bangsa-bangsa di dunia ini akan banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi tidak benar jika poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan.
Agama Islam bukanlah agama yang pertama kali membolehkan poligami. Sistem poligami telah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba, diantaranya bangsa Yunani, Cina, India, Kerajaan Mesir, Kerajaan Asyiria dan lain-lainnya. Namun poligami di kalangan mereka tidak terbatas. Misalnya di Kerajaan Cina yang membolehkan poligami sampai seratus tiga puluh istri, bahkan ada seorang raja Cina yang mempunyai istri sebanyak tiga puluh ribu orang.
Orang-orang Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslavia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Bangsa Arab dan Ibrani, mereka juga berpoligami.
a. Poligami dalam Pandangan Antar Agama
Pada abad pertengahan, yahudi masih melakukan poligami dengan banyak istri sampai kemudian para rahib mereka melarang poligami, karna kondisi ekonomi yang di hadapi oleh kaum yahudi pada masa-masa tersebut. Larangan tersebut di keluarkan pada abad XI (sebelas) dan kemudian di sahkan penghimpunan Gereja di kota Warms di Jerman. Larangan ini pada mulanya hanya bagi kaum Yahudi Jerman dan Yahudi Perancis Utara, tetapi kemudian mencakup semua kaum Yahudi di Daratan Eropa.
Poligami telah disyari’atkan dalam Perjanjian Lama. Para Nabi, anak-anaknya dan pengikut-pengikutnya mereka telah memperaktekkan poligami. Taurat telah menyatakan dengan tegas bahwa Nabi Sulaiman beristri dengan seribu perempuan seperti disebutkan dalam satu raja-raja: “Raja Solmon mencintai banyak perempuan asing. Selai putri Mesir, ada tujuh ratus putri bangsawan yang dinikahi Solmon.
Abbas Mahmud al-Aqqad berkata, “tidak ada larangan poligami di dalam taurat dan injil, bahkan hal itu dibolehkan dan dilakukan para Nabi sendiri, sejak para Nabi Ibrahim, al-Khalil hingga kelahiran Nabi Isa as.
Dalam agama Nasrani sama sekali tidak terdapat redaksi yang melarang penganutnya mengawini dua orang perempuan atau lebih, dan jika mereka mau niscaya hal itu menjadi suatu yang boleh bagi mereka, Sampai datang larangan dari Gereja pada abad-abad pertengahan. Gereja yang melarang poligami tapi gereja pulalah yang kadag kala memberikan dispensasi untuk para raja dan para menteri untuk berpoligami.
Ketika Islam datang dan fajarnya mulai bersinar di atas negeri Arab dan selain Arab, terdapat seorang dari mereka yang masih memiliki sepuluh orang istri, ia adalah Ghailan. Ketika masuk Islam ia masih memiliki sepuluh istri. Maka Nabi Muhammad saw memerintahkannya untuk memilih empat orang dan menceraikan enam orang lainnya. Demikian juga dengan Qais bin Harits al-Asadi ketika masuk Islam, dia memiliki delapan orang istri. Maka Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk memilih empat orang diantaranya dan membiarkan yang lainnya.
3. Dasar dan Hukum Poligami
Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami. Islam yang lurus tidak melarang poligami, tetapi juga tidak membiarkannya. Akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat imaniyah yang jelas disebutkan dalam al-Qur’an.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah, dan selalu menghadapi realita dengan mengarahkan dan menjauhkannya dari sikap berlebihan. Hal ini dapat kita lihat dalam sikapnya terhadap poligami. Demi kepentingan manusia secara umum, baik secara pribadi maupun masyarakat, Islam membolehkan laki-laki Muslim menikahi lebih dari seorang wanita.
Dalam aturan pernikahan, Islam tidak membatasi hanya pernikahan monogami, namun membolehkan poligami. Poligami dibolehkan berdasarkan QS. an-Nisaa [3] yaitu:
Di antara kandungan ayat ini tampak jelas bahwa sesungguhnya poligami dalam Islam dibolehkan dan dibatasi hanya empat orang. Hal ini disebabkan kekhawatiran berlaku dzalim kepada perempuan yatim.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabrani berkata, “jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka demikian pula kalian harus takut berbuat dzalim terhadap perempuan-perempuan. Maka janganlah kalian menikahi kecuali kalian tidak khawatir berbuat dzalim pada satu orang maka janganlah kalian menikahinya. Akan tetapi kalian cukup dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki, karena yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak berbuat dzalim pada mereka.
Al Fahrur Razi berkata, “dibolehkan menikahi dua wanita jika suka, tiga wanita jika suka dan empat wanita jika suka. Jika dia takut tidak dapat berbuat adil, cukuplah dengan dua orang wanita. Dan jika dia masih takut tidak dapat berlaku adil diantara keduanya, maka cukuplah menikahi satu wanita saja”.
Ayat ini membolehkan seorang laki-laki untuk beristri tidak lebih dari empat. Huruf wawu pada ayat ini berfungsi sebagai badal atau pengganti. Artinya nikahilah tiga orang, kalau tidak dua orang dan empat orang kalau bukan tiga orang. Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa siapa yang memiliki kemampuan memenuhi hak-hak wanita secara baik maka diperbolehkan berpoligami. Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah yang terdapat dalam kata fankihu atau nikahilah mengandung makna mubah.
Islam memberikan hak kepada kaum lelaki untuk berpoligami, bukan berarti Islam merendahkan martabat kaum wanita atau Islam bertindak tidak adil antara kaum laki-laki dan kaum wanita. Namun kitab suci al-Qur’an membatasi hak laki-laki berpoligami dengan batasan maksimal empat, sementara hak-hak perempuan dalam kaitannya dengan pernikahan suami yang lebih dari satu istri benar-benar dilindungi.
Abu Dawud meriwayatkan dari al-Harits bin Qais bin Umairah al-Asadi, berkata, “Aku masuk Islam, sedangkan aku mempunyai delapan istri. Lalu aku menyebutkan hal ini kepada Nabi saw maka beliau bersabda, “pilihlah empat di antara mereka”.
Adapun dalam ijma’ ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan ataupun perbuatan mereka sejak masa Rasulullah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi saw melakukan poligami seperti Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Muadz bin Jabal ra.
Sedangkan makna firman Allah swt dalam QS. an-Nisaa [129]
• …..
Para ulama mengatakan, “mereka tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri berkenaan dengan apa yang terdapat di dalam hati dan Allah swt memaafkannya, dan mewajibkan keadilan dalam perkataan dan perbuatan. Jika dia condong dengan suatu ucapan atau perbuatan, maka itulah kecenderungan atau yang disebut ketidakadilan”.
Kompromi di antara dua ayat di atas, bahwasanya Allah swt membolehkan menikahi empat orang istri. Tetapi dengan syarat harus berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan. Adapun adil dalam cinta diantara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil walaupun kalian sangat menginginkannya.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum poligami bukanlah sesuatu yang wajib tetapi pada dasarnya adalah mubah.
4. Syarat dan Rukun Poligami
Allah swt telah mensyari’atkan poligami dan mengizinkan hamba-Nya untuk berpoligami. Namun demikian syari’at Islam telah membatasinya dengan syarat-syarat dimana seorang hamba tidak boleh berpoligami tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut yaitu:
a. Syarat poligami
Islam membolehkan seseorang berpoligami, apabila mampu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yaitu:
1) Adil terhadap istri
Allah swt telah memerintahkan laki-laki yang ingin berpoligami agar berlaku adil sesuai dengan firman-Nya QS. an-Nisaa [3]
….. …….
