PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)
Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
BALIKPAPAN
2014 M / 1436 H
PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)
Skripsi
Diajukan Kepada STIS Hidayatullah Balikpapan Untuk Memenuhi
Sebagai Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
WINANTO
NIM: 2011.08.15
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH HIDAYATULLAH
BALIKPAPAN
2015 M / 1436 H
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Winanto
NIM : 2011.08.15
Program / Jurudan : Ahwal al-Syakhsyiyyah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Jika di kemudian hari ia terbukti ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain secara keseluruhan atau sebagian besar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Balikpapan, 7 Maret 2015
Yang Membuat Pernyataan
Winanto
NOTA DINAS PEMBIMBING
Kepada Yth:
Ketua STIS Hidayatullah
Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan, dan koreksi terhadap penulisan skripsi yang berjudul :
“PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG
BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
(Studi Kitab al-Umm)
Yang ditulis oleh :
Nama : Winanto
Nim : 2011.08.15
Jenjang : S I
Jurusan/Prodi : Ahwal al-Syakhsiyyah
Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut di atas sudah dapat diajukan kepada STIS Hidayatullah Balikpapan untuk diajukan dalam rangka memperoleh gelar sarjana Hukum Islam.
Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Balikpapan, 7 Maret 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Nasirul Haq, Lc, MA Ahmad Rifai, Lc
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm)
Ditulis Oleh : Winanto
Nim : 2011.08.15
Jurusan/Prodi : Syari’ah / Ahwal asy-Syakhsiyyah
Setelah diteliti dan diadakan perbaikan seperlunya, kami dapat menyetujuinya untuk dipertahankan di depan sidang tim penguji skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan.
Balikpapan, 7 Maret 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Nashirul Haq, Lc, MA Ahmad Rifa’I, Lc
Mengetahui:
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
Hidayatullah Balikpapan
Dr. Abdurrahim, S.Hum, M.S.I
ABSTRAK
Winanto. 2015 Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia (studi kitab al-umm). Skripsi Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah, pembimbing: (1) Ust. H. Nashirul Haq, Lc MA, Pembimbing (II)Ahmad Rifai, Lc
Penelitian ini latarbelakangi adanya perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dengan Jumhur Ulama’ yang berkaitan dengan masalah Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Rumusan yang peneliti gunakan yaitu, apa landasan Imam Syafi’i Mahar wajib diberikan kepada istri sebelum ataupun sesudah terjadi, akan tetapi, Imam Malik dan Ulama’ lainnya, istri hanya berhak mendapatkan mahar saja. Penelitian ini adalah deskriptif . sumber primer adalah Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
Peneliti menguraikan beberapa yang menjadi landasan teori pada peneliti ini, berdasarkan difinisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri dan tidak dapat diganggu oelh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmati maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Selanjutnya, peneliti mengemukakan biografi Imam Syafi’i, metode istinbatnya serta landasan hukum yang digunakan. pemikiran Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia. Imam Syafi’i Berdasarkan pada hukum QS. An-Nisa’ ayat : 4 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dengan mengambil hukum khusus berdasarkan pada nash pada ayat tersebut.
Melaluai teknik analisis data, peneliti ini menghasilkan Metode Istinbath yang digunakan oleh Imam Syafi’i adalah al-Qur’an, Sunnnah, Ijma’, Qiyas dan Tafsir. Bahwa mahar wajib diberikan ketika suami meninggal dunia sebelun dukhul atau sebelum dhuhul, akan tetapi Imama Malik, dan beserta Ulama’ lainya, justru istri hanya berhak mendapatkan waris saja.
Peneliti menyimpulkan bahwa pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan Jumhur Ulama’. Akan tetapi, landasan Imam Syafi’i lebih mendekati kebenaran, yaitu mahar wajib diberiakan kepada istri ketika suami meninggal dunia ketika suami sebelum atau sesudah becampur. Karena mahar bentuk penghormatan suami terhadap istri.
Moto
Letihkanlah badanmu untuk mendapatkan kenikmatan
Pimpin dan extrimkan dirimu untuk merubah dunia
Sedikitkan tidur untuk sehatkan badanmu,
Sedikitkan tidurmu supaya bahagia selalu
PERSEMBAHAN
Sebuah karya saya persembahkan kepada :
Ibunda dan Ayahanda tercinta beserta keluarga dan guru kami
Terima kasih atas doa dan doanya
yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup kami
doa, doa, dan doa Extrim yessss
KATA PENGANTAR
بسم الله الرمن الرحيم
A lhamdulillah, segala puji dan penghormatan hanyalah milik Allah swt. Penguasa alam semesta, tak ada tara bagi-Nya dan tak ada kesempurnaan kecuali diri-Nya. Shalawat dan semoga senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw, keluarga, para sahabat dan pengikutnya.
Alhamdulillah, pada diri-Nyalah tempat berkumpul segala kebaikan, yang dengan-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Begitu juga peneliti ucapkan Jazakumullahu kairan, untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Ustadz Dr. Abdurrohim, S.Hum, M.S.I, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah Balikpapan.
2. Ustadz Azhari, S.H.I, M.Pd.I, Selaku pembimbing II dalam Penelitian skrpsi ini.
3. Ustadz. Rifa’I, Lc sebagai wakil ketua I bidang akademik STIS Hidayatullah Balikpapan.
4. Ustadz. Hidayat Jaya Miharja, S.S, M.Si, sebagai wakil ktua II bidang administrasi STIS Hidayatullah Balikpapan.
5. Ustadz. Herianto Muslim, S.H.I, M.H.I sebagai wakil ketua III bidang kemahasiswaan STIS Hidayatullah Balikpapan
6. Ustadz. Lukman Hakim, Lc sebagai wakil ketua IV bidang kemahasiswian STIS Hidayatullah Balikpapan.
7. Ustadz. Kusnadi, S.H.I, M.Hum Sebagai Kepala Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengapdian Masyarakat (LPPM) STIS Hidayatullah Balikpapan.
8. Segenap staf pengurus dan dosen pengajar Sekolat Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan yang telah membantu kami untuk menyelesaikan pendidikan kami di jenjang S1.
9. Rekan-rekan mahasiswa STIS Hidayatullah dan teman-teman santri putra maupun putri Hidayatullah yang telah mengajarkan akan artinya kebersamaan.
10. Semua pihak yang terkait dengan proses penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya peneliti memohon ampun kepada Allah swt, dengan semua kelemahan peneliti miliki, dan semoga Allah swt senantiasa melindungi dan memberikan balasan kebaikan dengan sebaik-baik balasan, di dunia maupaun di akhirat. Tak lupa pula peneliti sampaikan bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka Saran dan keritik yang sifatnya membangun, sangat peneliti harapkan, karena kesempurnaan, mutlak hanyalah milik Allah swt Tuhan semesta alam.
Balikpapan, 28 Februari 2015
Winanto
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/dan 0543b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988.
Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي Alif
ba'
ta'
ṡa'
jim
ḥa'
kha'
dal
żal
ra'
zai
sin
syin
ṣād
ḍaḍ
ṭa'
ẓa'
'ain
Gain
fa'
qāf
kāf
lam
mim
nun
wawu
ha'
hamzah
ya' Tidak dilambangkan
b
t
ṡ
j
ḥ
kh
d
ż
r
z
s
sy
ṣ
d
ṭ
ẓ
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
'
Y Tidak dilambangkan
Be
Te
Es (dengan titik di atas)
Je
Ha (dengan titik di bawah)
Ka dan Ha
De
Zet (dengan titik di atas)
Er
Zet
Es
Es dan Ye
Es (dengan titik di bawah)
De (dengan titik di bawah)
Te (dengan titik di bawah)
Ze (dengan titik di bawah)
Koma terbalik di atas
Ge
Ef
Qi
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye
Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
عدة Ditulis ‘iddah
Ta' marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
هبة
جزية Ditulis
Ditulis Hibah
Jizyah
2. Bila diikuti kata “al” serta dibacaan kedua ituterpisah, maka ditulis dengan “h”
كرامة الأولياء Ditulis Karāmah al-auliyā'
3. Bila ta' marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah ditulis “t”
زكاة الفطر Ditulis Zakātul fiṭri
Vokal Pendek
____
____
____
Kasrah
fathah
dammah ditulis
ditulis
ditulis I
a
u
Vokal Panjang
fatḥah + alif
جاهلية
fatḥah + ya' mati
يسعى
Kasrah + ya' mati
كريم
ḍammah + wawu mati
فروض
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis Ā
jāhiliyyah
ā
yas‘ā
ī
karīm
ū
furūḍ
Vokal Rangkap
fatḥah + ya' mati
بينكم
fatḥah + wawu mati
قول Ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
Ai
bainakum
au
qaulun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .... ii
NOTA DINAS PEMBIMBING .... iii
PENGESAHAN .... iv
ABSTRAK .... v
LEMBAR MOTTO .... vii
PERSEMBAHAN .... viii
KATA PENGANTAR .... vii
DAFTAR ISI .... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .... 1
B. Rumusan Masalah .... 6
C. Tujuan Penelitian .... 6
D. Signifikansi Penelitian .... 6
E. Definisi Operasional .... 7
F. Kajian Pustaka .... 8
G. Metode Penelitian .... 9
H. Sistimatika Penulisan .... 12
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR
A. Mahar .... 13
1. Pengertian Mahar .... 13
2. Dasar Hukum Mahar .... 16
B. Kadar Mahar .... 18
C. Macam-macam Mahar .... 20
1. Mahar Musamma .... 20
2. Mahar Mitsil .... 21
D. Bentuk dan Syarat-syarat Mahar .... 23
E. Hikmah Mahar .... 26
BAB III PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR
HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
A. Bioografi Imam Syafi’i .... 27
1. Latar Belakang Keluarga .... 27
2. Pendidikan .... 28
3. Guru dan Murid Imam Syafi’i .... 32
4. Karya Imam Syafi’i .... 34
B. Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
BAB IV : Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang
yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia Dalam Tinjauan Tafsir
A. Dasar Pemikiran ImamS yafi’i entang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal ................................................ 40
B. Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dalam Tinjauan Taftsir............... 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpula ........................................................................................ 54
B. Saran ...... 55
LAMPIRAN DAFTAR TERJEMAHAN AL-QUR’A
DAFTAR PUSTAKA .... 58
RIWAYAT HIDUP PENULIS .... 64
LEMBARAN BIMBINGAN .... 66
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan muara atas rasa saling kasih dan mencintai antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi iradah Allah swt manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah swt mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sehingga manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat melestarikan eksistensi dalam hidupnya. Hal ini tertera dalam al-Quran Surat an-Nisa [4] ayat : 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Allah swt tidak ingin menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan bebas antara perempuan dan laki-laki secara anarki tanpa ada suatu aturan. Akan tetapi, demi menjaga martabat dan kemuliaan manusia, Allah swt mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara hormat dan berdasarkan saling meridhai. Upacara akad nikah sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Islam sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya, yaitu hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakan sebagai rukun nikah maka hukum memberikannya adalah wajib. Mahar hanya diberikan oleh calon suami suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau apapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya.
Mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pemberian tersebut sebagai syarat sahnya pernikahan sehingga hukum mahar adalah wajib . Sesuai firman Allah swt. dalam al-Quran Surat an-Nisa’ ayat : 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Tiada ketentuan hukum yang disepakati Ulama’ tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya. Yang jelas meskipun sedikit, ia wajib ditunaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 dan 31 menyebutkan bahwa “Calon mempelai pria wajib memberi mahar kepada calon mempelai wanita, yang bentuk, jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belak pihak” dan “Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.”
Dari uraian di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, bukan sebagai pemberian atau ganti rugi. Mahar itu untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara kedua suami istri .
Tentang pemberian maskawin atau mahar itu boleh saja dibayarkan tunai atau sebagian tunai dibayarkan kelak. Hal ini diserahkan sebagaimana kebiasaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan istri, atau suami meninggal dan belum terjadi hubungan seksual, maskawin wajib dibayarkan seluruhnya.
Apabila perceraian terjadi sebelum dukhul akan tetapi besarannya mahar belum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil (ps. 35 ayat (3) KH ). Namun, jika suami meninggal sebelum dukhul, seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya ( ps. 35 ayat (3)).
Imam Malik mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang di antara kedua pasangan meninggal dunia sebelum terjadi percampuran. Apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual (qobla dukhul), maka tidak wajib membayar mahar tetapi istri mendapat warisan saja, yang diterangkan dalam kitab al-Muwwatho’ karangan beliau :
“Hadits dari Malik, dari Nafi’, bahwa anak perempuan Ubaydullah Ibn Umar yang ibunya adalah anak perempuan Zaid ibn al-Khattab, menikah dengan putri Abdullah Ibn Umar. Ia (si-suami) meninggal sebelum menikmati pernikahan (melakukan hubungan seksual) ataupun sebelum menentukan maharnya. Ibu si istri menginginkan mahar tersebut dan Abdullah ibn Umar berkata : “Ia (si istri) tidak berhak atas mahar, sekirannya ia mempunyai mahar kami tidak akan menahannya, dan kami tidak memperlakukannya secara tidak adil.” Si ibu menolak untuk menerima hal itu. Zayd Ibn Tsabit dibawa untuk mengadili mereka, dan dia memutuskan bahwa si istri tidak memperoleh mahar, tetapi ia memiliki hak waris. ”
Pendapat Imam Malik ini justru berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i dan beberapa imam lainya. Menurut Imam Syafi’i bahwa mahar tetap dibayarkan meskipun suami meninggal dunia. Karena menurut beliau bahwa mahar adalah wajib bagi seorang suami kepada istri, meskipun suami meninggal dunia. Hal ini disebutkan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ
“Bahwa Imam Syafi’i ra berkata : apabila suami menikahi wanita dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami, jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri. Apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang. Apabila dengan hutang maka harus dibayar dengan hutang, apabila berupa takaran yang disifati maka berupa takaran dan apabila berupa barang yang disifati maka dengan barang. Apabila mahar yang disebut berupa barang tertentu semisal, hamba sahaya, unta atau sapi dan rusak ketika masih dibawa suami sebelum ia serahkan kemudian suami men-talaq istri sebelum melakukan hubungan suami istri maka istri berhak mendapatkan separuh harga barang tersebut, terhitung harga pada waktu akad nikah yaitu pada hari istri memiliki mahar”.
Disamping itu, maskawin dibayar sepenuhnya karena salah seorang dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia, sekalipun persetubuhan belum dilakukan, menurut kesepakatan para sahabat. Atau telah melakukan persetubuhan dengan memasukkan hasyafah (kepala penis) saja, sekalipun selaput darah istri masih utuh.
Melihat dari latarbelakang permasalahan yang ada, maka peneliti ! akan membahasnya ke dalam skripsi yang berjudul
“Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum dibayar Karena Suami Meninggal Dunia”
B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi spesifik yang sesuai dengan titik kajian, maka diperlukan rumusan masalah yang lebih fokus. Hal ini dimaksudkan agar dalam pembahasan ini tidak melebar dari tujuan penelitian. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan masalah yang dapat diambil yaitu :
1. Bagaimana dasar istinbat hukum Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia?
2. Bagaimana tinjauan Tafsir tentang dasar istinbat hukum Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian karya ini adalah untuk menjawab tentang apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah di atas. Beberapa tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar dan istinbat hukum Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
2. Untuk mengetahui tinjauan Tafsir terhadap dasar istinbat yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
D. Signifikasi Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan oleh peneliti bermanfaat untuk:
1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia
2. Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dalam mengisi khazanah (wawasan) keilmuan dalam bidang hukum Islam, yang berkaitan dengan Ahwal al-Syakhsiyyah terkhusus dalam masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
3. Dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.
E. Definisi Operasional
Agar terarah penulisan ini dan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami judul ini, maka peneliti memberikan definisi operasional sebagai berikut:
1. Pemikiran; hasil dari memikirkan.
2. Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar yang penulis maksud adalah pemberian yang diwajibkan oleh syari’at dari mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan sebagai bentuk imbalan dalam pernikahan, berdasarkan kerelaan keduanya. Hutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain, dengan kewajiban membayar kembali apa yg sudah diterima.
3. Suami Meninggal Dunia yang penulis seorang istri yang ditinggal mati dalam keadaan suami meninggalkan hutang Mahar
4. Imam Syafi’i adalah penulis Kitab al-Umm. Ia adalah salah satu mazhab ahlusunah wal jama’ah
F. Kajian Pustaka
Penelusuran peneliti sejauh ini, ada beberapa penelitian yang membahas tentang mahar, akan tetapi berbeda dengan penelitian dalam skripsi ini.
Pertama, Kadar Mahar (studi Komperatif Terhadap Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i) oleh Marwah Pau, alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam mengenai kadar minimal Mahar. Imam Malik Mengatakan Bahwa mahar itu wajib ditentukan kadar minimalnya. Pemikiran ini bertolak belakang dengan pendapat Ima Syafi’i yang mengatakan bahwa kadar mahar itu tidak dapat di tentukan kadar minimalnya.
Kedua, MaharMitsl Terhadap Istri yang di Tiggal Mati suami Qobla Dukhul menurut iman malik (Studi Kitab al-Muwatha’ jilid II). Oleh Ema Ermawati alumni STIS Hidayatullah. Skripsi ini menganalisis tentang pendapat imam malik yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan mahar itu terdapat istimta’ (kenikmatan). Sedangkan par jumhur (syafi’i, hanafi, hambali) mengatakan bahwa kepemilikan mahar semata-mata karena akad.
Wujud Mahar Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Oleh Maftuhah AS alumni STIS membahas bentuk-bentuk Mahar.
Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitiana yang telah peneliti kemukakan di atas, maka peneliti memilih judul dengan alasan belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu sehingga penelitian yang akan peneliti lakukan berbeda dengan karya skripsi yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu. Skripsi ini lebih spesifik membahas tentang pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm.
Disamping itu, untuk memahami lebih komprehensif tentang pemikiran Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan dengan mahar, mengingat Imam Syafi’i sampai sekarang masih dipakai di Indonesia yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
G. Metode Penelitian
Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian , yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini.
2. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari data-data sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut . Adapun sumber primer penelitian ini adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli yang memuat informasi atau data tersebut. Adapun sumber-sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini diantaranya :
1) Kitab al-Muwwatta’, karya Imam Malik
2) Kitab ar-Risalah karya Imam Syafi’i
3) Kitab al-Khawi al-Kabir, karya Imam al-Mawardi
4) Kitab Bidayatul mujtahid
5) Kitab-kitab Hadis dan buku-buku lain yang membahas tentang
mahar.
.Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), yaitu membaca buku kepustakaan dan literatur-literatur lainnya. Dalam tahap ini akan berfungsi sebagai penyelidikan untuk mendapatkan data melalui literatur atas pemikiran pemikiran Imam Syafi’i tentang tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Setelah data berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan.
4. Metode Analisis Data
Berdasarkan data diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data data yang terkumpul maka metode unakan adalah metode deskriptif-analisis adalah suatu bentuk analisis yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Analisis Deskriptif yaitu bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data yang diperoleh. Dengan demikian penulis akan menggambarkan pendapat Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia yang terdapat kitab al-Umm.
Selain itu, peneliti menggunakan analisis penelitian dengan metode komparasi. Penelitian komparasi akan dapat membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan pandangan-pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide –ide. Pada penelitian ini peneliti akan membandingkan dari beberapa pandangan tentang mahar yaitu pendapat dari Imam Syafi’i, Imam Malik dan imam lainnya sehingga akan diambil sebuah kesimpulan.
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab, dimana dalam setiap bab terdapat sub-sub bab permasalahan yaitu :
Pada Bab I memuat tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada Bab II akan dijelaskan tentang pengertian mahar, dasar hukum mahar, kadar mahar, macam-macam mahar, bentuk dan syarat-syarat mahar serta hikmah adanya mahar.
Bab III berisi tentang biografi Imam Syafi’i, pendapat Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia , metode istinbath hukum Imam Syafi’i secara umum, dan metode istinbath hukum Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Selanjutnya pada Bab IV, dibahas analisis pendapat Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia dan analisis metode istinbath hukum Imam Syafi’i tentang mahar utang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia.
Terakhir, Bab V sebagai penutup, yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan Penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR
A. Mahar
1. Pengertian Mahar
Dalam Kamus Besar Indonesia bahwa mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir, kata mahar berarti maskawin.
Shadaq atau mahar diambil dari kata ash-shidqu yang artinya kesungguhan atau kebenaran. seorang laki-laki benar-benar ingin menikahi wanita yang diinginkan tersebut. Sedangkan, mahar yang diberikan tersebut sebagai ganti yang telah disebutkan dalam akdad nikah atau sesudahnya.
Kata mahar dalam al-Qur’an tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata shaduqah, yaitu dalam QS. an-Nisa [4] : 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Ditinjau dari asbab al-nuzul QS an-Nisa’ ayat 4 di atas bahwa dalam Tafsir Jalalain ada keterangan sebagi berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Abu Salih katanya:” Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan seorang putrinya, diambil maskwinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa’.
Sedangkan mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’,ujr, uqar dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari suatu yang diterima.
Menurut Buya Hamka bahwa kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan shadaqah. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati yang suci, muka jernih dari suami kepada calon istri. Arti yang mendalam bahwah mahar itu adalah laksana cap atau stempel karena nikah sudah di materaikan.
Menurut Imam Taqiyuddin Abubakar, mahar (Shadaq) ialah sebutan harta yang wajib atas orang laki-laki bagi perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi’). Di dalam al-Qur’an maskawin disebut shadaq, nihlah, faridhah dan ajr. Dalam sunah disebut mahar,’aliqah dan ‘aqar. Shadaq (maskawin) berasal dari kata shadq artinya sangat keras karena pergantiannya (bayarannya) sangaat mengikat, sebab maskawin tidak dapat gugur dengan rela-merelakan taradhi.
Menurut Zainuddin ibn ‘Aziz al-Malibary menegaskan, mahar ialah sesuatu yang menjadi kewajiban pemberi tersebut, shidaq dinamakan juga dengan mahar.
Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad al-jamal, dan dia menyukai sesuai dengan kemampuan prianya. Islam tidak menyukai berlebih-lebihan dalam maskawin, sehinggah memudahkan manusia untuk kawin. Mempermahal mahar adalah sesuatu yang dibenci dalam islam, karena akan mempersulit hubungan diantara manusia.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa maskawin adalah harta pemberian wajib dari pihak suami kepada pihak istri, dan sebagai hak penuh bagi istri serta tidak boleh digangu oleh siapapun bahkan oleh suaminya sendiri. Suami dapat menikmti maskawin tersebut setelah mendapatkan kerelaan dari istrinya.
Agama tidak membolehkan laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Allah Subahanahu wata’alah (swt) telah berfirman dalam surat an-Nisa : 20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Mahar yang telah disepakati boleh diserahkan saat akad nikah, separuh atau sebagiannya. Tetapi, sesudah terjadih hubungan suami istri mahar itu wajib dibayar seluruhnya. Dalam keadaan perceraian sebelum melakukan hubungan suami istri, istri wajib mengambil itu separuh. Hal ini disepakati para ulama, dan sparuh lagi dikebalikan kepada suami. Kecuali, istri itu melepaskan haknya, maka suami boleh mengambil semua, atau suami yang melepaskan haknya, maka istri juga boleh mengambil semua. hal ini berdasarkan pada firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ …..
Islam menganggap penyerahan hak ini dari laki-laki kepada perempuan sebagai pendekatan diri kepada Allah swt, dan termasuk sebagai sifat yang baik dan luhur. Hal ini terkandung dalam firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh [2] : 237
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Maksudnya, bahwa perceraian janganlah menyebabkan kamu lupa tentang keakraban, persaudaraan antar sesamamu.
2. Dasar Hukum Mahar
a. Firman Allah swt : QS. an-Nisa’ ayat 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Juga dalam firman allah swt : QS. an-Nisa’[4] ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Sabda Rasulullah saw :
حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الخَلَّالُ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ، قَالَا: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ طَوِيلًا، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَزَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ، فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا؟» فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِزَارُكَ، إِنْ أَعْطَيْتَهَا جَلَسْتَ، وَلَا إِزَارَ لَكَ، فَالتَمِسْ شَيْئًا؟» قَالَ: مَا أَجِدُ، قَالَ: «فَالتَمِسْ، وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ» قَالَ: فَالتَمَسَ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ». هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، فَقَالَ: «إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ يُصْدِقُهَا فَتَزَوَّجَهَا عَلَى سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ، فَالنِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيُعَلِّمُهَا سُورَةً مِنَ القُرْآنِ». وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: النِّكَاحُ جَائِزٌ، وَيَجْعَلُ لَهَا صَدَاقَ مِثْلِهَا، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الكُوفَةِ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ. (صحيح البخاري)
“Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah kepada Ya‟kub dari
Abi Khazim dari Sahal bin Sa‟ad as-Sa‟idi berkata : ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dengan berkata : “ Ya Rasulullah! Saya datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri). ”Rasul memandang wanita itu dengan teliti lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wan ita itu meyadari bahwa Rasul tidak tertarik padanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata :”Ya Rasulullah! seandainya tuan tidak membutuhkannya, kawinkanlah dia dengan saya. ”Rasul bertanya: ”Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu : ”Demi Allah, tidak ada apa-apa, ya Rasulullah. ”Rasul berkata: ”Pergilah kepada sana keluargamu! Mudahmudahan engkau memperoleh apa-apa. ”Lain orang itu pergi.
Setelah kembali ia berkata: ”Demi Allah, tidak ada apa-apa. ”Rasul berkata: “Carilah walaupun sebuah cincin besi! ”Orang itu pergi, kemudian kembali pula. Ia berkata : ”Demi Allah, ya Rasulullah, cincin pun tidak ada. Tetapi saya ada mempunyai sarung yang saya pakai ini. ( Menurut Sa‟id, ia tidak mempunyai kain selain dari yang dipakainya itu). Wanita itu boleh mengambil dari sebahagian dari padanya. ”Rasullullah berkata : ”Apa yang dapat engkau lakukan dari sarungmu itu. Kalau engkau pakai tentu ia tidak berpakaian. “Lalu orang itu pun duduklah. Lama ia termenung kemudian ia pergi. Ketika Rasul melihatnya pergi,
beliau menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau bertanya: ”Adakah engkau menghafal Qur‟an? ”Orang menjawab : ”saya hafal surat ini dan surat itu. ”Ia lalu menyebutkan nama beberapa surat dalam Al-Qur‟an. Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” jawab orang itu. “ Pergilah, engkau saya kawi nkan dengan wanita itu dengan Alqur‟an yang engkau hafal itu”. (HR al-Bukhari).
B. Kadar Mahar
Syari’at Islam tidak membatasi kadar mahar yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkan kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka. Nash al-Qur’an dan hadits hanya menetapkan mahar itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cicin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda :
“(Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan (mahar) cincin yang terbuat dari besi”. (HR. Al-bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)
Ibnu Taimiyaiah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampuh dan hukumnya tidak makruh. Kecuali, disertai dengan hal-hal atau syarat lain yang bisa menjadikan hukumnya makruh. Seperti diikuti rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi yang tidak mampu memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh. Bahkan menjadi haram jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi hal itu atau benda itu berbentuk benda yang diharamkan. Jika jumlah mahar yang ditentukan itu besar dan ia menyanggupi dengan ditangguhkan (tidak tunai), maka hukumnya juga makruh. Karena, hal ini bisa menyibukkan suami dengan tanggungan yang dipikulnya”.
Bagaimanapun, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan supaya menikah agar masing-masinig dapat menikmati hubungan yang halal dan baik.
Untuk mencapai hal ini, tentunya di beri jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang yang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk menikah. Merekah itu termasuk golongan mayoritas dari umat manusia.
Karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, Islam menghendaki bahwah setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberi keberkahan dalam kehidupan suami istri. Mahar yang murah pun menunjukan kemurahan hati dari pihak perempuan.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa banyaknya mahar akaan menjadikan suami benci terhadap istrinya, ketika ia ingat besarnya mahar yang harus dipenuhi. Karenah itu, wanita yang paling mulia dan diberkahi Allah adalah wanita yang paling sedikit maharnya, seperti yang telah diterangkan dalam hadits ‘Aisyah ra kemudian mahar membawa berkah bagi sang istri dan dapat menimbulkan rasa kasih dari suaminya.
Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini, bahkan menyalahinya dan berpegang pada adat ajaran jahiliah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anknya kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah wanita itu barang dagangan yang di pasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini banyak menimbulkan kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan dunia perkawinan. Akibatnya, yang halal ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (zina).
C. Macam-macam
Ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
1. Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakad bahwa mahar musamma dalam pelaksanaannya harus diberikan secara penuh apabila :
a. Telah bercampur (bersenggama). Tentang ini allah swt. Berfirman dalam QS. an-Nisa’ [4] ayat : 20
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Dalam ayat lain Allah swt berfirman dalam QS. an-Nisa’[4
ayat : 20
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
b. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayarkan seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti istrinya mahram sendiri, atau dikira gadis ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah swt pada QS al-Baqoroh : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ
2. Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan :
a) Suami dalam keadaan tidak menyebutkan sama sekali mahar dan jumlahnya.
b) Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah mahar minuman keras.
c) Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian sumi istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
Menurut Mazhab Abu Hanifah, wajib diberikan mahar mitsil karena tiga hal diantaranya :
a) Pada waktu dilakukan akad nikah tidak disebutkan jumlah dan jenis mahar dan sebelumnya belum ditentukan mahar itu, seperti dalam nikah tafwidh. Dengan berlangsungnya akad nikah ini wanita yang bersangkutan berhak menerima mahar mitsil.
b) Pada waktu akad nikah tidak disebut maharnya, tetapi kemudian ternyata barang yang disebut sebagai mahar itu sesuatu yang tidak berharga. Menyebut barang yang demikian sebagai mahar dalam akad nikah menerima mahar mitsil.
c) Sepasang suami istri telah sepakat kawin tanpa mahar, namun menurut hukum islam suami harus membayar mahar, sebab mahar itu adalah hak allah. Dalam hal ini istri berham menerima mahar mitsil karena ada keharusan dalam syara’ bahwa suami membayar mahar kepada istrinya karena terjadi perkawinan sehingga orang yang melakukan perkawinan tidak berhak menghilangkan ketentuan itu.
Dalam hal nikah tafwidh, apabila wanita sudah suaminya wanita harus mendapat mahar mitsil. Jadi, keharusan membayar mahar mitsil itu bukan karena akad nikahnya, tetapi karena mereka telah bercampur. Istri berhak menuntut kepada suami dalam ketentuan jumlah maharnya sebelum dicampuri. Apabilah suami menentukan jumlah itu kurang dari pada mahar mitsil maka hal ini harus disetujui pihak wanita karena mahar itu haknya. Tetapi kalau suami menentukan jumah sebesar mahar mitsil maka tidak perlu meminta persetujuan lagi. Kalau suami tidak mau menentukannya atau terjadai perselisihan pendapat tentang besar jumlahnya, maka hakimlah yang menentukan mahar mitsil mereka.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan. Firman Allah swt dalam QS. al-Baqoroh[2] : 236
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Ayat ini menunjukan bahwa seseorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
D. Bentuk Mahar dan Syarat-syarat Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun, syar’iat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa dalam melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur’an dan demikian pula dalam hadist Nabi.
Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai perkawinan seseorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah swt. Dalam QS. al-Qhashash [28] ayat 27 :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan al-Qur’an sebagai mahar sebagaimana tedapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adi dalam bentuk muttafak alaih.
، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ شَيْءٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، سُورَةُ كَذَا، وَسُورَةُ كَذَا، لِسُوَرٍ سَمَّاهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ.
Nabi bertanya: ”Adakah engkau menghafal Qur’an? ” Orang menjawab :”saya hafal surat ini dan surat itu. ”Ia lalu menyebutkan nama beberapa surat dalam al-Qur’an. Rasul bertanya lagi : ”Kamu dapat membacanya diluar kepala? ”Ya,” jawab orang itu. “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan wanita itu dengan mahar mengajarkan al-Qur’an”.
Contoh lain adalah rasulullah sendiri ketika menikakan Sofiyah yang waktu itu masih bersetatus sebagai hamba dengan maharnya memerdekakan sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Ulama’ Hanafiyah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ dalam hal ini. Menurut ulama ini apabila seseorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan mahar memberikan pelayanan kepadanya atau mengajarinya al-Qur’an, maka mahar itu batal dan oleh karenanya kewajiban suami adalah mahar mitsil.
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk sederharna dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang dikeluarkan dari Abu Daud dan disahkan oleh Hakim, ucapan nabi : “sebaik-baiknya mahar itu paling mudah”. Hal ini dikuatkan pula dengan hadis Nabi dari Sahal ibn sa’ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan : bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maharnya sebuah cicin besi.
Dengan tidak adanya petunjuk yang pasti tentang mahar, para ulama’ memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batasan maksimal bagi sebuah mahar. Namun dalam batas minimal terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan apabila kurang dari itu tidak memadai oleh karenanya diwajibkan mahar mitsil, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencuriannya.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 Dirham perak atau seperempat dinar emas. Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apapun yang penting bernilai dapat dijadikan mahar. Apabila mahar dalam bentuk barang maka syaratnya :
1. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
2. Barang itu miliknya sendiri secara kepemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya, bila salah satu saja yang dimiliki, sepreti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama barang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
3. Barang itu sesuatu yang syarat untuk diperjulbelikan dalam arti barang yang tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi dan bangkai.
4. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.
E. Hikmah Mahar
Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban material yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban material selanjutnya.
Kemudian hikmah disyariatkanya mahar atau maskawin dalam nikah adalah sebagai ganti dihalalkanya wanita atau sihalalkanya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu, mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagia tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadai hak suami.
BAB III
PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGAL DUNIA
A. Biogarafi Imam Syafi’i
1. Latar Belakang Keluarga
Sebelum lebih jauh membahas pendapat Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia, peneliti akan menggambarkan lebih dekat sekilas tentang biografi Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i lahir di Gaza (masih wilayah ‘Asqalan) pada bulan rajab tahun 150 H atau sekitar 767 M. Imam Syafi’i lahir dalam keadaan yatim bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819).
Namun lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas asy-Syafi’i Ibn asy-Sa’ib ‘Ubayd Ibn ‘Abduyazid Ibn Muthalib ibn Abdumanaf. Muthalib adalah saudarah kandung Hasyim Ibn ‘Abdulmmanaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah ‘Abdul Muthalib, datuk Nabi Muhammad saw. Ibn Imam Syafi’i adalah cucu perempuan dari saudara Fathimah binti As’ad, Ibn Imam ‘Ali Ibn Thalib. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan, “Ali Ibn Abi Thalib adalah putra pamanku dan putra bibiku”.
Imam Syafi’i adalah putra dari suami-istri yang sama-sama berdarah Quraisy. Ayahnya miskin dan sering meninggalkan Makkah untuk mencari penghidupan yang lebih matang di Madinah. Akan tetapi, di Kota itu, ia tidak menemukan yang dimaksud. Kemudian, ia bersama keluarganya pindah ke Gaza dan meninggal dunia disana, dua tahun setelah Imam Syafi’i lahir. Sepeninggal ayahnyaImam Syaf’i tidak dapat hidup menetp di Gaza. Ia membwa anaknya yang berusia dua tahun itu ke ‘Asqalan. Akan tetapi, penghidupan di ‘Asqalani tidak ramah bagi janda muda. Ia kemudian membawa Imam Syafi’i pulang kampung halaman, Makkah, tanah tumpah darah orang tuanya secara turun-temurun. Disana ia akan hidup ditengah kaumnya sendiri yaitu masyarakat Quraisy.
2. Pendidikan
Dalam mengawali pendidikannya pada usia kanak-kanak, Imam Syafi’i diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di Makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya, guru yang mengajarnya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang lebih besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkannya kepada Imam Syafi’i dapat dimengerti dan dapat dicerna dengan baik, lagi pula setiap ia berhalangan ternyata Imam Syafi’i sanggup menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain, akhirnya Imam Syafi’i dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang di harap dari ibunya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dibiarkan terus belajar tanpa dipungut bayaran. Keadaan seperti itu berlangsung hingga Imam Syafi’i berkesempatan belajar al-Qur’an dan menghatamkanya dalam usia tujuh tahun.
Tamat belajar al-Qur’an, Imam Syafi’i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga lain ang berada di dalam Masjid Haram, agar dapat membaca al-Qur’an lebih baik termasuk tajwid dan tafsirnya. Di lembaga tersebut, belajar beberapa orang guru ahli tafsir, tartil dan tajwid.
Dalam usia 13 tahun, Imam Syafi’i sudah mampu membaca al-Qur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalkanya bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang berusia 13 tahun.
Ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan tartl, ia benar-benar khusyu’ dicekam perasan sedih bercampur perasaan takut kepada Allah swt. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur’an di Masjid Haram, banyak orang yang mendengarnya duduk bersimpuh didepanya, bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar suaranya yang merdu.
Ia kemudian mulai belajar menghafal banyak hadits. Untuk itu, ia turut serta belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-kepingan taulang yang lebar dan besar. Di atas tulang itulah ia menulis catatan-catannya. Apabila tidak ditemukan tulang, ia pergi ke diwan, untuk mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih digunakan untuk menulis catatan-catatan pelajaran. Sulit baginya untuk memperoleh kertas, oleh karena itu, ia lebih mengandalkan ingatan dengan cara menghafal. Karena kebiasaan itulah Imam Syafi’i mempunyai daya ingat yang sangat kuat sehingga dapat menghafal semua pelajaran yang diterima dari guru-gurunya.
Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Makkah. Selama menuntut ilmu, Iman Syafi’i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidak mampuannya ia terpaksa kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.
Setelah menghafal isi kitab al-Muwatta’, Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Makkah. Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam prjalanan antara Makah dan Madinah yang ditempuh 8 hari Imam Syafi’i sempat menghatamkan (baca sampai selesai) al-Qur’an sebanyak 16 kali. Setibanya di madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi saw. Baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madinah, Imam Syafi’i tinggal dirumah gurunya, Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi’i adalah profil ualma yang Irztidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. Ia kemudian meninggalkan madinah menuju Irak untuk berguru kepada ulama besar disana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua Imam tersebut, Imam syafi’i memperoleh pengetahuan yang sangat luas mengenahi cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman serta berbagai metode yang di sana yang tidak pernah dilatihnya di Hijaz.
Di samping itu, Imam Syafi’i mendalami bahasa Arab untuk mejauhkan dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Imam Syafi’i pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang paling fasih lidanya, sangat indah susunan bahasanya . selama 10 tahun Imam Syafi’i tinggal di Badiyah, mempelajari sya’ir adab dan sejarah. Imam Syafi’i terkenal ahli dalam bidang sya’ir yang digubah oleh golongan Hudzail itu. Disana juga belajar bermain panah sehingga kemahiran dalam bidang tersebut. Dalam masa itu Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an dan hadits, mempelajari sastra Arab, memahirkan diri dalam mengendarai kuda serta meneliti keadaan penduduk-penduduk badiyah dan penduduk kota.
Imam Syafi’i pulang dari pegunungan sebagai seorang penunggang kuda. Ia banyak memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman dari kehidupan masyarakat Bani Hudzail, pandai memanah dan menguasai ilmu bahasa dan sasta Arab scara lebih cemerlang. Di samping itu, menguasai ilmu al-Qur’an hadist dan fikih. Semua itu merupakan kekayaan yang amat besar baginya.
Lengkaplah sudah perangkat ilmiah yang dimiliki Imam Syafi’i untuk dapat memahami dengan baik makna al-Qur’an, hadits-hadits, pusaka pemikiran serta amalan para sahabat Nabi Muhammad saw. Ia telah memiliki kekayaan dalam ilmu bahasa untuk membuka makna kata dan kalimat yang terkunci, di samping rasa seni sastra yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk menjangkau kelembutan balaghah dan rahasia ilmu bayan (kedua-duanya merupakan ilmu bahasa Arab).
Tibalah saat gurunya untuk berkata padanya,"tibalah waktuku untuk berfatwa". Itu berarti bahwa guru-gurunya tidak meragukan lagi kemampuanya Imam Syafi’i untuk menjawab pertayaan-pertanyaan dan memecahkan ketentuan hukum syariat yang dibutuhkan kaum muslimin.
3. Guru dan Murid Imam Syafi’i
Di madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kufah, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi yang telah membantunya melepaskan diri dari konspirasi politik dengan ahl-bayt. Imam Malik merupakan pauncak tradisi Madrasah Madinah (Hadis), dan Abu Hanifa adalah puncak Madrasah Kufah (ra’y). Dengan demikian, Imam Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintensis antara aliran Kufah dan Madinah.
Disamping itu, Imam Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di yaman, Makkah dan Kufah. Di antara ualama yaman yang di jadikan guru oleh Imam Syafi’i adalah Mutharraf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn Abi Salamah dan Yahyah Inb Hasan. Selmah tinggal di Makkah yang menjadi Guru Imam Syafi’i berguru pada guru terkemuka. Diantara ulama Makkah yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah Syufyan Ibn ‘Uyainah, Rahmah al-Aththar dan ‘Abd al-Hamid ‘Abd al-Aziz Ibn Abi Zuwad.
Dalam menguasai Fikih Madinah, Imam Syafi’i berguru langsung kepada Imam Malik, sedangkan dalam menguasai fikih Irak, ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan penerus fikih Hanafi. Disamping itu, mempelajari fikih al-Auza’i dari Umar Ibn Abi alamah dan mempelajari fikih al-Laits kepada Yahya Ibn Hasan.
Sebagai seorang ulama yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya, Imam Syafi’i mempunyai banyak pengikut dan murid-murid yang nantinya sangat besar jasanya mereka dalam mengembangkan mazdab Syafi’i baik di Makkah, irak maupun di Mesir.
Diantara murid-murid Imam Syafi’i yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w.219) dari makkah, yang kemudian turut serta bersama Imam Syafi’i ke Mesir. Kemudian murid-murid Imam Syafi’i yang lain adalah Abu Ishak Ibrahim Ibn Muhammad (w.237) Abu Bakar Ibn Idris, Abdul Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya murid-murid beliau di Baghdad adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (w.256H), Abu Saur al-Kalibi (w.240 H), Ahmad Ibn Hanbal yang nantinya mengembangkan mazhab tersendiri.
Adapun murid-murid Imam Syafi’i di Mesir addalah Harmalah Ibn Yahya (w.266 H) yang cukup besar jasa-jasanya meriwayatkan kitab–kitab Imam Syafi’i dan Abu Ya’kub Yusuf Ibn Yahya al-Buati, seorang yang dihargai dan disayangi Imam Syafi’i serta ditujuk oleh beliau sebagai penggantinya.
Kemudian murid Imam Syafi’i adalah Abu Ismail Ib Yahya al-Muzani (w.264 H ), Muhammad Ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakim (w. 268 H), al-Rabi‟ Ibn Sulaiman Ibn Daud al-Izi (w. 256 H). diceritakan bahwa al Muzani banyak mempunyai kitab-kitab Syafi’i dan menulis kitab al-Mabsut dan al-Mukhtasar min ‘Ilm al-Syafi’i. melalui murid-murid beliau inilah, pandangan dan pemikiran Imam Syafi‟i berkembang dan meluas ke berbagai kawasan negeri Islam yang hingga sekarang tetap eksis dan lestari diikuti oleh umat Islam.
4. Karya-karya Imam Syafi’i
Ketokohan dan kepiawaian Imam Syafi’i dalam bidang pemikiran hukum memang luar biasa. Hal ini, tidak lain karena di samping beliau membaktikan diri mengajarkan ilmu, juga aktif menulis dan memb ukukan pandangan- pandangannya.
Karya beliau dalam bidang ushul fiqh adalah kitab ar-Risalah. Kitab ini khusus membahas tentang ushul fikih yang merupakan kitab pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di dalamnya Imam Syafi’i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbathkan hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.
Selain kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama al-Umm. Kitab ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh, yang menekankan praktek ajaran Islam. Kitab ini ditulis oleh Imam Syafi’i ketika di Mesir. Beliau pergi ke Mesir pada tahun 204 H. Berdasarkan riwayat, ketika berada di Mesir ini Imam Syafi’i mencapai puncak kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang fiqih. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali.
Kemudian kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi saw yang dihimpun dari kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis. Selanjutnya karya beliau adalah Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Imam Syafi’i mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi’i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti, al-Fiqh, al-Muktasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Shahir dan al-Fara’id. Ketiganya dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.
Sedangkan di Mesir ada Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buthi, murid yang paling senior di Mesir, juga ada Ismail bin Yahya al-Muzani ia termasuk murid yang paling cerdas, pendapatnya yang brilian yang berbeda dengan sang Guru, serta memiliki karya antara lain: Al-Mukhtasar AshShagir dan al-Jami’ Al-Kabir, kemudian ada Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi yang meriwayatkan kitab al-Umm dari Imam Syafi’i.
Berbagai pandangan baru Imam Syafi’i muncul di Mesir sehingga dalam fiqih Syafi’i ditemukan dalam Qaul (pendapat) yaitu Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Disebabkan karena Imam Syafi’i berhadapan dengan adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Baghdad (Irak). Dengan perbedaan ini, maka Imam Syafi’i merubah pendapatnya mengenai beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat Mesir. Di samping itu, ketika Imam Syafi’i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
Imam Syafi’i ketika datang ke Mesir, pada umumnya penduduk Mesir saat itu mengikuti Madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Memudian setelah ia membukukan kitabnya (qaul jadid), ia mengajarkannya di Masjid, Amr Ibn, Ash, maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir, apalagi di waktu itu yang menerima pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama, seperti, Muhammad Ibn Abdullah Ibn Abd al-Hakam, Ismail Ibn Yahya, al-Buwaithiy, al-Rabi’, al-Jiziy, Asyhab Ibn al-Qasim dan Ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟i sampai ke seluruh pelosok.
Penyebaran mazhab Syafi’i ini antara lain di Irak, lalu perkembang dan tersiar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi ke seluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat maupun di Timur yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk Indonesia. Kala kita melihat praktik ibadah dan mu’amalah umat Islam di Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini karena disebabkan karena beberapa faktor :
a. Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan diantara kaum muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada anggapan bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.
b. Hijrahnya kaum muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang penting pula bagi tersiarnya madzhab Syafi’i di Indonesia, karena ulama Hadhramaut adalah bermazhab Syafi’i.
c. Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan Mazhab Syafi’i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah, seperti kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.
d. Para pegawai jawatan dahulu hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i kerena belum ada yang lainnya.