Pada ayat yang mulia ini Allah swt menunjukkan bahwa siapa yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan seluruh hak-hak wanita dengan baik, maka diperbolehkan berpoligami hingga empat istri. Adapun keadilan yang dituntut dalam hal ini adalah keadilan yang disanggupi yaitu dalam hal pembagian waktu, nafkah dan tempat tinggal.
Adapun mengenai keadilan cinta dalam hati, bukan wewenang manusia dan tidak dapat diupayakan manusia. Maka kewajiban manusia tunduk kepada kecintaan dan menjaga perasaan istri jangan sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.
Allah swt berfirman dalam QS. an-Nisaa [129]
•
Hal ini dijelaskan Allah swt ketika Rasulullah saw lebih mencintai Aisyah daripada yang lain. Karena pengetahuan dan kecerdasan Aisyah. Maka Rasulullah saw bersabda seusai menggilir istri-istrinya dalam setiap hal yang memungkinkan untuk berlaku adil. Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
“Ya Tuhanku inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Karena itu jangan Engkau mencela tentang sesuatu yang Engkau miliki tetapi aku tidak bisa milikinya”.(HR.Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Rasulullah saw mengakui bahwa berlaku adil dalam membagi cinta bukan kemampuan manusia dan bukan pula wewenangnya, maka Rasulullah saw berdo’a memohon agar tidak dicela akibat tidak dapat berlaku adil dalam hal ini. Namun demikian Nabi Muhammad saw tetap berupaya untuk berlaku adil dalam pembagian harta. Meskipun Nabi Muhammad saw sangat mencintai Aisyah, namun kecintaan itu bukan didasarkan pada penampilan Aisyah sebagai wanita termuda, akan tetapi disebabkan hal lain yang sangat berguna bagi kepentingan dakwah yakni kecerdasan Aisyah.
2) Mampu memberi nafkah
Seseorang tidak diperbolehkan melangkah ke jenjang pernikahan dengan seorang perempuan atau lebih jika ia tidak atau belum mampu memberi nafkah secara berkesinambungan, karena Rasulullah saw bersabda:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. (رواه مسلم)
“Hai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu bisa lebih memejamkan mata dan bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu menikah maka berpuasalah, karena puasa itu lebih bisa mengurangi nafsu seksual”. (HR. Muslim).
Kata al- Ba’ah pada hadits tersebut adalah mu’natu an nikah atau nafkah perkawinan. Nafkah pada zaman sekarang ini tidak cukup hanya dengan pakaian dan tempat tinggal, tetapi membutuhkan pendidikan dan harta benda untuk kelancaran pendidikan.
3) Maksimal empat
Tidak halal bagi seseorang untuk melakukan poligami lebih dari empat orang pada saat yang sama. Historis empat orang istri bukanlah penambahan akan tetapi pembatasan, karena pada waktu turunnya ayat tersebut, ditemukan banyak orang memiliki istri lebih dari empat orang. Maka Rasulullah saw menegaskan kepada mereka agar memilih empat di antaranya dan menceraikan yang lainnya dengan cara yang baik. Bila terjadi pandangan lain tentang jumlah istri maka hal tersebut muncul karena kekeliruan dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Qais bin Harits, ia berkata: “Aku masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan istri, lalu aku menghadap Nabi saw kemudian aku terangkan kepadanya hal itu, lalu beliau bersabda, “pilihlah empat di antara mereka”. (Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hal ini menunjukkan bahwa maksimal jumlah yang disyari’atkan dalam poligami adalah empat orang. Jika sekiranya lebih empat orang itu dihalalkan maka Rasulullah saw tidak akan memerintahkan mempertahankan sebagian dan memisahkan sisanya. Ini merupakan jawaban bagi semua orang yang membolehkan penambahan istri lebih dari empat orang.
Adapun pernikahan Rasulullah saw dengan lebih dari empat orang adalah merupakan kekhususan. Karena, dahulu Rasulullah saw sedang dalam usaha membentuk negara dan penyebaran agama baru yaitu Islam. Semua istri yang dinikahi mengandung tujuan tersendiri, yang memberikan pelajaran baru kepada kaum Muslimin.
Turunnya ayat pembantah tentang jumlah empat orang istri dalam al-Qur’an adalah setelah Rasulullah saw menikahi seluruh ummul mukminin. Rasulullah saw tidak memegang empat dan memisahkan sisanya sebagaimana kaum muslimin, karena jika beliau memisahkan salah satu istrinya, maka itu akan mengakibatkan kedzaliman. Karena tidak ada lagi orang yang dapat menikahi bekas istrinya.
b. Rukun poligami
Adapun rukun-rukun poligami terbagi menjadi tiga yaitu:
1) Suami yang diwajibkan berbuat baik
Perlakuan sama terhadap semua istri merupakan kewajiban semua suami tanpa membedakan apakah ia laki-laki merdeka atau hamba sahaya, sehat atau sakit, baligh atau hampir baligh, berakal sehat atau orang gila yang tidak membahayakan, semuanya wajib diberlakukan adil dalam qasm, karena tujuannya adalah keakraban dan kedekatan suami istri.
2) Istri yang berhak diperlakukan baik
Keadilan adalah salah satu hak dalam pernikahan, semua istri harus dapat perlakuan yang adil, dan teks-teks ayat dan hadits yang berbicara tentang keadilan dalam poligami bersifat mutlak tanpa membedakan para istri. Baik istri sehat atau sakit, merdeka atau hamba sahaya, ada gangguan fisik atau tidak, dan alasan-alasan lainnya. Semuanya harus diberlakukan adil oleh suaminya dan harus digilir. Karena tujuan utamanya adalah kedekatan dan kemesraan, dan itu dapat dicapai dalam kondisi apapun.
Sehingga tidak ada kecemburuan di antara para istri, sekalipun ada namun masih dalam batas kewajaran karena fitrahnya cemburu wanita itu lebih menonjol dari pada laki-laki. Olehnya tidaklah mengherankan jika para istri Nabi saw bersikap cemburu.
Namun Rasulullah saw telah menjelaskan tentang batasan kecemburuan ini, yang memerintahkan kecemburuan dalam batas yang wajar selama dapat menjaga kehormatan dan tidak mengurangi kewibawaan serta menyebabkan tersebarnya fitnah.
3) Aspek keadilan dalam poligami
Rukun ketiga dari perilaku adil terhadap para istri adalah aspek keadilan atau hal-hal apa saja yang diwajibkan oleh suami untuk berlaku adil di dalamnya. Aspek keadilan itu meliputi keadilan dalam bermalam (mabit), keadilan dalam sikap dan perilaku, keadilan dalam bepergian jauh, dalam hal jima’ dan keadilan dalam nafkah lahir.
5. Hikmah poligami
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt ke muka bumi yang bersifat umum, global, kekal, fleksibel, menjangkau seluruh wilayah tempat, seluruh wilayah zaman, dan seluruh wilayah manusia. Bukan hanya untuk masyarakat kota, tetapi masyarakat pelosok juga. Bukan hanya musim dingin, tetapi musim panas juga. Tidak hanya untuk masa lalu, tetapi masa kini sekaligus masa depan.
Islam menetapkan syari’at poligami dengan kandungan hikmah yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan masyarakat baik secara langsung atau tidak. Dan diantara yang wajib diimani seseorang adalah poligami Nabi saw bukan karena disebabkan Nabi saw suka memperbanyak perempuan, akan tetapi setiap pernikahan memiliki tujuan kemanusiaan, sosial atau untuk menetapkan suatu hukum syar’i.