B. Pemikiran Imam Syafi’i tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar karena Suami Meninggal Dunia.
Seperti yang telah dijelaskan di dalam latar belakang pada bab I di atas,tentang mahar hutang yang belum belum dibayar karena suami meninggal dunia, bahwa menurut pemikiran Imam Syafi’i, mahar tetap wajib dibayar oleh suami kepada istri baik qabla dukhul maupun ba’da dukhul. pemikirannya dijelaskan dalam kitab al-Umm :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR HUTANG
YANG BELUM DIBAYAR KARENA SUAMI MENINGGGAL DUNIA DALAM TINJAUAN TAFSTIR
A. Dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Mahar Hutang yang Belum Dibayar Karena Suami Meninggal Dunia
Dalam bab ini peneliti menganalisis Pemikiran Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab III di atas, bahwa mahar merupakan sesuatu yang harus ada dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi, dalam hal ini masih terjadi perbedaan Pemikiran dari beberapa Imam Mazhab, terutama dalam hal pemberian mahar baik sebelum maupun setelah terjadi hubungan suami istri. Apakah mahar tetap diberikan atau menjadi gugur ketika suami meningggal dunia karena belum maupun setelah terjadi hubungan suami istri?
Pemikiran Imam Syafi’i sendiri berbeda den Pemikiran gan pendapat imam lainnya. Perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang biasa karena pemahaman para imam mazhab sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki serta sosio-kultur masyarakat dimana ia berada.
Dalam masalah mahar Imam Syafi’i berpendapat, bahwa mahar harus dibayarkan oleh suami meskipun telah meninggal dunia baik sudah terjadi dukhul maupun qabla dukhul karena hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Umm sebagai berikut :
(قَالَ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى شَيْءٍ مُسَمًّى فَذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إنْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا إنْ كَانَ نَقْدًا فَالنَّقْدُ وَإِنْ كَانَ دَيْنًا فَالدَّيْنُ أَوْ كَيْلًا مَوْصُوفًا فَالْكَيْلُ أَوْ عَرْضًا مَوْصُوفًا فَالْعَرْضُ، وَإِنْ كَانَ عَرْضًا بِعَيْنِهِ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ أَوْ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ فَهَلَكَ ذَلِكَ فِي يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ قِيمَتِهِ يَوْمَ وَقَعَ عَلَيْهِ النِّكَاحُ
Besaran mahar yang harus dikeluarkan sama seperti saat diucapkan dalam akad pernikahan seperti yang telah diterangkan dalam Pemikiran nya, Imam Syafi’i memandang bahwa apabila suami tidak dapat membayar mahar dengan uang maka dapat diganti dengan barang yang jumlah sama seperti nilai uang yang disebutkan, atau apabila tidak mampu dengan barang maka dapat memakai takaran yang nilainya sama seperti harga barang tersebut.
Apabila akad nikah berlangsung tidak disebutkan berapakah maskawin yang akan diberikan, perkawinan itu sah, tetapi maskawin itu tetap wajib dibayar, dan disebut mahar mitsil, yaitu maskawin yang sepantasnya yang wajib diberikan kepada si isteri tersebut. Sepantasnya disini digunakan sebagai ukuran, berapakah biasanya maskawin perempuan dikalangan keluarga si isteri tersebut. Maskawin itu boleh saja dibayarkan tunai dan sebagian dibayarkan kelak. Tentang hal ini diserahkan bagaimana kebiasaan di dalam masyarakat. Akan tetapi, apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami dan isteri, atau suami meninggal, dan belum terjadi hubungan seksual, mahar wajib dibayarkan seluruhnya.
Menurut Imam Syafi’i, bahwa apabila hutang tersebut tidak diketahui secara detail, tetapi secara global misalnya, akan dibayar pada salah satu diantara dua waktu yang ditentukan tersebut (sebelum mati atau jatuh talak), maka mahar musamma-nya fasid dan ditetapkanlah mahar mitsil.
Dalam hal ini, kalau Imam Hanafi dikenal sebagai pemikir rasional dan Imam Malik dikenal sebagai pemikir tradisional, maka Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i berada diantara keduanya. Penyebab utamanya adalah
1. Imam Syafi’i pernah tinggal di Hijaz dan belajar pada Imam Malik, selanjutnya ia pindak ke Irak dan belajar pada murid-murid Imam Hanafi.
2. Imam Syafi’i adalah pengembara ke berbagai kota dan akhirnya pindah ke Mesir, daerah yang kaya dengan warisan budaya Yunani, Romawi, Persia dan Arab.
Kedua fakor utama itulah yang membuat corak pemikiran Imam Syafi’i merupakan sintesis dari corak pemikiran Imam Hanafi dan Imam Malik, sehingga ia dikenal sebagai faqih yang moderat.
Kemoderatan Imam Syafi’i dalam berpendapat juga dipengaruhi oleh adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Baghdad (Irak). Kemudian, ketika Imam Syafi’i berada di Mesir banyak bergaul dengan para ulama dan banyak mendengar dan menemukan hal-hal yang belum ditemukan sebelumnya baik mengenai masalah hadis maupun fiqih.
Meskipun Pemikiran Imam Syafi’i sudah jauh ratusan tahun lalu yang dikemukan pada masanya. Akan tetapi, saat ini masih relevan dengan keadaan sekarang sehingga dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan sebuah hukum misalnya, di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), disana banyak ketentuan-ketentuan yang mengadopsi dari fiqih Syafi’iyah. Hal ini menjadi bagian dari eksistensi pemikiran Imam Syafi’i sampai saat ini.
Di samping itu, Imam Syafi’i sangat berhati-hati dalam mengemukakan Pemikiran nya, karena dalam pengembaraan baik di Irak maupun di Mesir hingga melahirkan Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, merupakan sebuah pengalaman keilmuan yang sangat berharga baginya sehingga Imam Syafi’i mengetahui secara pasti bagaimana menerapkan hukum pada kondisi mayarakatnya saat itu.
Imam Syafi’i memiliki Pemikiran jauh ke depan sebelum mengemukakan pendapatnya, ini menunjukkan seorang pemikir yang cerdas karena melihat biografinya saja, ketika di usia anak-anak sudah mampu menghafal al-Qur’an, membaca dengan tartil dan fasih serta memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Karena seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa keberadaan wanita sangat dihormati oleh Islam, karena mahar sebagai bentuk ungkapan ketulusan hati suami benar-benar mencintai istrinya sehingga setiap terjadi pernikahan haknya untuk menerima mahar pun secara otomatis harus diterima oleh istri. Di samping itu mahar menjadi konskuensi dari adanya akad nikah. Karena menurut Imam Syafi’i bahwa mahar merupakan pemberian wajib dari suami kepada istrinya ketika terjadi akad nikah, sehingga meskipun suami meninggal baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri mahar tetap wajib diberikan. Dalam kewajiban membayar mahar sudah diterangkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 yang telah dipaparkan di atas.
Dan inilah hasil dari bentuk ihtiar beliau dalam mengqiaskan suatu dalil untuk mendapatkan sebuah dasar hukum untuk kita jadikan pedoman dalam menentukan sebuah persoalan seputar mahar.
Inilah bunyi pada ujung surat an-Nisa’ ayat 4 yang artinya “ Tetapi Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu sehingga telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana barang-barang di dalam rumah itu, baik pemberian ayah dan bundanya atau hadiah dari suaminya sendiri adalah haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Tetapi, kalau dia rela memberikan sebagian daripadanya, karena kasih sayang yang telah terjalin, tidak masalah yaitu setelah jelas bahwa itu telah ke tangannya. Tetapi, dengan ini tidak berarti bahwa perempuan itu atau walinya diperbolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti bahwa ketentuan agama boleh dirubah. Terima dahulu mahar itu, maka setelah di tangan, bolehkan kalau hendak memberi pula kepada suami dengan hati cinta.
Pemikiran Imam Syafi’i tersebut lebih dinamis serta banyak dipakai oleh generasi-generasi selanjutnya. Sebagai contoh, untuk konteks masyarakat muslim khususnya di negara Indonesia yang mayoritas menganut fiqih Syafi’iyah, dalam hal pemberian mahar saja kebanyakan masyarakat tidak memasang batasan yang sangat tinggi akan tetapi tergantung kesepakatan dari keduanya sehingga kecil kemungkinan suami untuk menghutang mahar karena suami dapat menunaikan secara langsung maharnya pada waktu terjadi akad pernikahan.
B. Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dalam Tinjauan Tafstir
Di dalam buku metodologisnya, ar-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum far’iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Menurutnya, al-Qur’an dan sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori seperti qiyas, istihsan, istishab dan ain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum dari sumber utama tadi.
Pemahaman integral al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan Karakteristik menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i. Menurut Imam Syafi’i, kedudukan sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya, sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai keterkaitan erat dengan al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami karena al-Qur’an dan sunnah adalah Kalamullah: Nabi Muhammad saw tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan firmanNya QS Haaqah :40-43.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43)
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditentukan ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an”. Untuk membuktikan hipotesanya itu, Imam Syafi’i menyebut empat cara al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum.