Poligami dibenarkan oleh Islam bukan untuk menyenangkan kaum pria di atas penderitaan kaum wanita. Bukan sebatas gender, tetapi merupakan solusi yang telah digariskan oleh Allah swt untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul ditengah keluarga masyarakat dahulu, kini, hingga hari kiamat. Di antara masalah-masalah tersebut ialah:
Pertama: bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria, ini adalah realita sosial yang disaksikan di semua negara meskipun sedang tidak dilanda perang. Statistik dibeberapa Negara telah membuktikan bahwa kelahiran seorang anak laki-laki dibarengi dengan kelahiran lebih dari dua anak perempuan. Dalam kondisi seperti ini maka poligami sangat diperlukan. Jika statistik di negeri-negeri muslim diteliti, selalu didapati jumlah perempuan yang telah layak untuk menikah jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Meskipun tidak semua daerah dan negara, namun fenomena tersebut menonjol dalam masyarakat muslim. Hal inilah yang kemudian mendorong dilakukannya poligami.
Kedua: istri mandul, sementara suami sangat mendambakan memiliki keturunan. Kondisi ini tidak dapat jalan keluar kecuali dengan mengambil salah satu dari dua alternatif, yaitu mengganti istri dengan menceraikannya, sehingga dia menjadi janda yang akan menderita karena kehilangan teman yang melindunginya dan tidak memiliki tempat untuk mencurahkan isi hati untuk menambah istri. Seorang wanita yang tidak dikuasai hawa nafsunya dan memiliki keseimbangan antara keyakinan, perasaan dan logika pasti akan memilih poligami dari pada menjadi janda karena cerai akan mengakibatkan hilangnya status dan teman hidup yang dapat memenuhi keperluan yang tidak mungkin terpenuhi tanpa suami.
Ketiga: sesungguhnya diantara manusia ada yang memiliki hasrat seksual yang sangat tinggi, dan ada pula yang memiliki hasrat seksual yang biasa-biasa saja. Bagi seorang suami yang masuk dalam tipe ini, tentu sangat sulit kalau hanya memiliki satu orang istri saja. Lalu apa yang harus ia lakukan jika misalnya Islam menutup rapat-rapat pintu poligami?. Suami memiliki kekuatan seksual yang tinggi, sementara istrinya tidak mampu melayaninya karena usia yang sudah lanjut atau karena kebanyakan hari berhalangan yang tidak memungkinkannya melayani suami seperti masa haid, nifas atau istihadhah. Keadaan dan kondisi seperti ini sudah tentu perlu diberi perhatian dalam mencari solusi yang sehat. Jika istri dalam masa seperti ini jelas tidak mampu lagi menunaikan tugasnya, maka poligami merupakan solusi yang tepat bagi suami, yang dengan itu dapat menyalurkan kebutuhan biologis dan menjaga kehormatannya untuk menghindari perzinaan.
Keempat: suami yang sering keluar negeri karena tuntutan profesinya, sementara tidak mungkin baginya membawa istri karena istri mempunyai kewajiban mengurus anak-anak yang masih memerlukan bimbingan ibunya. Dalam kondisi seperti ini, dia akan menghadapi dua pilihan, apakah dia mengambil jalan mengikuti hawa nafsu dengan zina, atau mengambil langkah yang diizinkan syari’at melalui pernikahan.
Kelima: jika seorang lelaki menikahi seorang wanita lalu punya anak, tetapi istri kemudian mengidap suatu penyakit yang cukup kronis sehingga tidak memungkinkan untuk diajak berhubungan intim, atau istri mengalami urigiditasi yang membuat sang suami merasa tidak sabar lagi, apakah ia harus menceraikan istrinya yang sudah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali seperti itu? Ataukah ia harus melampiaskan kebutuhan biologisnya dengan berbuat zina? Jelas termasuk sikap toleran kalau Islam membolehkan dan memberikan kemudahan kepada suami untuk menikah lagi, agar dapat menjaga kesucian dirinya, sekaligus tetap menjaga hak-hak istrinya yang pertama.
Keenam: seorang suami yang memiliki keinginan kuat ingin memperbanyak keturunan demi kepentingan dakwah.
Ketujuh: kemajuan teknologi juga tidak berarti selalu positif. Akhir-akhir ini banyak wanita yang mengikuti program Keluarga Berencana (KB) mengalami kesulitan. Banyak yang mengalami pendarahan diluar kebiasaan dan dalam waktu yang sulit diduga kapan akan berakhir. Jika ada yang mengatakan bahwa hal itu bukan karena keinginan wanita dan hendaklah suami bersabar, tentu ia juga harus ingat bahwa bersabar harus pada tempatnya. Meninggalkan yang halal tidak termasuk sabar. Dengan demikian, pada dasarnya syari’at poligami mengandung hikmah-hikmah yang sangat besar bagi manusia sebagai salah satu solusi untuk mengatasi berbagai problem yang terjadi, baik itu problematika pribadi atau problematika masyarakat pada umumnya, karena Allah swt yang menjadikan syari’at dengan tujuan untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan harta yang termasuk masalah dharuriyyah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis, Sifat dan Lokasi Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan sosial terhadap pandangan janda di Hidayatullah tentang poligami (Studi Kasus Pondok Pesantren Hihayatullah Balikpapan). Adapun sifat penelitian ini adalah studi kasus.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Teritip RT. 26 Balikpapan Timur. Sedangkan yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi, yakni:
a. Di daerah tersebut terdapat janda yang sendiri tampa ada pendamping hidupnya.
b. Daerah tersebut sebagai salah satu daerah Heterogen, sehingga merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap janda yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan.
c. Daerah tersebut merupakan sebuah Pondok Pesantren yang di dalamnya semua wajib menjalankan Syariat Islam.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang digali dalam penelitan ini adalah mencakup:
a. Identitas responden, terdiri dari: nama, umur, pendidikan, dan alamat.
b. Pandangan Janda di Hidayatullah tentang poligami (Studi Kasus Pondok Pesantren Hidayatullah balikpapan).
2. Sumber Data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Responden, ibu-ibu janda.
b. Informan, yaitu orang yang dianggap mengetahui terhadap masalah yang diteliti, seperti keluarga responden, tokoh masyarakat, dan lainnya yang terkait.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan observasi dengan teknik wawancara dan angket yang di dalamnya terdapat pertanyaan tentang poligami.
D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Di dalam mengelola data-data yang telah terkumpul maka digunakan cara:
a. Editing, yaitu dengan mengecek, menyeleksi dan memilih kelengkapan data yang terkumpul dan sesuai atau tidak dengan tujuan penelitian.
b. Klasifikasi, yaitu memaparkan data yang diperoleh dalam bentuk deskriptif.
c. Matrikasi, yaitu membuat dan menyusun data yang sudah diedit dan diklasifkasikan ke dalam matriks.
2. Teknik Analisis Data
Terhadap data yang diperoleh dan disusun kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan hukum Islam berlandaskan landasan teoritis dengan susunan berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
E. Tahapan Penelitian
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian ini dan supaya tersusun secara sistimatis, maka digunakan rumus tahapan penelitian sebagai berikut:
1. Tahapan Pendahuluan
Pada tahapan ini penulis mengadakan observasi terhadap permasalahan yang akan diteliti subyek dan obyeknya. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk proposal penelitian, kemudian dikonsultasikan dengan dosen penasehat untuk diminta persetujuannya. Setelah itu dimasukkan ke Biro Skripsi Fakultas Syari’ah. Setelah dinyatakan diterima dan ditetapkan dosen pembimbing dan asisten pembimbing, kemudian diadakan konsultasi, lalu diseminarkan.
2. Tahapan Pengumpulan Data
Tahapan ini dimulai setelah seminar desain operasional dan menetapkan surat riset dengan terjun langsung kelapangan untuk menggali data yang diperlukan dengan cara mengadakan wawancara dan angket.
3. Tahapan Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul dan dirasakan lengkap, kemudian diolah dalam bentuk laporan hasil penelitian dengan cara editing, klasifikasi dan matrikasi. Kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan hukum Islam berpedoman pada landasan teoritis.
4. Tahapan Penyusunan
Setelah semua tahapan ditempuh maka semua disusun berdasarkan sistimatika penulisan dan dengan berkonsultasi kepada dosen pembimbing dan asisten pembimbing, sehingga tersusun menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dan siap uutuk dimunaqasahkan.
BAB IV
TEMUAN DATA
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan berada di Wilayah ujung bagian utara, sekitar 33 kilometer dari pusat pemerintahan kota Balikpapan. Hadirnya Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan adalah ingin mengubah sistem pendidikan yang berorentasi pada predikat kesarjanaan semata, tapi berorentasi pada pengkaderan yang kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan manfaatnya. Pondok Pesantren ini diresmikan Oleh Prof. Dr. Mukti Ali Menteri Agama Republik Indonesia (RI) pada hari Kamis, 5 Agustus tahun 1976. Lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan terdiri dari sebuah mesjid yang besar, Kantor Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, kamar tamu, gedung sekolahan, mulai dari Pendidikan Usia Dini (PAUD), TK, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah ‘Aliyah, STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Syaria’ah) Hidayatullah Balikpapan, Laboratorium, Asrama ,Dapur Santri dan Fasilitas Umum seperti Puskesmas dan Lapangan Olahraga, terdapat juga kawasan Khusus Santri Putri, dikelilingi oleh pagar setinggi 2 meter.
Dalam lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan juga terdapat bangunan rumah-rumah para warga di antaranya rumah Pimpinan Umum Hidayatullah, Ustadz-ustadz yang sudah berkeluarga dan Asrama Para Santri. Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan memiliki 3 rukun tetangga. RT. 25, lebih kurang 95 kepala Keluarga (KK), RT. 26, 71 Kepala Keluarga (KK) dan RT. 27, 137 Kepala Keluarga (KK).
Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan merupakan pondok pesantren yang memiliki ciri khas dan keunggulan yang berbeda dibandingkan dengan Pondok Pesantren lainya. Ciri khas tersebut terletak pada konsistensi yang kuat dan “Mencetak Kader Dakwah” yang didasarkan pada filosofi perjalanan dan perjuangan dakwah Rasulullah saw dengan menggunakan sistematika Nuzulnya wahyu.
Kampus Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, sejak awal dikondisikan sebagai perkampungan Islam yang dicita-citakan sebagai tempat yang ideal untuk membina dan menerapkan masyarakat yang Islami. Kesan yang nampak dari Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan adalah kebersahajaan dan merealisasikan nilai-nilai Islam.
2. Batas Wilayah
Lokasi Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan (Gunung Tembak) dari posisi arahnya berbatasan dengan :
a. Perbatasan Sebelah Utara
Sungai Selok Api, Kelurahan Selok Api, Kecamatan Samboja Kutai Karta Negara.
b. Perbatasan Sebelah Timur
Jalan Mulawarman RT. 24 Handil Narun, Kelurahan Teritip Kecamatan Balikpapan Timur.
c. Perbatasan Sebelah Selatan
Jalan Mulawarman RT. 22 Kelurahan Teritip Kecamatan Balikpapan Timur.
d. Perbatasan Sebelah Barat
Jalan Balikpapan Samboja dan lahan Kosong.
3. Luas Wilayah
Adapun luas wilayah dalam Kanal lenih kurang 1.126.6000 m2 dan luas wilayah luar kanal lebih kurang 1.000.000 m2.
4. Topografi
Topografi adalah uraian atau keterangan jarak lokasi pondok pesantren atau lokasih Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan sebagai berikut :
a. Terhadap Pantai Lamaru lebih kurang 6 km.
b. Terhadap bandara sepinggan lebih kurang 20,2 km.
c. Terhadap Rumah Sakit lebih Kurang 26,5 km.
Keadaan lingkungan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan sebagai berikut :
a. Keadaan iklim Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan merupakan tropis.
b. Penyinaran matahari lebih kurang 56,7%
c. Kelembaban udara lebih kurang 85 %
d. Suhu udara lebih kurang 22,2%0 Celcius-33,10 Celcius
e. Morfologo atau bentuk tanah yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan adalah jenis tanah datar.
5. Etnis atau Suku
Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan merupakan pesantren yang memiliki banyak etnis atau suku, diantaranya suku Bugis, Siku Jawa, dan Suku Banjar.
Susunan kepengurusan Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tahun 2015 sebagai berikut :
Dewan Pembina
Ketua : K.H. Abdurahman Muhammad
Wakil : H. Muhammad Hasim HS.
Seketaris : H. A. Qadir Jailani
: H. Nasirul Haq, Lc. MA
Dewan Pengawas : H. Samsul Rijal Palu, S. Sos. I
: H. Abdul Latif Usman
Majelis Tarbiyah : H. Anshar Amiruddin, S. Sos. I
: H. Abdul latif Usman
: H. Anwari Hambali, S. Sos. I
: H. Yusuf Suraji
: H. Karim Bonggo, S. Ag
: H. Manandring AG
Majelis Mudzakarah : H. Kholis Muklis, Lc
: Kusnadi S.H.I, M.Hum
: H. Ahmad Fitri
: H. Abdul Kadir Abdullah
: H. Hamudi, Lc
: Lukman Hakim Alatas, Lc
: Masykur Suyuti, Lc
: H. Ahmad Rifa’i, Lc
Dewan Pengurus
Ketua : Drs. H. Zainuddin Musaddad, MA.
Seketaris : Drs. Agis Mahruri, MA
Bendahara : H. Sujaib Saud, SE
Ketua Bidang I : Djoko Mustofa, S. Sos. I
Ketua Bidang II : Abdul Ghafar Hadi, S. Sos. I. M.S.I
Ketua Bidang III : H. Hasim Malewa
Kepala Departemen
Pedidikan Putra/Putri : Abdul Ghafar Hadi, S. Sos. I, M.S.I
Pedidikan Tinggi : Dr. Abdurrohim, S.Hum, M.S.I
Kemasjidan : Muslihuddin Mustakim, S. Sos. I
Sosial : Khairul Amri, S. Sos. I
Ekonomi dan Aset : H. Muhammadong
Kewarganegaraan dan PU : H. Sugiono
Humas : Hidayat Jaya Miharja, SS. M.Si
Kampus Gunung Tembak : Sugiono
Keamanan : Hamzah
Kepala-Kepala Unit
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah : Dr. Abdurrohim, S. Hum, M.S.I
Madrasah Aliyah Putra : Amir Abdullah, S. Pd.I
Madrasah Aliyah Putri : Irma, SS
Madrasah Tsanawiyah Putra : Muhammad Arfan AU, SS, M.Pd.I
Madrasah Tsanawiyah Putri : Hergiyanti, S. Sos.I
Madrasah Ibtidaiyah Putra : Darmawan, S. Sos.I
Madrasah Ibtidaiyah Putri : Susanti, S. Sos.I
SDIT Lukman al-Hakim : Acmad Rasyidinnur
Ra / TK Raadiyatan Mardhiyyah : Muliyah, S. Pd.I
PADU : Dra. Muliyati
Tahfidz Putra : M. Kaspan, S. Sos.I
Tahfidz Putri : Majrah, S.H.I
B. Deskripsi Kasus Perkasus
1. Kasus Pertama
a. Identitas Informan
Nama : KS
TTL :Bone Selatan, 13 Januari 1956
Pendidikan :SD
Pekerjaan :IRT
Tahun Menikah :1978
Usia Menikah :22 Thn
Memiliki Keturunan :3 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman, RT. 27
b. Uraian Pendapat
Poligami boleh diterapkan, asalkan bisa berlaku adil segalanya dan sesuai dengan syariat Allah swt. Sesuci-sucinya orang tetapi tidak tau di dalam hatinya, pasti ada rasa yang tidak tertahan, tetapi dengan adanya poligami KS menyatakan bisa tolong-menolong antara istri satu dengan istri yang lain.