Mengenai masalah mahar, ditinjau dari asbab al-nuzul surat an-Nisa’ ayat 4 di atas bahwa dalam tafsir jalalain ada keterangan sebagai berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abu Salih katanya : ”Dulu jika seorang laki-laki mengawinkan putrinya, diambil maskawinnya tanpa memberikan padanya, maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa.
Dalam Tafsir al-Azhar mengenai surat an-Nisa’ ayat 4 bahwa kata shadaq atau shaduqat yang dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati. Jadi harta yang diberikan dengan putih hati , hati suci, muka jernih kepada calon isteri. Kemudian di dalam ayat ini disebut nihlah, yang diartikan sebagai kewajiban. Supaya cepat saja dipahami, karena mahar itu wajib dibayar. Qatadah memang memberi arti : pemberian fardhu. Ibnu Juraij mengartikan, pemberian yang ditentukan jumlahnya. Dan ada pula yang berpendapat bahwa kata nihlah itu dari rumpun kata an-Nahl, bermakna lebah. Laki -laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak menjadi madu. Hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diserahkannya kepada calon isterinya.
Selanjutnya bunyi pada ujung surat an-Nisa’ ayat 4 yang artinya “ Tetapi Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Setelah mahar diberikan, yang timbul dari hati suci tadi maka mahar itu, telah menjadi hak perempuan itu sehingga telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana barang-barang di dalam rumah itu, baik pemberian ayah dan bundanya atau hadiah dari suaminya sendiri adalah haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Tetapi, kalau dia rela memberikan sebagian daripadanya, karena kasih sayang yang telah terjalin, tidak masalah yaitu setelah jelas bahwa itu telah ke tangannya. Tetapi, dengan ini tidak berarti bahwa perempuan itu atau walinya diperbolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti bahwa ketentuan agama boleh dirubah. Terima dahulu mahar itu, maka setelah di tangan, bolehkan kalau hendak memberi pula kepada suami dengan hati cinta.
Di samping itu, kata nihlah, menurut Abi Sholih mempunyai tiga ta’wil (penafsiran). Pertama, bahwa dia wajib membayarkan mahar artinya diamempunyai hutang kepada isterinya. Kedua, kerelaan hati seorang isteri akan terbayar ketika mahar itu diberikan. Ketiga, Allah mewajibkan membayar mahar kepada suami sesudah mempunyai hak memiliki dari wali isterinya.
Dalam masalah mahar ada dua alasan yang mendasari mengapa mahar itu wajib diberikan seperti yang diterangkan Al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir yaitu, pertama, menurut jumhur ulama bahwa mereka (suami istri) terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Kedua, dilihat dari sisi lain mereka adalah wali Karena mereka itu (orang-orang jahiliyah) memiliki kewajiban membayar mahar kepada perempuan. Maka Allah memerintahkan untuk membayar mahar kepada mereka (isteri).
Oleh karena itu, setelah mengetahui baik dari asbab an-nuzul maupun Penafsiran dari surat an-Nisa’ ayat 4, bahwa mahar menjadi kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami kepada isterinya ketika terjadi akad pernikahan. Suami pun tidak diperkenankan mengambil kembali kecuali atas kerelaan hati dari isterinya sendiri. Sehingga dalam hal ini penulis sepakat bahwa mahar wajib diberikan kepada isteri dari seorang suami ketika terjadi akad pernikahan. Karena dalam tafsir di atas juga disebutkan bahwa kata nihlah itu dari rumpun kata an-Nahl, bermakna lebah. Seorang laki -laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu sehingga hasil jerih payah sucinya itulah yang akan diberikan kepada calon isteri nantinya.
Maka dalam hal kewajiban membayar mahar, Imam Syafi’i mengambil dalil al-Qur’an sebagai istinbath hukumnya yang sudah disebutkan dalam bab 3 di atas, yang diterangkan dalam bab as-Shidaq Kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam al-Mawardi. Penulis mencantumkan istinbath hukum Imam Syafi’i yang diambil dari kitab al-Hawi al-Kabir karena pengarang kitab tersebut dari mazhab Syafi’iyah sehingga pemikirannya pun sama dengan penggagasnya, Imam Syafi’i. Penafsiran Imam Syaf’i tentang surat an-Nisa’ ayat 4 di atas sudah jelas, bahwa mahar sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang suami terhadap istri ketika terjadi akad pernikahan meskipun suami belum maupun sudah terjadi ubungan suami istri. Karena surat an- Nisa’ ayat 4 merupakan satu kesatuan alam pemberian mahar baik belum maupun sudah terjadi hubungan suami istri.
Maka sudah jelas, bahwa ketentuan segala sesuatu itu merujuk pada al Qur’an dan sunnah. Menurut Imam Syafi’i, “Kembalikanlah pada Allah dan Rasul”, artinya, kembalikanlah al-Qur’an dan sunnah. Pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah al-Qur’an itu sendiri dan bukan melakukanrekayasa hukum.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui dengan jelas, bahwa sikap moderat Imam Syafi’i telah digambarkan dalam kitab metodologisnya, ar-Risalah. Ia begitu teguh dalam berpegang pada al-Qur’an dan sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Menurut Imam Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun atas empat dasar yang disebut “sumber-sumber hukum”. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan keempat dasar di atas. Namun, rumusan Imam Syafi’i mempunyai suasana dan pandangan yang baru, dalam penggunaan ijma’ misalnya, Imam Syafi’i tidak sepenuhnya meniru Imam Malik yang masih terkesan global tanpa penjelasan dan batasan yang jelas.
Disisi lain, penulis membandingkan tentang surat al-Baqarah ayat 236 yang menjelaskan bahwa suami tidak berkewajiban membayar maskawin atau mahar ketika menceraikan istrinya sebelum berhubungan suami istri dan ketika akad pernikahan maharnya belum ditentukan. Karena pendapat Imam Malik bahwa mahar diberikan ketika sudah berhubungan atau bersenang-senang (istimta’) dengan istrinya. Akan tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar tetap diberikan ketika sudah terjadi akad pernikahan meskipun belum maupun sudah melakukan hubungan suami istri.
Apapunbentuknya ketika memiliki manfaat yang bisa diterima mempelai wanita, dapat dijadikan mahar. Bahkan ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menjelaskan, bahwa Rasulullah saw saat itu pernah berkata kepada seseorang yang datang kepada Rasul untuk menikah : Cobalah cari walaupun sebentuk cincin besi. Orang itu pun mencari tetapi tidak mendapat papun juga. Nabi saw. Kemudian berkata kepadanya: Apakah engkau mempunyai sesuatu dari al-Qur’an? Orang tersebut menjawab : Ya, surat anu, orang tersebut menyebutkan suatu surat tertentu. Nabi akhirnya berkata : Baiklah aku (Rasulullah) kawinkan kamu berdua dengan maskawin beberapa surat dari al-Qur’an.
Juga ada sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ketika ‘Ali menikah dengan Fatimah, Rasullullah saw bersabda kepada Ali “Berilah ia sesuatu !” Ali menjawab : Aku tidak punya apa -apa kemudian Rasulullah saw bertanya “Manakah baju besimu dari Huthamiyah itu?”. Kemudian Ali pun memberikan baju besi itu kepada Fathimah, lalu ia mencampurinya.
Kejadian ini menggambarkan betapa dalam ajaran Islam sangat menghargai kedudukan dan kehormatan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, berupa mahar ya’ni dengan beberapa surat dari al-Qur’an sekalipun. Disisi lain,penafsiran tentang ayat tersebut mencerminkan sikap kemoderatan Imam Syafi’idalam menetapkan suatu hukum. Imam Syafi’i tidak memberi batasan minimal maupun batasan maksimal dalam masalah mahar, sehingga ini menjadi bagian kecil dari gambaran seorang faqih yang dinamis dalam menetapkan sebuah hukum.
Selanjutnya analisis hadis yang digunakan Imam Syafi’i tentang masalah mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia. Hadis tersebut elah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sehingga kesahihannya tidak diragukan lagi.
Syarih berkata : Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya sesudah akad nikah berlangsung, sebelum ditentukan maharnya dan belum dicampuri, maka berhak menerima mahar penuh. Begitulah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Sirin, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah dan teman-temannya, Ishaq dan Ahmad. Dan Hakim pernah meriwayatkan dalam mustadraknya dari Harmalah Ibn Yahya, bahwa ia pernah mendengat Imam Syafi’i berkata : jika sah hadis Barwa’ bin Wasyiq itu, maka aku berpendapat seperti itu. Hakim berkata : Syekh kami, Abu Abdillah berkata : Kalau seandainya Syafi’i berada di tempat ini tentu aku akan berdiri di hadapan orang banyak dan berkata : Hadis (hadis Barwa) itu adalah sah, maka berpendapatlah engkau (hai Syafi’i) seperti itu.
Menurut pemahaman peneliti, bahwa hadis yang digunakan sebagai istinbath hukum Imam Syafi’i merupakan hadis yang sahih karena memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai hadis sahih diantaranya :
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya bahwa periwayat dalam sanad menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung dari awal hingga akhir sanad. Untuk membuktikan apakah antara periwayat itu bersambung atau tidak, dapat dilihat dari usia dan tempat tinggal mereka. Selain itu juga dapat dilihat dari cara tahammul wa ‘ada’ al-hadis yang mereka gunakan.
b. Diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
Secara leksikal,’adil berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Secara terminologi, seseorang dapat dikatakan ’adil jika ia memiliki sifat-sifat ketakwaan, seperti senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, aqidahnya benar, dirinya terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, senantiasa memelihara ucapan dan perbuatannya yang dapat menodai muru’ahnya, di samping ia harus Muslim, balig, berakal dan tidak fasik.
c. Diriwayatkan oleh periwayat yang dhabith
Secara leksikal dhabith kokoh, kuat, hafal dengan sempurna. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, periwayat yang dhabith adalah periwayat yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja manakala diperlukan.
d. Terhindar dari syadz (janggal)
Syadz berarti janggal, menyalahi aturan, atau menyimpang. Secara terminologi, syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lain.
e. Tidak mengandung illat (cacat)
Illat berarti penyakit, cacat, keburukan. Menurut istilah „illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, yang karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi lahirnya hadis tersebut terlihat sahih. Illat kemudian mengakibatkan kualitas hadis menjadi lemah dan tidak sahih.