Masalahnya sekarang adalah banyak dan maraknya pelaku poligami namun proses awal pengenalan untuk menjalin hubungan ke jenjang pernikahan salah. Banyak pelaku poligami yang melangar syariat dengan berpacaran terlebih dahulu, kemudian menikah dengan mengatas namakan poligami sebagai sunnah Nabi saw.
2. Kasus Kedua
a. Identitas Informan
Nama : AS
TTL : Balikpapan, 09 Agustus, 1956
Pendidikan : -
Pekerjaan : ITR
Tahun Menikah : 1975
Usia Menikah : 17 Thn
Memiliki Keturunan : 10 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman RT. 27
b. Uraian Pendapat
Poligami itu mulia tapi tidak untuk dilaksanakan dalam rangka mendapat kemuliaanya. Coba direnungi, apakah laki-laki mampu membahagiakan dua wanita sekaligus, sedangkan didalam hati mereka masing- masing pasti ada rasa kecemburuan. Poligamipun tidak marak seperti apa yang tersebar sekarang ini, dampak positif dan negatif pastilah ada, makan dan minum saja ada dampak positif dan negatifnya, apatah lagi poligami!.
Jujur saya katakan, hasrat berbagi itu selalu ada, saya pun tidak bisa menjamin apakah saya bisa berbagi kasih sayang dengan wanita lain yang menjadi belahan jiwa suami, sebagai seorang istri dengan siapapun suami berbagi, baik itu gadis, janda, tua, muda bahkan nenek-nenek sekalipun. Masih ingat kisah Aisyah yang mencemburui Khodijah yang telah wafat, “Hanya karna Rasulullah saw selalu memuji kebaikannya”. Tujuan poligami jika menurut kapasitas dan versi Rasulullah saw itu tidak diragukan lagi kemuliaanya.
Poligami tidak pernah dilarang olah Islam malah dianjurkan, tetapi bukan juga merupakan kewajiban, sebagaimana shalat. Kesimpulannya awal pelangkahan poligami yang tidak sesuai dengan versi, kapasiatas Rasulullah saw, tidak merencanakan serta mempersiapkan nilai-nilai yang dimiliki, misalnya nilai tarbiyah istri, ekinomi, membaca situasi dan mengakui secara jujur nilai kemampuan dirinya sendiri dari segi keimanannyalah yang membuat banyaknya kegagalan dalam praktak poligami itu sendiri.
3. Kasus Ketiga
a. Identitas Informan
Nama : AKH
TTL : Bugis, 10 Februari, 1955
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pedagang
Tahun Menikah : -
Usia Menikah : -
Memiliki Keturunan : 6 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman, RT. 26
b. Uraian Pendapat
Poligami no problem.... jelas poligami adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran islam, malah di anjurkan bila bisa berlaku adil dan istri yang sakit parah serta tidak bisa memiliki keturunan. Melihat maraknya perbincangan poligami kami anggap biasa saja, karna poligami bukan sesuatu yang tabu dan setiap orang punya alasan untuk melakukan poliami apatahlagi dengan janda. Adapun dampak positif poligami yakni, terhindar dari maksiat dan zina serta menjalanakan sunnah Rasulullah saw, sedangkan negatifnya, hal yang sering terjadi tidak seimbangnya masalah ekonomi dan pembicaraan tetangga.
Setelah kepergian suami saya (AKH), tidak pernah terpikir untuk menikah lagi, dan tidak ada masalah jika seorang laki-laki mempoligami janda, apalagi dengan maksut menolong, sebagaimana para sahabat Rasulullah saw yang menikahi janda dari para sahabat yang meninggal di medan perang, dan begitu pun Rasulullah menikahi para janda dengan maksud menolong, yang jadi masalah sekarang apakah para lelaki mempoligami janda dengan maksud menolong.
Tidak ada masalah.... setiap laki-laki punya alasan untuk menikah lebih dari satu istri yang penting sesuai dengan syari’at yang diajarkan islam, bukan menurutkan hawa nafsu semata. Tujuan poligami memiliki arah masing-masing, tergantung pelakunya, contoh seperti Rasulullah saw menikahi Aisyah, yang mana Aisyah bisa membawa pengaruh yang besar terhadap keutuhan Islam karna otaknya yang cerdas. Ayat poligami pun sudah jelas dalam al-Qur’an surah an- Nisa, ayat: 3. Namun ada tekanan “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”. Dan yang menjadi pertanyaan mampukah para lelaki berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Seperti ayat di atas “BERLAKU ADIL”. Kebanyakan tidak mampunya laki-laki berlaku adil terhadap istri-istrinya, inilah yang menjadi masalah dalam kegagalam dalam poligami.
4. Kasus Keempat
a. Identitas Informan
Nama : NA
TTL : Bontang, 17 Agustus 1992
Pendidikan : -
Pekerjaan : IRT
Tahun Menikah : 2007
Usia Menikah : 15 Thn
Memiliki Keturunan : 3 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman RT. 26
c. Uraian Pendapat :
Poligami itu syar’i tapi tidak mudah untuk dilaksanakan, dan berat diterima oleh pihak wanita. Melihat maraknya fenomena sangat tidak senag karna setiap adayang poligami malah makin numpuk bebankeluarga dari segi ekonomi, perasaan dan mental.
Adapun dampak positifnya, jaminan surga bagi istri yang menerima dengan ikhlas dan memperbanyak keturunan suami karna Rasulullah sangat bangga dan senag melihat umatnya yang banyak keturunan, sedangkan negatifnya, menimbulkan rasa kecemburuan, ketidakadilan dan tidak puas. Sedangkan NA sangat tidak setuju apabila ia di poligami dengan alasan yang telah dipaparkan di atas.
Adapun apabila ada seorang laki-laki mempoligami janda ada baiknya apabila dengan maksud menolong janda dan anak yatim tapi kebanyakan tidak dilandasi dengan rasa cinta. NA pun tidak setuju apabila ada laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu, karna laki-laki tidak semua bisa berbuat adil, sebagaimana telah dijelaskan dalam QS an-Nisa [3]. Bahwa kalau takut tidak bisa berbuat “ADIL’ maka cukum satu saja.
5. Kasus kelima
a. Identitas Informan
Nama : SKH
TTL :Bone, 12 desember, 1962
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Tahun Menikah : 1986
Usia Menikah : 15 Thn
Memiliki Keturunan : 10 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman, RT. 26
b. Uraian Pendapat
Poligami itu boleh dengan syarat mengikuti sunnah Rasulullah saw, bukan karna nafsu semata. Laki-laki boleh nikah lebih tetapi harus adil terhadap istri-istrinya dan jangan menelantarkan, SKH siap untuk dipoligami karna dipoligami itu terdapat kebaikan, dan memang ada saja negatifnya tetapikan hal itu sebagai mujahada ladang amal baik bagi seorang istri. Idealnya orang yang mau berpoligami hendaknya memahami bagaimana tata cara dan syarat poligami. Uang bukan segalanya, mampu biologis, tapi mengetahui ilmunya agar tidak ada pihak yang dirugikan.
6. Kasus keenam
a. Identitas Informan
Nama : AH
TTL : Balikpapam 20 Agustus 1955
Pendidikan : -
Pekerjaan : IRT
Tahun Menikah : 1979
Usia Menikah : 24 Thn
Memiliki Keturunan : 5 Orang Anak
Alamat : Jln. Mulawarman, RT. 26
c. Uraian Pendapat
Seorang suami boleh berpoligami ketika istri sakit yang jika istri tetap melayani suami maka sakitnya semakin parah, mandul dan sudah tidak mampu melayani suami, suami juga harus mampu dari segi ekonomi, keadilan, kasihsayang dan rasa cinta yang diberikan untuk istrinya dan anak-anaknya. Dengan hal itula jalinan kasih sayang keluarga terjaga dengan seizin Allah swt.
BAB V
ANALISIS TERHADAP PANDANGAN JANDA TENTANH POLIGAMI
A. Pandangan Janda Tentang Poligami Dalam Tinjauan Menurut Hukum Islam
Berdasarkan penelitian dan temuan data yang peneliti paparkan pada bab IV, peneliti menemu persamaan pandangan diantara janda Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan dalam menyetujui adanya syariat poligami. Metode kualifikasi yang digunakan dapat memberikan gambaran dan pemahaman peneliti tentang pandangan janda Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, yang peneliti lakukan dalam bentuk tulisan, wawancara langsung dan melalui angket dengan responden.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, tidak hanya pada kesamaan pandangan janda dalam menyetujui adanya syari’at poligami, tetapi pada faktor yang diajukan. Selain memiliki kesamaan pandangan dan faktor, terdapat juga perbedaan beberapa faktor, diantaranya adalah menimbulkan rasa kecemburuan, ekonomi, ketidakadilan, kurangnya tarbiyah bagi para istri, tidak puas pelayanannya dan tidak dilandasi dengan rasa cinta serta akan menjadi pembicaraan di kalangan tetangga. Sebab inilah yang menjadi faktor perbedaan dalam hal pandangan diantara ibu janda Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Mengakui poligami merupakan syariat, namun tapi pada penerapannya tidak siap dipoligami.
Penolakan disini tidak secara mutlak menolak hukum Allah swt akan tetapi menaafikan “ kesempurnaan” dimana jika seorang janda dikatakan menafikan secara mutlak, berarti hilang keyakinannya terhadap syari’at poligami di dalam dirinya. Adapun kesempurnaan yang dimaksud adalah sebagaimana orang beriman menyukai kebaikan yang ada pada dirinya, begitupula ia menyukai pada kebaikan orang lain. Poligami merupakan kebaikan dan banyak memberikan manfaat bagi pribadi dan orang lain.
Oleh karena itu, pada dasarnya ketika ada pelaku poligami, berarti dia mendatangkan kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Maksudnya ketika suami berniat poligami, berarti suami ingin melakukan syari’at Allah swt dan sunah Nabi saw yang di dalamnya ada berkah dan hikmah sosial. Hal itu mencakup poligami scara pribadi, keluarga kedua belah pihak dan masyarakat scara umum.
Berdasarkan faktor-faktor yang ada baik yang siap dan yang tidak siap, terdapat kesenjangan terhadap syari’at Allah swt yang seharusnya dijalankan tanpa syarat dari manusia yang lebih mempertimbangkan nafsu dan mempertimbangkan semata tanpa melihat tujuan utama syariat poligami tersebut dan realitas sekarang, terlebih lagi syarat tersebut keluar dari ketentuan syari’at. Selain syarat yang dilakukan berdasarkan kepentingan pribadi dan perasaan semata, alasan yang diutarakan semua adalah perasaan yang mana para janda malu dikira merebut kebahagiaan orang lain dan tidak adanya para suami yang mendatangi para janda yang ditinggal oleh suami dan tidak sanggupnya para janda karena beralasan tidak mau menganak tirikan anaknya yang banyak kasihan. Hal itu jelas tidak adanya kesempurnaan di dalamnya.
Wanita pada hakikatnya adalah makhluk yang berperinsip monogami. Sehingga, tidak heran jika poligami baginya tidak disukainya. Akibat sayangnya kepada suaminya, hal itu sampai syari’at pun terkadang manusia (wanita) dengan segala kelemahan yang dimilikinya namun baginya adalah kesempurnaan, manusia (wanita) berusaha membuat syarat yang tanpa disadari telah melebihi hak progresif Allah swt sebagai pencipta.
Tanpa landasan yang kuat dalan diri dan kesadaran bahwa Allah swt pemilik segala kesempurnaan, manusia berani membuat aturan yang denganya memuat persyaratan-persyaratan yang seharusnya tidak ada dalam poligami. Terlebih lagi dalam syariat islam scara umum. Aturan yang didalamnya terdapat banyak syarat-syarat yang terdapat kepentingan pribadi tanpa melihat kemaslahatan yang banyak, hal itu jelas bertentangan dengan syariat Allah swt. Beberapahal yang melatarbelakangi pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan untuk dipoligami akan dipaparkan berikut ini:
Pertama, poligami merupakan syari’at yang harus diyakini keberadaanya dan menjalankan jika hal itu benar-benar harus diamalkan tanpa ada tawaran. Sebaliknya, jika ada amalan yang lain amalan yang lebih mudah dan dapat mengantarkan kita pada kemaslahatan orang banyak, maka hal tersebut lebih baik agar tidak terjadi permasalahan dalam rumah tangga. Seoarang istri pasti mengetahui sejauh mana kemampuan suaminya. Oleh karena itu, lebih baik suami tidak poligami itulah harappan dari seorang istri, “tidak usah poligami”. Selain itu hukum poligami itu mubah. Oleh karena itu, tidak boleh ada paksaan dalam berpoligami.
Kedua, suami tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Hal itu karena bapak-bapak yang berada di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan rata-rata adalah seorang da’i yang dalam kesehariannya tidak bersama-sama keluarga. Secara manusiawi, manusia memang tidak mampu berlaku adil secara sempurna, namun usaha untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik bagi keluarga adalah keharusan. Ketika seorang suami yang berpoligami telah berusaha semaksimal mungkin untuk berlaku adil, hal itu merupakan toleransi baginya.
Suami tidak akan mampu adail kecuali hanya Allah swt pemilik keadilan yang pasti. Selain itu, QS an-Nisa [129] yang bermakna bahwa sekalipun manusia (suami) berusaha untuk berbuat adil, maka tidak akan terpenuhi. Maksud dari ayat tersebut adalah bahwasanya seluruh suami tidak akan sanggup adil diantara istri-istri mereka dalam hal perasaan, sekalipun malam demi malam terpenuhi, tetap akan ada perbedaan dalam hal cinta, kasih sayang, nafsu dalam berhubungan suami istri.