Melihat persyaratan di atas untuk disebut sebagai hadis sahih yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, maka jelas karena hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah memutuskan Barwa binti Wasyiq seperti apa yang disampaikan Ibnu Mas’ud ketika dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dan dia belum memberinya mahar dan juga belum melakukan hubungan suami istri sampai dia meninggal. Ibnu Mas’ud berkata: baginya mendapat mahar sebagaimana mahar istrinya. Dan dia berkewajiban ‘iddah dan berhak mendapatkan warisan.
Dari gambaran kasus ini berarti istinbath hukum Imam Syafi’i memakai hadis tentang mahar hutang karena suami meninggal dunia tetap wajib dibayarkan, meskipun belum terjadi hubungan suami istri, apalagi sudah terjadi hubungan suami istri, mahar tetap menjadi kewajiban penuh oleh seorang suami kepada istri.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian seluruh rangkaian pembahasan tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meninggal dunia telah selesai, maka penulis mengambil suatu kesimpulan :
1. Pemikiran Imam Syafi’i tetap mewajibkan membayar mahar bagi seorang suami kepada seorang istri, meskipun suami sudah meninggal dan belum maupun telah terjadi hubungan suami istri serta belum menentukan maharnya ini didasarkan pada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4 serta hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Kedua dasar inilah yang dijadikan metode istinbath hukum Imam Syafi’i. Menurut penulis dalil tersebut cukup kuat dan hadis yang disebutkan juga sahih karena dari segi riwayatnya sangat kuat dan segi matannya tidak bertentangan dengan al -Qur’an dengan peran dan fungsi serta perkawinan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2. Dalam tinjauan hukum pernikahan Islam pemikiran Imam Syafi’i tentang mahar hutang yang belum dibayar karena suami meningggal dunia adalah pemikiran yang lebih sesuai maslahat syari’ah. Karena itu bentuk dari kesungguhan seorang suami kepada istrinya serta sebagai penghormatan laki-laki terhadap wanita sebagaimana yang telah dianjurkan oleh rasulullah walaupun dalam sekala kecil, beliau bersabda Langsungkanlah pernikahan) meski hanya dengan (mahar) cicin yang terbuat dari besi”.(HR. al-Bukhari, Ahmad, Ibnuh, Majah, Tirmidzi dan ia men-shahihkannya)
B. SARAN
Membicarakan Masalah mahar memang sangat penting terutama menjelang seseorang ingin melaksanakan pernikahan. Terkadang hanya karena masalah mahar akhirnya bisa menjadi bahan pembicaraan yang kurang berkenan di hati mempelai bahkan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini pemikiran Imam Syafi’i memberikan pandangan yang ideal dalam menetapkan mahar sehingga dapat dijadikan acuan dalam rangka memberikan mahar dari calon uami kepada calon istri. Berkaitan dengan tema ini penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Hendaknya para calon mempelai ketika ingin melakukan pernikahan perlu membicarakan mahar sesuai kesepakatan antara pihak suami dan pihak istri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yag tidak diinginkan ketika sudah menjalani kehidapan bersama dalam rumah tangga nantinya.
2. Para calon mempelai perlu memahami bahwa mahar merupakan sesuatu cara untuk mempererat tali kasih sayang diantara mereka serta simbol ketulusan hati seorang suami kepada istri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
lhamdani, H.S.A, Risalah Nikah ; Hukum Perkawinan Islam, Terj. Agus Salim, Jakarta : Pustaka Amani, 1989.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Amin, Muhammadiyah, Ilmu Hadis, Gorontalo : Sultan Amai Press bekerjasama dengan Grha Guru Yogyakarta, 2008.
Amrin, Tatang M, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.
Atmaja, Dwi Surya, Terjemahan Al-Muwwatta’, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. IV, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005.
Al-Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, Jilid
2, cet. III, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2005.
Al-Fauzan, Saleh, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, Terj. Abdul Hayyie Al -Kattanie, dkk, Jakarta : Gema Insani, 2006.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Bogor : Kencana, 2003.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 200.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981.
_______ , Tafsir Al-Azhar, urong Town : Pustaka Nasional PTE LTD, 1999.
Hasan, A. Qadir, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1984.
Al-Hussaini, Imam Taqiyuddin Abubakar Ibn Muhammad, Kifayah al-Ahyar, Juz II, Beirut : Daar al- Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Al-Jandul, Said Abdul Aziz, Wanita Dibawah Naungan Islam, Jakarta : CV Firdaus, 1997.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. S. Ziyad ‘ Abbas, Jakarta : PT Multi Kreasi Singgasana, 1991.
Jalalayn, Imam, Tafsir Jalalain, Terj. Mahyudin Syaf, dkk, Bandung : Sinar Baru , 1990.
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Al-Mawardi, Imam Abi al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib, Kitab al-Khawi alKabir, Juz IX, Beirut : Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, tth.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al- Mazhahib al-Khamsah, Terj Maskur A.B. dkk, Jakarta : Lentera, 2001.
MS, Burhani, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jombang : Lintas Media, 2002
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam ; Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002.
Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, cet. III, Semarang : CV Toha Putra, 1993.
Nasution, Lahmidin, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzab Imam Syafi’i, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007.
S.A, Romli, Muqaranah Mazhahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Ibn Surrah, Imam ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Syihab Umar, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang : Dina Utama, 1996.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Group, 2009.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Asy-Syafi’i, Al-Imam Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris, Al Umm, Juz V, Beirut : Daar al-Kutub al- Ilmiyah, tth.
_________, Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris, ar-Risalah, Mesir : al-‘Ilmiyah, 1312 H.
Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000.
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
__________, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prenada Media Group, 2006.
Syafi’i, Imam, ar-Risalah Imam Syafi’i, Terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pu staka Firdaus, 1986.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 1997.
Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005.
T im Penyusun Departemen Agama, Ilmu Fiqh, cet. II, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984.
Thalib, M, Perkawinan Menurut Islam, Cet.II, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993.
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, Bandung : Fokusmedia, 2007.
‘Uwaid, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Terj. M Abdul Ghoffar E.M, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, 1997.
Zahrah, Mahammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005.
Zed, Mestika, Metodologi Penelitian Kepustakaan, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia, 2004.
Lampiran 1
TERJEMAHAN AYAT
NO HALAMAN TERJRMAHAN AL-QUR’AN
1 1
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….”(QS. an-Nisa’ : 1)
2 2, 14 dan 18 Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian dari padanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.” (Q.S. an-Nisa : 4)
4 16 “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (Q.S an-Nisa’ : 20-21)
5 17,21 Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”. (al-Baqarah : 237)
6 18 Berikanlah kepada perempuan-perempuan maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu pemberian yang ikhlas (Q.S an-Nisa :24)
7 21 Jika kamu menukar istri dan kamu telah memberikan kepada salah seorang diantara mereka sebesar qinthar maka janganlah kau ambil dari padanya sedikitpun, apakah kamu mau mengambil secara kebohongan dan dosa yangnyata ?”. (Q.S an-Nisa’: 20)
8 21 Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)
23 Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya (Q.S al-Baqarah :
236)
9 24 Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah urusanmu”. (Q.S al-Qashash :27).
10 45 Sesungguhnya al-Quran itu adalah benar-benar wahyu Allah
yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula Perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia dalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.(Q.S l-Haqqah : 40-43)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
1. Nama Lengkap : Winanto
2. Tempat, Tanggal Lahir : Batang, 07 Agustus 1990
3. Agama : Islam
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Status Perkawinan : Belum Menikah
6. Alamat : Batang Jawa tengah
7. Pendidikan :
a. SD : SDN Kaliboyo 02 Tulis
b. SMP : SMPN 01 Tulis
c. SMA : SMAN 02 Batang
d. PT : Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS)
Hidayatullah Balikpapan 2015
8. Organisasi : -Ketua osis SMAN 02 Batang
- Kurma dan Rois SMAN 02 Batang
- Anggota IMHI
- Anggota AL-Muzamil Mahasiswa
- Departemen Kepengasuhan BEM STIS 2014
9. Orang Tua
a. Ayah
Nama : Suharno
Pekerjaan : Petani
8. Alamat : Batang Jawa tengah
b. Ibu
Nama : Siti Nurkuat
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Batang Jawa tengah
Anak ke/ Saudara : 2 (Dua) dari 6 (Enam) bersaudara
Balikpapan, 28 Februari 2015
Peneliti
Winanto
LEMBAR BIMBINGAN SKRIPSI TAHUN 2015
Nama : Winanto
Nim : 2011.08.15
Judul Skripsi : Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Mahar Hutang Yang Belum Dibayar Karena Suami Meningggal Dunia
NO TANGGAL MATERI BIMBINGAN PARAF
1.
2.
3.
4.
5.