Alasan lain adalah pekerjaan seorang da’i yang mana sehari-harinya jarang bertemu dengan keluarga di rumah. Selain alasan tersebut, dengan keterbatasan finansial yang dimiliki oleh bapak-bapak di Pondok Pesantren Hidayatullah kebanyakan gajinya sangat minimal atau sangatlah kecil dan ini sudah menjadi halbiasa bagi orang yang tinggal di pondok karena, hal ini bisa dijadikan alasan bahwasanya finansial juga menentukan dalam memenuhi segala kebutuhan hidup istri-istrinya nanti beserta anaknya.
Ketiga, Menjalankan perintah Allah swt pasti ada hikmah di dalamnya. QS an-Nisa [3] yang menjelaskan suami beristri lebih dari satu merupakan ketetapan dari Allah swt bagi hambanya yang berjeniskelamin laki-laki bukanlah kerendahan derajat bagi istri yang tidak diperbolehkan bersuami lebih dari satu dalam waktu tertentu. Hal ini karena Allah swt lebih mengetahui siapa dan bagaimana kondisi makhluk yang diciptaknya.
Al-Quran surah an-Nisa [129] yang menjelaskan ketidak mampuan seorang suami untuk berlaku adil meski berusaha, bukanlah menjelaskan tentang pengharaman diterapkanya syari’at poligami. Pada hakikatnya, Allah swt memerintahkan kepada seorang laki-laki untuk brusaha adail kepada istri-istrinya dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan amanahnya sebagai kepala keluarga dan sebagi hamba Allah swt karena segala sesuatu akan di pertanggung jawabkan dihadapan Allah swt pada hari kiamat nantinya.
Jika dikemudian hari suami lebih cenderung kepada salah seorang istrinya maka hendaknya suami meminta maaf, dan ampun serta memperbaiki diri kepada Allah swt dan ini adalah usaha paling mulia yang dikerjakan oleh orang-orang beriman dan mau memperjuangkan sunnah Nabi saw. Sebaliknya poligami tidak akan terasa nikmat ketika pelaku tidak memiliki ilamu dan iman.
Keempat, Niat menolang karena Allah swt dan Rasul-Nya. Sebagaimana reialitas yang ada dari hasil penelitian bahwa, banyak para janda dan gadis yang merindukan dan menginginkan status sebagi seorang istri yang membutuhkan kasih sayang, perlindungan, penghormatan dan nafkah dari seorang suami, serta anak-anak yang terlantar tanpa seorang ayah yang membutuhkan kasih sayang dan didikan seorang ayah.
Sebaiknya jika landasan dasar poligaminya seorang laki-laki hanya karen nafsu semata, yang lebih mementingkan kecantikan, kaya, pendidikan, dari keluarga terhormat dan disegani, lebih kepada gadis-gadis yang lebih muda daripada istri pertama, kemudian cara yang ditempuh masalah ini pencarian istri kedua, ketiga, dan empat dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya dalam artian berpacaran terlebih dahulu kemudian menikah, maka hal ini jalas-jelas bertentangan dengan tujuan syari’at berpoligami itu sendiri. Terlebih lagi jika istri tidak rela dipoligami akibat perilaku suami yang tidak sesuai dengan syariat, suami tidak mampau memberi pemahaman yang baik kepada istri tentang syari’at poligami itu sendiri, jelaslah rumah tangga yang tadinya harmonis, akan menjadi rumah tangga yang bermasalah dan berakhir pada penceraian.
Kelima, Istri mandul dan sakit yang jika istri hamil maka akan bertambah parah sakitnya yang diderita. Selain itu, adanya perasaan dominan yang mementingkan kepentingan pribadi dalam hal ini seorang yag langsung membuat pernyataan bahwa dirinya tidak mampu bersabar dan tidak mau berbagi suami. Pernyataan ini jelas mendahului ketetapan Allah swt yang mana Allah swt pemilik dan penguasa hati, sehingga hanya Allah swt penentu segala sesuatu yang diciptakan-nya. Menjadi kewajiban manusia adalah usaha yang di tempuhnya untuk menghadapi segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah swt atas dirinya dengan sabar, ikhlas dan semata berharap lindungan dan bimbingannya tanpa mengedepankan nafsunya.
Lima faktor itulah mempengaruhi pandangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan tentang poligami, menggambarkan bahwasanya penerimaan terhadap poligami terbagi atas dua poin. Pertama, responden yang menerima syari’at poligami dan harus diyakini keberadaannya serta dijalankan jika hal itu benar-benar dari Allah swt dan Rasul-Nya, kedua, menerima poligami sebagai syari’at dan ketetapan Allah swt yang memang harus diyakini keberadaanya, tetapi dengan syarat tertentu yang masih dalam batasan kewajiban suami mampu berlaku adil, istri mandul, istri sakit dan tidak mampu melayani suaminya, namun pada akhirnya tidak siap dipoligami. Menerima syari’at poligami merupakan syari’at Allah swt dan harus diyakini keberadaannya, tetapi dengan syarat yang diluar batas kewajiban. Misalnya suami tidak mampu berbuat adil, poligami pada saat ini cenderung untuk memenuhi nafsu semata, suami belum memenuhi keriteria unntuk berpoligami, suami belum mampu sesecara finansial, serta pernyataan yang diungkapkan bahwa dirinya tidak bisa bersabar, ihklas dan tidak mampu berbagi, dan jika suami tetap berpoligami maka lebih baik bercerai.
Poin pertama jelas menerima syariat maupun realitas dalam kehidupann sehari-hari. Adapun poin kedua, keyakinan tetap pada syari’at, tetapi dalam syarat tertentu yang masih dalam kewajaran, serta syarat tertentu yang tidak dalam batasan kewajaran. Faktor di atas, merupakan gambaran berfikir terhadap pandangan diantara janda Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang didominasi oleh kepentinga pribadi tanpa melihat dan mempertimbangkan kondisi sekarang, karena banyaknya contoh para pelaku poligami yang gagal dan tidak sesuai dengan Rasulullah saw.
Realitas yang ada, para janda selalu beralasan berkeinginan untuk membesarkan anaknya padahal mereka sangatlah membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang lebih dari seorang (laki-laki) serta membantu dari keterlantaran anak-anaknya.
Jika kepentingan pribadi yang selalu merasa takut merebut kebahagiaan orang lain tanpa melihat kemaslahatan yang ada, maka itu kontradiksi terhadap kondisi wanita saat ini adalah empat banding satu. Selain faktor kepentingan pribadi dan keluarga yang tidak setuju dengan poligami, adanya kekhawatiran yang sangat akibat dari kegagalan para pelaku poligami ketika menjalankan poligami. Faktor kekawatiran yang berlebihan, tanpa melihat tujuan yang utama adanya syariat poligami tersebut, jelas bertentangan dengan laki-laki yang digaransi oleh Allah swt dalam hal ini kebolehan beristri lebih dari satu yang mana tertulis dalam QS an-Nisa [3] tersebut. Jika dibiarkan seorang wanita tanpa suami, berarti membiarkan wanita tersebut melawan fitrahnya sebagai seorang ibu yang butuh perlindungan dari seorang laki-laki. Dengan demikian, seorang laki-laki harus puas dengan satu orang istri yang dimilikinya meski ia mampu menikah lagi.
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Janda Tentang Poligami
Islam hadir bukan unntuk memberikan kebebasan, melainkan untuk membatasi dan mengatur yang tadinya tidak terbatas dan tidak teratur, serta memberikan sosial terbaik. Bukan membiarkan seorang laki-laki memperturutkan hawa nafsu, tetapi untuk mengikat poligami dengan aturan dan batasanya. Agama yang agung telah menjelaskan ritme-ritme kehidupan sehari-hari bagi manusia. Lewat kitab sucinya yang agung dan mulia yang didalamnya murni tidak ada campur tangan manusia melainkan mutlak hak penuh dari pemilik kesempurnaan dan kebijaksanaanlah yang membuatnya, kehendakNya lah seorang laki-laki menjadi pemimpin bagi para wanita. Sehingga, dalam kondisi apapun, pada dasarnya seorang perempuan membutuhkan seorang laki-laki dalam kehidupannya. Sebagai mana firman Allah swt dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat ke 34 yang berbunyi sebagai berikut :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Berdasarkan penjelasan ayat di atas, Allah swt dengan kesempurnaanya dan kekuasaannya memberikan amanah kepada laki-lakisebagai pemimpin bagi para wanita, yang mana laki-laki memiliki kemampuan lebih dalam hal perlindungan , bimbingan dan usaha. Adapun nafkah yang disebut di atas adalah nafkah sehari-hari.
Jelaslah agama Islam yang mulia, memberikan kewajiban kepada para suami untuk bertanggung jawab dalam hal nafkah atas istri dan anak-anaknya. Kelebihan laki-laki atas wanita, bukanlah menunjukan kelemahan wanita, melainka wanita terlahir ke Dunia untuk saling melengkapi dan memahami.
Wanita dengan fisik dan mentalnya memang cocok untuk dipimpin, dan segalah sesuatu menjadi keputusan Allah swt pasti memiliki hikmah yang besar, karenah Allah swt menciptakan dan menetapkan sesuatu dengan sia-sia. Berdasakan realitaas, tradisi wanita di zaman dahulu sampai sekarang, secerdas dan sekuat apapun wanita, pada dasarnya tetap menyakini urgensi kepemimpinan, perhatian, keperkasaan dan perlindungan laki-laki.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah swt menjelaskan betapa besarnya seorang pemimpin (suami) terhadap seorang istrinya. Hal ini memang wajar, sebab begitu akad nikah selesai diikrarkan, suami adalah orang yang pertama yang bertanggung jawab atas istrinya. Mengapa hak suami atas istrinya lebih besar, sebab Allah memberikan garansi para wanita yang taat kepada suaminya akan dijaga oleh Allah swt dari hal-hal yang menjerumuskan kepada perbuatan dosa.
Ini diantara kebijakan yang tertulis didalam kitab yang agung itu, terdapat dalam QS an-Nisa [3] sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Ayat ini jelas bahwa hukum islam memberikan peluang terhadap laki-laki untuk menikah lagi sesuai dengan fitrahnya yang tergambar dalam al-Qur’an. Poligami juga sunnah nabi saw. Selain sunnah, merupakan fitrah manusia yaitu saling mengenal dan saling membutuhkan diantaranya. Diberikanya rukhshah (kebolehan) untuk melakukan poligami disertai dengan kehati-hatian yang dikhawatirkan tidak bisa adil, dan dicukupkanya monogami (beristri satu) dalam kondisi tertentu dalam artian jika tidak ada yang mendesak yang dengannya suami bisa dikenai kewajiban untuk berpoligami.
Kebolehan yang disertai dengan kehati-hatian perlu dijelaskan dengan baik, hikmah dan maslahatnya. Saat ini, banyak manusia menjadikan poligami sebagai pelarian dan pelampiasan nafsu semata. Sehingga kemurnian syari’at poligami itu ternodai oleh pelakunya yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah swt. Sebagai mana terdapat dalam QS ar-Ruum [21] sebagai berikut:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)
Jelas bahwa ayat ini tidak bertentangan degan fitrah manusia yang saling ketergantungan satu sama lainnya. Selain saling ketergantungan, manusia juga membutuhkan rasa aman, damai, tentram, mencintai dan dicintai. Selain didukung oleh ayat. Hal itu dilihat dari banyaknya jumlah janda dan para gadis yang belum menikah. Poligami diberlakukan agar mengangkat derajat para wanita terutama para janda secara umum dan menghindari terjadinya zina. Berdasarkan hasil penelitin yang ada ternyata masih terdapat kontradiksi di kalangan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan memandang poligami.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah meneliti tentang pandangan janda terhadap poligami, peneliti menyimpulkan:
1. Gambaran Bagaimana Pandangan Janda tentang Poligami.
Berdasarkan syariat Allah swt, mau atau tidak poligami harus diyakini dan diamalkan jika hal itu sesuai dengan syariat Allah swt dan Rasul-Nya. Meski sudah menjadi syariat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada umat Islam yang tidak siap untuk dipoligami. Sebagaimana dengan janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang meyakini poligami merupakan syariat Allah swt yang mana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, namun masih ada janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang tidak siap untuk dipoligami dengan berbagai macam alasan yang dijadikan sebab penghalang bagi laki-laki untuk tidak melaksanakan poligami.
2. Tinjauan Hukum Islam atas Pandangan Janda tentang Poligami.
Berdasarkan hasil analisis yang ada, disimpulkan bahwa keberadaan poligami sebagai syariat, tetap diyakini oleh para janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Akan tetapi, pada proses penerapannya, para janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan ada yang siap dipoligami ketika Islam telah menjadi pilihan hidup. Sebaliknya, ada juga janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan yang tidak siap untuk dipoligami. Adapun yang tidak siap memberikan alasan bahwa, laki-laki belum mampu secara finansial, tidak belaku adil, tidak berbagi dan tidak bisa ikhlas sepenuh hati.
Berdasarkan pemahaman yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw semata, hendaknya para janda di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan ketika menjalankan syariat Allah swt. Maka hendaknya benar-benar menjalankan sesuai dengan al-Quran dan sunnah Nabi saw yang menjauhkan pemeluknya dari sikap berlebihan dan pertentangan terhadap hukum Allah swt dan Rasul-Nya.
B. Saran-Saran
1. Kepada seluruh umat Islam yang ada di Dunia secara khusus di Indonesia untuk selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah nabi, dan menjadikan keduanya tempat bersandar dari segala sesuatu solusi dari segala masalah, jawaban dari segala pertanyaan, obat dari segala penyakit dan akhir dari segala keputusan.
2. Kepada pemerintah, hendaknya membangun lembaga khusus pengontrol praktik poligami terhadap warganya.
3. Kepada para Alim Ulama dan da’i yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah untuk tak bosan-bosanya memberikan arahan kepada warganya, terutama kepada para janda tentang keutamaan poligami, agar bisa menjalankan syari’at secara utuh dan sempurna.
4. Kepada seluruh mahasiswa/i STIS Hidayatullah balikpapan tetaplah berpegang kepada komitmen yanng kuat serta konsisten dalam menjalankan amanah dakwah dan terus menggali ilmu karna kita merupakan generasi pelanjut ekstapeta pergerakan dan perjuangan dakwah kedepan agar dapat juga melanjutkan penelitian ini.
Rabu, 04 Maret 2015
Home »
Data pribadi
» skripsi pandangan janda tentang poligami
0 komentar:
Posting Komentar
letihkan badanmu untuk mendapatkan kenikmatan